Ada keprihatianan yang amat sangat terkait perkembangan paham
keagamaan kita dewasa ini, di mana pasca reformasi bergulir, berbagai
macam kelompok, ideologi dan paham keagamaan muncul dan mendominasi
ruang publik kita. Selain karena efek dari euvoria kebebasan, juga tidak
lepas dari dinamikan perkembangan dunia yang semakin menglobal.
Rabu, 06 April 2016
Rasulullah; Inspirasi Damai dalam Keberagama
Oleh; Suaib Amin Prawono
(Koordinator Jaringan GUSDURian Sulselbar)
Fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama beberapa tahun belakangan ini sungguh sangat memiriskan. Meski tak satupun agama di dunia ini menghalalkan kebencian apalagi pembunuhan, namun pada faktnya, atas nama agama manusia saling membenci, membunuh, dan atas nama agama pula manusia merobek perdamaian. Fenomena ini pun seakan memperjelas bahwasanya manusia nampaknya lebih mencintai agama ketimbang Tuhannya.
Dalam Islam, fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Islam berkembang, tepatnya pada masa khulafaurrasyidin, telah muncul satu kelompok ekstrim yang mengatasnamakan diri sebagai Khawārij. Sebuah aliran atau paham keagamaan yang bersifat eksklusif dan kerap mengunakan kekerasan dalam berdakwa. Kelompok ini tidak hanya merasa diri paling benar, tapi juga mereka tidak segan-segan memusuhi dan memerangi kelompok atau mazhab yang tidak sepaham dengannya.
Sabtu, 11 Juli 2015
Idul Fitri; Pengembalian Manusia Ke Fitranya
Saat sang surya kemarin sore kembali keperaduannya, gema takbir, tahmid,
dan tahlil kembali membahana dalam singgasana kehidupan kita. Meski hari telah
berganti senja, lantunan takbir, tahmid, dan tahlil tersebut tetap saja
berkumandang, seolah tak kenal lelah mengangunkan kebesaran Allah.
Alunan suara merdu yang disertai hentakan bunyi beduk mengingatkan kita
akan sebuah keindahan lebaran yang pernah kita lalui bersama dalam kehidupan ini.
Lebaran senantiasa menyisakan suasana keceriaan dan kebahagiaan, karena kita
dapat berkumpul bersama keluarga, sahabat dan orang tua yang kita cintai, sehingga
kita pun sadar bahwasanya begitu banyak nikmat yang Allah SWT telah diberikan
kepada kita. Sehingga kita pun patut untuk senantiasa mensyukurinya.
Sabtu, 06 Juni 2015
Masa Depan Kota Makassar
Akhir Desember tahun 2013 lalu, penulis sempat berbincang-bincang dengan Amma Toa, pimpinan adat komunitas Kajang di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Perbincangan kami terkait mitos konflik sosial yang konon pernah terjadi di Sulawesi Selatan. Konflik tersebut dikenal dengan istilah Sianre Bale (ikan besar memangsa ikan kecil).
Amma, demikian sapaan akrabnya menjelaskan kepada penulis, bahwa kedepannya benih-benih konflik (Sianre Bale) akan sangat berpotensi terjadi, mengingat pertumbuhan populasi manusia semakin meningkat setiap tahun, sementara lahan pemukinan semakin menyempit.
Jumat, 29 Mei 2015
Pesantren, Miniatur Islam Nusantara
Islam Nusantara belakangan ini menjadi perbincangan berbagai kalangan, itu tidak hanya terjadi di forum-forum seminar, tapi juga di berbagai media sosial. Mencuatnya wacana Islam Nusantara ini tentunya tidak lepas dari fenomena fundamentalisasi dan liberalisasi agama yang berkembang pesat di bangsa kita dewasa ini.
Kedua
fenomena tersebut menjadi keresahan bagi sebahagian kalangan umat Islam, khusunya
kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Islam
Nusantara lahir dari hasil dealektika antara kehidupan sosial-kultural
masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Kamis, 07 Mei 2015
Hegemoni Gelar; Fenomena Sarjana Fakultatif
Alkisah di sebuah Universitas
terkemuka, tersebutlah seorang guru besar yang terkenal dengan kecerdasannya. Guru
besar ini terkenal bukan hanya karena ia mampu memahami secara tuntas hampir
semua ilmu pengetahuan umum, seperti IPA, Matematika, Kimia, fisika, tapi juga
ilmu Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan.
Suatu ketika, Professor ini
meliburkan mahasiswanya karena ingin menemui seorang nelayan miskin yang hidup di
samping kampus mewah tersebut. “Anak-anaku Sekalian, hari ini kita tidak kuliah,
karena saya ingin menemui seorang nelayan miskin untuk memberi wejangan agar hidupnya
bisa sukses,” ungkap guru besar
tersebut.
Senin, 04 Mei 2015
Degradasi Mentalitas Kepemimpinan; Telaah Kritis Terhadap Sistem Kepemimpinan KPM-PM[1]
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya krisis yang terjadi dibangsa ini adalah buah dari krisis ekonomi dan kepemimpinan. Kedua krisis ini menjadi salahsatu peyebab berbagai persoalan bangsa terjadi dan semakin menumpuk dari tahun ke tahun dan tidak mampu diselesaikan dalam setiap pergantian episode kepemimpinan. Olehnya itu, pepatah lama yang mengatakan bahwa “hanya keledai yang bisa jatuh pada lubang yang sama” nampaknya menjadi istilah yang pas untuk kita disematkan terhadap sistem kepemimpinan bangsa ini.
Minggu, 26 April 2015
Toleransi di Tegah Keanekaragaman;
Refleksi Materi Sekolah
Pluralisme Kewargaan 2013
Pluralisme
dan multikulturalisme tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan juga telah
menjadi identitas kebangsaan kita yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum
bangsa ini melebur menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Meski belakangan ini bangsa Indonesia tak henti-hentinya
dirundung oleh masalah, baik berupa konflik komunal, ketidakadilah, pemerataan
pembangunan, serta tindakan refresif yang dilakukan oleh beberapa kelompok atau
kalangan dengan mengatas namakan agama sebagai legetimasi, namun tetap saja
bangsa ini berdiri kokoh dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya.
Sabtu, 25 April 2015
Komunitas GUSDURian Polewali Mandar Sulawesi Barat Gelar Dialog
Polewari Mandar, Muslimedianews.com ~ Memperingati Hari Asyura 10 Muharram 1436 H kemarin, Komunitas Gusdurian Polewali Mandar (Polman) Sulawesi Barat mengadakan doa bersama dan dialog kebangsaan. Kegiatan dilaksanakan di Baruga Siwali Parri’ Kodim 1402 Polman, Ahad malam pukul 20.00 (2/11/2013) waktu setempat.
Kegiatan yang juga dihadiri oleh lintas organisasi kepemudaan di Polman tersebut mengangkat tema “Merayakan Keanekaragaman dan Meneguhkan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Membuka acara, Jamandi selaku kordinator Gusdurian Polman menjelaskan pentingnya kita sebagai umat Islam senantiasa memperingati hari besar Islam. “Memperingati hari Asyura, banyak hikmah yang bisa dipetik dibalik kejadian yang dialamai oleh para Nabi, Rasul dan contoh tauladan lainnya pada hari tersebut” ungkap Jamandi.
“Kemudian dialog ini juga kami adakan untuk mendiskusikan kearifan lokal Polman yang beragam suku, agama dan budaya yang hidup harmonis ” tambah Jamandi yang juga akrab di sapa Tiger.
Mengawali kegiatan, para peserta bersama-sama memanjatkan doa Asyura yang dipandu oleh Muhamad Adam, salah satu aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman). Doa yang dibacakan merupakan doa yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw untuk dipanjatkan pada malam 10 Muharram. Acara doa bersama berlangsung kurang lebih selama tiga puluh menit.
Setelah berdoa bersama, dilanjutkan dengan dialog kebaangsaan. Dialog tersebut menghadirkan tiga Narasumber yakni Suaib Amin Prawono (Kordinator Gusdurian Sulselbar), Kolonel Infantri Imran (Kasdim 1402 Polman) dan Syariat Tajuddin (Ketua Dewan Kesenian Sulawesi barat).
Dialog dimulai dengan penyampaian dari Kolonel Infantri Imran, mengenai kebangsaan dan ketahanan nasional. Banyak motivasi yang disampaikannya kepada pemuda untuk ikut peduli terhadap kebangsaan dan ketahanan nasional. “Pemuda harus selalu siap mengaktualisasikan kecintaannya terhadap negara ini,” ujar Imran. Di akhir orasinya, Imran mempertageas komitmen TNI yang senantiasa berada di garis terdepan menjaga kedaultan NKRI.
Selanjutnya, komitmen kebangsaan dari persfektif keasyariahan dan kemandirian disampaikan oleh Syariat Tajuddin. Menurut Syariat, identitas keindonesiaan kita bersumber dari kearifan lokal yang pada hakikatnya mengakomodir nilai-nilai budaya dan agama. “
Di Mandar, sejak lahir kita diajarkan nilai luhur agama dan tradisi oleh orang tua kita, Banyak kesamaan nilai-nilai kemandaran dan Islam, semuanya terwujud dalam kearifan lokal” ujar Syariat.
Merespon pemikiran luar yang menggerogoti para pemuda, Syariat menyarankan untuk kembali ke tradisi. “Dalam konteks keindonesiaan, negara hari ini berada pada posisi peran pemikiran, Generasi muda sering terjebak pada pemikiran dari barat” ujar Syariat. “Sebaiknya kembali kita mempelajari nilai-nilai kearifan lokal dari kebudayaan kita, misalnya dalam konsep demokrasi, humanisme dan pluralisme yang sesungguhnya mandar dari dulu sudah punya konsep sama sekaitan dengan konsep tersebut” tambah Syariat.
Sedangkan terkait dengan komitmen kebangsaan Gus Dur, disampaikan oleh Suaib dalam orasinya, Suaib menjelaskan tentang visi kemanusiaan, pribumisasi Islam, pluralisme dan demokrasi yang digagas oleh Gus Dur. Kesemuanya menunjukkan bahwa komitmen kebangsaan Gus Dur tidak bisa diragukan lagi. “Gus Dur merupakan pejuang kemanusiaan yang memandang bahwa semua rakyat Indonesia sama di mata negara tanpa melihat perbedaan atau latar belakangnya” ujar Suaib.
Selanjutnya, mengenai ancaman liberalisme dan fundamentalisme terhadap eksistensi bangsa, Suaib memberikan solusi yakni kearifan lokal yang juga merupakan salah satu prinsip Gusdurian. “Kearifan lokal merupakan counter wacana yang datang dari barat atau timur, kearifan lokal adalah asli dari Struktur pengetahuan kita dan inilah salah satu identitas ke-Indonesiaan kita” lanjut Suaib.
Dialog ini berjalan dengan baik dan antusias, ditandai dengan kritisnya peserta dalam menanggapi materi dari para narasumber. Muhammad arif salah satu peserta dialog yang memberikan tanggapan, menurutnya pihak yang menjaga kedaulatan bangsa ini tidak tegas terhadap kelompok yang mencoba mengganti ideologi Pancasila. “Seakan negara kurang tegas terhadap kehadiran organisasi atau komunitas yang menolak Pancasila sebagai ideology negara,” ungkap arif.
Arif yang juga merupakan pimpinan redaksi UKM Pers Radikal Unasman melanjutkan, “Tidak seharusnya negara membiarkan organisasi yang menawarkan Syariat Islam atau Khilafah sebagai ideolog negara berkembang,” tambah Arif.
Dialog yang berlangsung kurang lebih tiga jam ini diakhiri dengan tanggapan masing-masing narasumber mengenai sosok Gus Dur. Bagi mereka sosok Gus Dur merupakan negarawan yang terbaik dan komitmen beliau terhadap eksistensi NKRI patut diteladani. (Sudianto/Anam)
sumber nu.or.id
Kegiatan yang juga dihadiri oleh lintas organisasi kepemudaan di Polman tersebut mengangkat tema “Merayakan Keanekaragaman dan Meneguhkan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Membuka acara, Jamandi selaku kordinator Gusdurian Polman menjelaskan pentingnya kita sebagai umat Islam senantiasa memperingati hari besar Islam. “Memperingati hari Asyura, banyak hikmah yang bisa dipetik dibalik kejadian yang dialamai oleh para Nabi, Rasul dan contoh tauladan lainnya pada hari tersebut” ungkap Jamandi.
“Kemudian dialog ini juga kami adakan untuk mendiskusikan kearifan lokal Polman yang beragam suku, agama dan budaya yang hidup harmonis ” tambah Jamandi yang juga akrab di sapa Tiger.
Mengawali kegiatan, para peserta bersama-sama memanjatkan doa Asyura yang dipandu oleh Muhamad Adam, salah satu aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman). Doa yang dibacakan merupakan doa yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw untuk dipanjatkan pada malam 10 Muharram. Acara doa bersama berlangsung kurang lebih selama tiga puluh menit.
Setelah berdoa bersama, dilanjutkan dengan dialog kebaangsaan. Dialog tersebut menghadirkan tiga Narasumber yakni Suaib Amin Prawono (Kordinator Gusdurian Sulselbar), Kolonel Infantri Imran (Kasdim 1402 Polman) dan Syariat Tajuddin (Ketua Dewan Kesenian Sulawesi barat).
Dialog dimulai dengan penyampaian dari Kolonel Infantri Imran, mengenai kebangsaan dan ketahanan nasional. Banyak motivasi yang disampaikannya kepada pemuda untuk ikut peduli terhadap kebangsaan dan ketahanan nasional. “Pemuda harus selalu siap mengaktualisasikan kecintaannya terhadap negara ini,” ujar Imran. Di akhir orasinya, Imran mempertageas komitmen TNI yang senantiasa berada di garis terdepan menjaga kedaultan NKRI.
Selanjutnya, komitmen kebangsaan dari persfektif keasyariahan dan kemandirian disampaikan oleh Syariat Tajuddin. Menurut Syariat, identitas keindonesiaan kita bersumber dari kearifan lokal yang pada hakikatnya mengakomodir nilai-nilai budaya dan agama. “
Di Mandar, sejak lahir kita diajarkan nilai luhur agama dan tradisi oleh orang tua kita, Banyak kesamaan nilai-nilai kemandaran dan Islam, semuanya terwujud dalam kearifan lokal” ujar Syariat.
Merespon pemikiran luar yang menggerogoti para pemuda, Syariat menyarankan untuk kembali ke tradisi. “Dalam konteks keindonesiaan, negara hari ini berada pada posisi peran pemikiran, Generasi muda sering terjebak pada pemikiran dari barat” ujar Syariat. “Sebaiknya kembali kita mempelajari nilai-nilai kearifan lokal dari kebudayaan kita, misalnya dalam konsep demokrasi, humanisme dan pluralisme yang sesungguhnya mandar dari dulu sudah punya konsep sama sekaitan dengan konsep tersebut” tambah Syariat.
Sedangkan terkait dengan komitmen kebangsaan Gus Dur, disampaikan oleh Suaib dalam orasinya, Suaib menjelaskan tentang visi kemanusiaan, pribumisasi Islam, pluralisme dan demokrasi yang digagas oleh Gus Dur. Kesemuanya menunjukkan bahwa komitmen kebangsaan Gus Dur tidak bisa diragukan lagi. “Gus Dur merupakan pejuang kemanusiaan yang memandang bahwa semua rakyat Indonesia sama di mata negara tanpa melihat perbedaan atau latar belakangnya” ujar Suaib.
Selanjutnya, mengenai ancaman liberalisme dan fundamentalisme terhadap eksistensi bangsa, Suaib memberikan solusi yakni kearifan lokal yang juga merupakan salah satu prinsip Gusdurian. “Kearifan lokal merupakan counter wacana yang datang dari barat atau timur, kearifan lokal adalah asli dari Struktur pengetahuan kita dan inilah salah satu identitas ke-Indonesiaan kita” lanjut Suaib.
Dialog ini berjalan dengan baik dan antusias, ditandai dengan kritisnya peserta dalam menanggapi materi dari para narasumber. Muhammad arif salah satu peserta dialog yang memberikan tanggapan, menurutnya pihak yang menjaga kedaulatan bangsa ini tidak tegas terhadap kelompok yang mencoba mengganti ideologi Pancasila. “Seakan negara kurang tegas terhadap kehadiran organisasi atau komunitas yang menolak Pancasila sebagai ideology negara,” ungkap arif.
Arif yang juga merupakan pimpinan redaksi UKM Pers Radikal Unasman melanjutkan, “Tidak seharusnya negara membiarkan organisasi yang menawarkan Syariat Islam atau Khilafah sebagai ideolog negara berkembang,” tambah Arif.
Dialog yang berlangsung kurang lebih tiga jam ini diakhiri dengan tanggapan masing-masing narasumber mengenai sosok Gus Dur. Bagi mereka sosok Gus Dur merupakan negarawan yang terbaik dan komitmen beliau terhadap eksistensi NKRI patut diteladani. (Sudianto/Anam)
sumber nu.or.id
Jumat, 24 April 2015
NU dan Pilar Kebangsaan
Catatan Untuk Memperingati Hari Jadi NU yang ke 89 Tahun
Nahdlatul
Ulama (NU) lahir disaat kelompok Islam modernis (purifikasi) mulai menyebarkan pahamnya
ke berbagai wilayah, tak terkecuali Indonesia sebagai wilayah yang mayoritas
beragama Islam. Penyebaran paham tersebut, tentu saja membuat sebagain ulama
Nusantara resah, mengingat krakteristik paham ini sangat ekstrim, anti tradisi
dan kebudayaan, sementara Ulama Nusantara menjadikan tradisi dan kebudayaan
lokal sebagai pijakan dalam mengokohkan nilai-nilai keislaman.
Untuk
membentengi tradisi keagamaan Islam Nusantara dari paham anti tradisi dan
mazhab ini, pada tanggal 31 Januari 1926, ulama sepuh mengadakan pertemuan di
Surabaya. Dari hasil pertemuan tersebut,
disepakatilah berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama sebagai salah satu wadah
untuk membentengi tradisi Islam Nusantara dari ancaman gerakan purifikasi
keagamaan khas Timur Tengah tersebut.