Alkisah di sebuah Universitas
terkemuka, tersebutlah seorang guru besar yang terkenal dengan kecerdasannya. Guru
besar ini terkenal bukan hanya karena ia mampu memahami secara tuntas hampir
semua ilmu pengetahuan umum, seperti IPA, Matematika, Kimia, fisika, tapi juga
ilmu Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan.
Suatu ketika, Professor ini
meliburkan mahasiswanya karena ingin menemui seorang nelayan miskin yang hidup di
samping kampus mewah tersebut. “Anak-anaku Sekalian, hari ini kita tidak kuliah,
karena saya ingin menemui seorang nelayan miskin untuk memberi wejangan agar hidupnya
bisa sukses,” ungkap guru besar
tersebut.
Beberapa saat kemudian, guru
besar itu pun meninggalkan ruang perkuliahan dan bergegas menuju perkampungan
nelayan. Singkat cerita, di perkampungan nelayan itu, ia pun bertemu dengan nelayan yang selama ini ia cari-cari.
Guru besar itu pun menyampaikan maksud
dan tujuan menemuinya. Ia mengatakan, “saya sengaja menemuimu untuk mengajari
engkau bagaimana cara hidup sukses dan sejahterah. Agar transfer pengetahuannya lebih santai, ada
baiknya sampangmu itu kamu dayung ke tegah laut, di tegah laut lepas nanti saya
akan ajarkan ilmu-ilmu sukses” ungkapnya.
Nelayan
tersebut pun bergegas mengambil sampangnya, dan mengajak guru besar itu untuk
segera naik ke sampan. Di tegah samudra lepas, guru besar itu tidak langsung
memberikan trik-trik kesuksesan, tapi ia telebih dahulu bertanya untuk menguji
kapasitas pengetahuan sang nelayan tersebut.
“Pak
nelayan, apa kamu tahu ilmu Fisika, Kimia dan Mate-matika? Tanya guru besar
tersebut. “Waduh, saya tidak tahu Prof, itu kan pelajaran anak SMP dan SMA,
saya kan sekolah hanya sampai kelas 2 SD,” jawab nelayan tersebut dengan polos.
Mendegar
jawaban tersebut, guru besar tersebut pun mengatakan, “Pak nelayan, siapa
manusia yang tidak mengetahui ke 3 ilmu itu, maka sama halnya ia telah
kehilangan separuh dunianya.
Selanjutnya,
guru besar tersebut bertanya lagi, “Pak Nelayan, apa kamu tahu ilmu Filsafat?” Nelayan
tersebut pun mengelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ilmu itu tidak diketahuinya,
dan bahkan baru pertama kalinya ia dengar.
Guru besar tersebut pun kembali mengucapkan kalimat yang sama, ia mengatakan, “jika Ilmu Filsafat engaku tidak tahu, maka sama halnya engkau telah kehilangan separuh duniamu, sebab Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan,” tegas guru besar tersebut.
Ditegah-tegah
diskusi yang membosankan itu, tiba-tiba sampan yang ditumpanginya bocor, dan
mulailah guru besar tersebut prihatin, di tengah stuasi yang cukup menegangkan itu,
si nelayan bertanya.
“Apa
bapak bisa berenang?, “saya tidak tahu, tolonglah saya,” jawab guru besar tersebut
dengan panik. Mendengar jawaban guru
besar tersebut, nelayan itu berkata; “Prof, jika disaat-saat seperti ini kita
tidak bisa berenang, maka bukan lagi seperuh dunia kita akan hilang, tapi seluruh
dunia kita akan hilang.”
Hikmah
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan siapa yang paling cerdas antara
Professor dan Nelayan dalam cerita tersebut, melainkan akan mencoba menelusuri
hikmah yang terkandung dalam cerita itu.
Paling
tidak, cerita diatas menyisakan beberapa hikma; pertama, bahwa sehina dan seburuk apapun manusia, tidak boleh diangap
remeh keberadaanya, sebab tiap-tiap manusia punya kelebihan tersendiri yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya.
Kedua,
cerita tersebut mengambarkan bahwasanya kecerdasan itu sangat terkait oleh ruang
dan waktu. Ia tidak hanya lahir dari dunia teori, melainkan juga lahir dan
dikontruksi oleh hasil pengalaman keseharian manusia. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, mengingat gelar akademis kerap membuat kita menjadi arogan dan lupa
diri.
Ketiga,
kepolosoan sang nelayan, cerita diatas mengambarkan sisi lain dari kehidupan
manusia yang bijak. Kepolosan selalu identik dengan ketulusan, keihlasan dan
kebenaran itu sendiri. Ironisnnya justru
mereka inilah yang kerap dipinggirkan karena dianggap tidak tahu apa-apa, atau
dalam bahasa lainnya ia kerap disebut sebagai orang awam.
Padahal
dalam kenyataannya tidak ada manusia yang bodoh, yang ada adalah manusia yang belum
paham dan berpengalaman dalam bidang tertentu. Sehingga tidaklah layak menghakumi
manusia karena ketidaktahuannya, sebab apalah arti pendidikan dan pengajaran
jika ia tidak mampu memahami semua itu.
Hegemoni Gelar
Pada
konteks itulah gelar kesarjanaan kita menjadi tidak universal, sehingga kitapun
menjadi sarjana fakultatif yang terkungkung oleh gelar, kenapa demikian? Boleh
jadi karena kita hanya kaya secara teori, namun miskin pengalaman. Inilah yang
dimaksudkan sebagai salah satu bentuk dari hegemoni gelar.
Hegemoni
gelar adalah ketidakmampuan menyelami konteks dan eksistensi sebuah realitas. Hal
itu bisa terjadi karena superioritas gelar lebih dominan ketimbang perasaan
ingin tahu. Olehnya itu, tidaklah
salah jika ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “guru yang terbaik dalam
kehidupan ini adalah pengalaman”.
Kata
bijak ini sekaligus menegaskan eksistensi nelayan dalam cerita di atas, dimana
nelayan tersebut tidak mampu memahami pengetahuan secara teoritis. Namun dari segi
pengalaman tentang laut (berenang) ia mungkin jauh lebih hebat dari guru besar
tersebut.
Olehnya
itu, gelar kesarjanaan yang kerap kita banggakan sejatinya tidak membuat kita tidak
lupa diri, karena pada akhirnya, setinggi apapun pendidikan yang kita miliki,
namun ketika ia tidak ditopan oleh pengalaman, maka hasilnya pun tidak akan memberi
arti apa-apa dalam kehidupan nyata kita.
Opini Tribun Timur, 07 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar