Islam Nusantara belakangan ini menjadi perbincangan berbagai kalangan, itu tidak hanya terjadi di forum-forum seminar, tapi juga di berbagai media sosial. Mencuatnya wacana Islam Nusantara ini tentunya tidak lepas dari fenomena fundamentalisasi dan liberalisasi agama yang berkembang pesat di bangsa kita dewasa ini.
Kedua
fenomena tersebut menjadi keresahan bagi sebahagian kalangan umat Islam, khusunya
kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Islam
Nusantara lahir dari hasil dealektika antara kehidupan sosial-kultural
masyarakat dengan nilai-nilai Islam.
Pertemuan
dua nilai tersebut, tidak hanya melahirkan corak keberislaman yang khas ala
Indonesia, tapi juga melahirkan cara pandang moderat, lentur, fleksibel dan
tidak kaku dalam melihat persoalan.
Corak
dan krakter Islam Nusantara pun sangat dekat dengan konteks kehidupan sosial
masyarakat lokal, sehingga ia pun berciri lokal, baik dalam hal pemahaman
keagamaan (tafsir), maupun dalam konteks kehidupan sosial secara praktis, dengan
syarat selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran atau doktrin akidah yang
telah digariskan oleh Islam.
Kitab
Kehidupan
Jauh sebelum kehadiran
Islam, masyarakat bangsa ini sudah terbiasa dengan berbagai macam perbedaan,
termasuk perbedaan keyakinan dan kepercayaan. Sikap tersebut tidak lahir dengan
sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh alam (baca; laut) sebagai basis
kehidupan mereka.
Meminjam pendapat Radhar
Panca Dahana, karakter Islam Nusantara dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat maritim
yang saat itu intes melakukan interaksi dengan para pendatang baru dari
berbagai pulau, bangsa atau negara. (NU Online, 26/04/15). Selain terbuka
secara sosial, ciri khas masyarakat bahari juga bersifat egaliter. Cara pandang
tersebut lahir dari reliatas kehidupan alam bahari (baca, laut) yang lurus,
setara dan sejajar.
Lebih lanjut, Budayawan
Indonesia ini mengatakan, bahwa suksesnya penyebaran Islam di kawasan Nusantara
dan bisa menjadi agama mayoritas dikarenakan para penyebarnya berhasil berbaur
dan menjadi bagian dari masyarakat bahari. Dan bahkan tidak jarang diantara
mereka menjadi penerjemah pesan-pesan alam untuk kepentingan masyarakat
nelayan.
Alam menjadi kitab
kehidupan bagi “penganut” Islam Nusantara, dengan asumsi bahwa wahyu secara
teks dan historis telah berakhir, tapi alam adalah bahagian dari wahyu Tuhan yang
terus hadir dan sejatinya untuk dipahami, bukan untuk direduksi dengan
mengunakan tafsir teks keagamaan yang sifatnya parsial dan infor. Pada konteks
ini, ayat yang mengatakan afala ta'qilun dan afala tatafakkrun yang berarti apakah
kamu tidak memikirkan, semakin menemu ruang.
Sekaitan dengan itu,
makna dari hadist yang mengatakan Al-Islamu
Shalihun li kulli zaman wa al-makan, Islam itu sesuai dengan perkembangan waktu
dan zaman, lahir dari hasil eksplorasi pengunaan nalar dengan metode pendekatan
tafsir kontekstual. Atau dalam artian, yang dimaksud Islam dalam hadist
tersebut bukanlah Islam yang sifatnya formal dan menegara, melainkan
nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan dan kedamaian.
Miniatur Islam
Nusantara
Mungkin tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren merupakan miniatur Islam Nusantara, sebab
dari Pesantrenlah ajaran Islam mula-mula tumbuh dan berkembang hingga mampu
diterima secara luas oleh kalangan masyarakat. Lewat pesantren Islam hadir
dengan wajah yang ramah terhadap tradisi lokal dan nilai-nilai kebudayaan
(Fadlan L. Surung, 2015).
Meski demikian, bukan
berarti pesantren tidak peduli dengan perkembangna zaman, melaingkan tetap membacanya
secara kritis dan terbuka. Kalangan santri di Pondok Pesantren tidak serta
merta menerima keadaan zaman, apalagi jika hal tersebut bertentangan degan
tradisi dan budaya yang mereka pahami.
Kemoderenan bagi
kalangan pesantren bukanlah sesuatu hal yang menakutkan, apalagi harus disikapi
dengan penuh kecaman dan tindakan destrukrif. Melainkan terus didialogkan
dengan tradisi yang sudah ada. Pola pikir tersebut berangkat dari satu kaedah
usul yang mengatakan al muhafazat ala
qadimi al sholeh wa al Akhdzu bi Al jadid Al-aslah.
Yang artinya kurang
lebih sebagai berikut; menjaga tradisi lama yang baik, dan menagambil tradisi
baru yang lebih baik. Kaedah ini menjadi landasan berpikir moderat bagi
kalangan pesantren dalam melihat setiap perkembangan zaman, sehingga cara
berpikir mereka pun sangat kosmopolis.
Selain itu, pola pikir kosmopolis
tersebut tidak hanya berhenti pada wilayah gagasan yang sifatnya teoritis, melainkan
juga menjadi sikap hidup dalam upaya menapak zaman di mana mereka berada dan
dilahirkan. Intinya, menjadi orang modern,
bagi orang-orang pesantren tidak mesti harus kehilangan tradisi.
Pesantren yang kerap
kali diidentikan sebagai sitem pendidikan
tradisional, jumud dan sektarian ini ternyata mampu melahirkan corak
keberagamaan yang jauh berbedah dengan praktik keberagamaan yang ada di Timur Tengah.
Lewat pesantren teks-teks kitab suci mampu “berbicara” dalam menyapa lokalitas Nusantara,
sehingga ia pun dikenal sebagai miniatur Islam Nusantara.
0 komentar:
Posting Komentar