Jumat, 29 Mei 2015

Pesantren, Miniatur Islam Nusantara


Islam Nusantara belakangan ini menjadi perbincangan berbagai kalangan, itu tidak hanya terjadi di forum-forum seminar, tapi juga di berbagai media sosial. Mencuatnya wacana Islam Nusantara ini tentunya tidak lepas dari fenomena fundamentalisasi dan liberalisasi agama yang berkembang pesat di bangsa kita dewasa ini.

Kedua fenomena tersebut menjadi keresahan bagi sebahagian kalangan umat Islam, khusunya kalangan Nahdlatul Ulama (NU).  Islam Nusantara lahir dari hasil dealektika antara kehidupan sosial-kultural masyarakat dengan nilai-nilai Islam.

Pertemuan dua nilai tersebut, tidak hanya melahirkan corak keberislaman yang khas ala Indonesia, tapi juga melahirkan cara pandang moderat, lentur, fleksibel dan tidak kaku dalam melihat persoalan.

Corak dan krakter Islam Nusantara pun sangat dekat dengan konteks kehidupan sosial masyarakat lokal, sehingga ia pun berciri lokal, baik dalam hal pemahaman keagamaan (tafsir), maupun dalam konteks kehidupan sosial secara praktis, dengan syarat selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran atau doktrin akidah yang telah digariskan oleh Islam. 

Kitab Kehidupan
Jauh sebelum kehadiran Islam, masyarakat bangsa ini sudah terbiasa dengan berbagai macam perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan dan kepercayaan. Sikap tersebut tidak lahir dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh alam (baca; laut) sebagai basis kehidupan mereka.
Meminjam pendapat Radhar Panca Dahana, karakter Islam Nusantara dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat maritim yang saat itu intes melakukan interaksi dengan para pendatang baru dari berbagai pulau, bangsa atau negara. (NU Online, 26/04/15). Selain terbuka secara sosial, ciri khas masyarakat bahari juga bersifat egaliter. Cara pandang tersebut lahir dari reliatas kehidupan alam bahari (baca, laut) yang lurus, setara dan sejajar.

Lebih lanjut, Budayawan Indonesia ini mengatakan, bahwa suksesnya penyebaran Islam di kawasan Nusantara dan bisa menjadi agama mayoritas dikarenakan para penyebarnya berhasil berbaur dan menjadi bagian dari masyarakat bahari. Dan bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi penerjemah pesan-pesan alam untuk kepentingan masyarakat nelayan.

Alam menjadi kitab kehidupan bagi “penganut” Islam Nusantara, dengan asumsi bahwa wahyu secara teks dan historis telah berakhir, tapi alam adalah bahagian dari wahyu Tuhan yang terus hadir dan sejatinya untuk dipahami, bukan untuk direduksi dengan mengunakan tafsir teks keagamaan yang sifatnya parsial dan infor. Pada konteks ini, ayat yang mengatakan afala ta'qilun dan afala tatafakkrun yang berarti apakah kamu tidak memikirkan, semakin menemu ruang.

Sekaitan dengan itu, makna dari hadist yang mengatakan Al-Islamu Shalihun li kulli zaman wa al-makan, Islam itu sesuai dengan perkembangan waktu dan zaman, lahir dari hasil eksplorasi pengunaan nalar dengan metode pendekatan tafsir kontekstual. Atau dalam artian, yang dimaksud Islam dalam hadist tersebut bukanlah Islam yang sifatnya formal dan menegara, melainkan nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan dan kedamaian.

Miniatur Islam Nusantara
Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren merupakan miniatur Islam Nusantara, sebab dari Pesantrenlah ajaran Islam mula-mula tumbuh dan berkembang hingga mampu diterima secara luas oleh kalangan masyarakat. Lewat pesantren Islam hadir dengan wajah yang ramah terhadap tradisi lokal dan nilai-nilai kebudayaan (Fadlan L. Surung, 2015).

Meski demikian, bukan berarti pesantren tidak peduli dengan perkembangna zaman, melaingkan tetap membacanya secara kritis dan terbuka. Kalangan santri di Pondok Pesantren tidak serta merta menerima keadaan zaman, apalagi jika hal tersebut bertentangan degan tradisi dan budaya yang mereka pahami.

Kemoderenan bagi kalangan pesantren bukanlah sesuatu hal yang menakutkan, apalagi harus disikapi dengan penuh kecaman dan tindakan destrukrif. Melainkan terus didialogkan dengan tradisi yang sudah ada. Pola pikir tersebut berangkat dari satu kaedah usul yang mengatakan al muhafazat ala qadimi al sholeh wa al Akhdzu bi Al jadid Al-aslah.

Yang artinya kurang lebih sebagai berikut; menjaga tradisi lama yang baik, dan menagambil tradisi baru yang lebih baik. Kaedah ini menjadi landasan berpikir moderat bagi kalangan pesantren dalam melihat setiap perkembangan zaman, sehingga cara berpikir mereka pun sangat kosmopolis.

Selain itu, pola pikir kosmopolis tersebut tidak hanya berhenti pada wilayah gagasan yang sifatnya teoritis, melainkan juga menjadi sikap hidup dalam upaya menapak zaman di mana mereka berada dan dilahirkan.  Intinya, menjadi orang modern, bagi orang-orang pesantren tidak mesti harus kehilangan tradisi.

Pesantren yang kerap kali diidentikan sebagai sitem pendidikan  tradisional, jumud dan sektarian ini ternyata mampu melahirkan corak keberagamaan yang jauh berbedah dengan praktik keberagamaan yang ada di Timur Tengah. Lewat pesantren teks-teks kitab suci mampu “berbicara” dalam menyapa lokalitas Nusantara, sehingga ia pun dikenal sebagai miniatur Islam Nusantara.

0 komentar: