Sabtu, 06 Juni 2015

Masa Depan Kota Makassar

Akhir Desember tahun 2013 lalu, penulis sempat berbincang-bincang dengan Amma Toa, pimpinan adat komunitas Kajang di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Perbincangan kami terkait mitos konflik sosial yang konon pernah terjadi di Sulawesi Selatan. Konflik tersebut dikenal dengan istilah Sianre Bale (ikan besar memangsa ikan kecil).
 
Amma, demikian sapaan akrabnya menjelaskan kepada penulis, bahwa kedepannya benih-benih konflik (Sianre Bale) akan sangat berpotensi terjadi, mengingat pertumbuhan populasi manusia semakin meningkat setiap tahun, sementara lahan pemukinan semakin menyempit.


Menurutnya, titik konflik tersebut bisa saja bermula dari wilayah perkotaan, karena di wilayah tersebutlah pertumbuhan manusia sangat cepat, sementara lahan pemukiman tidak hanya semakin menyempit, tapi juga memaksa pemerintah untuk menciptakan model pemukiman baru, berupa bangunan beton bertingkat bernama rumah susun.

Selain itu, bagunan tersebut tidak hanya menjadi simbol kemegahan sebuah kota, tapi juga menjadi penanda bahwa lahan di perkotaan semakin padat dan sempit. Lahan yang padat dan sempit inilah, menurutnya akan mengundang persoalan baru, sebab manusia tidak hanya akan saling meklaim, tapi juga akan berebut lahan baik secara kasar maupun halus.

Kota Global
Analisis Amma di atas tentunya bukan hal yang baru bagi pengamat sosial. Jauh sebelumnya, fakar-fakar sosial telah menganalisis dan merumuskan dampak yang ditimbulkan dari persoalan sosial perkotaan tersebut. Namun yang cukup mengherankan bagi penulis, karena pimpinan adat yang jauh kehidupan modern dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal ini mampu menganalisis persoalan-persoalan sosial perkotaan secara sistematis.

Selain itu, analisis yang disampaikan Amma di atas juga tidak lepas dari cara pandang bahwa kedepan kota di negara ini akan semakin menglobal disebabkan karena adanya perubahan dan gerak demografis penduduk dunia yang semakin meningkat setiap tahun. Meminjam analisis Hilmy Konstantinus Deo Amal bahwa penduduk dunia pada tahun 2050 akan mengalami peningkatan sebesar 70 persen, 3,3 miliar jiwa, tumbuh menjadi 6,4 miliar jiwa. Sementara pertumbuhan kota pada tahun 2040 diperdiksi akan tumbuh sebanyak 10 ribu kota besar dan baru diseluruh dunia (Opini Tribun Timur, 13/5/2015).

Data tersebut sekaligus mengambarkan bahwa masa depan kota di dunia akan terintegrasi dalam dinamika dunia yang menglobal. Kehidupan kota yang menglobal ini perlu untuk diwaspadai sebab bukan saja persaingan akan semakin menajam, tapi juga banalitas kehidupan serta potensi konflik horizontal akan sangat memungkinkan terjadi.

Fenomena itu pun akan semakin menemukan ruangnya jika orientasi pembangunan kota lebih diutamakan pada aspek pembangunan fisik ketimbang manusianya. Sebab kota yang mega tanpa kemajuan manusianya serta lepasnya dari kearifan tradisi dan kebudayaannya hanya akan menyisahkan duka bagi sebahagian penghuni perkotaan.

Duka tersebut terjadi disebabkan oleh pembodohan dan penjajahan model baru yang dilakukan oleh kelompok-kelompok cerdas dan punya kuasa, modelnya bisa ditemukan dalam beragam bentuk, bisa dengan model pembagunan dan industrialisasi kota, yang notabene banyak menguntungkan segelintir orang atau kelompok.

Kota Makassar
Sekaitan dengan itu, kita patut melihat masa depan Kota Makassar beberapa tahun ke depan. Sebagai kota dunia, Makassar tentunya tidak hanya terintegrasi dalam dunia global, tapi juga akan menghadapi berbagai macam tantangan termasuk ancaman kemanusiaan. Ancaman kemanusiaan ini hadir seiring tergerus nilai-nilai kebudayaan, akibat orientasi pembangunan yang bersifat fisik. Jika dulunya budaya adalah tuntunan, seiring dengan perkembangan zaman, maka budaya pun berubah menjadi tontonan.

Budaya siri, sipakatu dan sipakalaqbi, tak lagi menjadi praktik hidup dan menjadi doktrin bagi masyarakat sehingga pola hidup yang keras dan kejam pun kerap kali terjadi di kota ini. Perlu dicatat, saat nilai-nilai lokal tersebut (siri, sipakatu dan sipakalqbi) hengkang dari kehidupan sosial kita, maka pada saat yang sama fenomena sianre bale akan sangat berpotensi terjadi.

Fenomena sianre bale ini tidak hanya meluluh dimaknai dalam bentuk konflik sosial, tapi juga dalam praktik politik, birokrasi dan relasi sosial yang eksploitatif, dimana orang besar (pemodal) dan penguasan mengintimidasi dan mengeksploitasi orang-orang lemah.

Dimuat di Kolom Opini Tribun Timur, Rabu, 3 Juni 2015

0 komentar: