Kamis, 07 Mei 2015

Hegemoni Gelar; Fenomena Sarjana Fakultatif


Alkisah di sebuah Universitas terkemuka, tersebutlah seorang guru besar yang terkenal dengan kecerdasannya. Guru besar ini terkenal bukan hanya karena ia mampu memahami secara tuntas hampir semua ilmu pengetahuan umum, seperti IPA, Matematika, Kimia, fisika, tapi juga ilmu Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan.

Suatu ketika, Professor ini meliburkan mahasiswanya karena ingin menemui seorang nelayan miskin yang hidup di samping kampus mewah tersebut. “Anak-anaku Sekalian, hari ini kita tidak kuliah, karena saya ingin menemui seorang nelayan miskin untuk memberi wejangan agar hidupnya bisa sukses,”  ungkap guru besar tersebut.


Beberapa saat kemudian, guru besar itu pun meninggalkan ruang perkuliahan dan bergegas menuju perkampungan nelayan. Singkat cerita, di perkampungan nelayan itu, ia pun bertemu  dengan nelayan yang selama ini ia cari-cari.  

Guru besar itu pun menyampaikan maksud dan tujuan menemuinya. Ia mengatakan, “saya sengaja menemuimu untuk mengajari engkau bagaimana cara hidup sukses dan sejahterah.  Agar transfer pengetahuannya lebih santai, ada baiknya sampangmu itu kamu dayung ke tegah laut, di tegah laut lepas nanti saya akan ajarkan ilmu-ilmu sukses” ungkapnya.

Nelayan tersebut pun bergegas mengambil sampangnya, dan mengajak guru besar itu untuk segera naik ke sampan. Di tegah samudra lepas, guru besar itu tidak langsung memberikan trik-trik kesuksesan, tapi ia telebih dahulu bertanya untuk menguji kapasitas pengetahuan sang nelayan tersebut.

“Pak nelayan, apa kamu tahu ilmu Fisika, Kimia dan Mate-matika? Tanya guru besar tersebut. “Waduh, saya tidak tahu Prof, itu kan pelajaran anak SMP dan SMA, saya kan sekolah hanya sampai kelas 2 SD,” jawab nelayan tersebut dengan polos.

Mendegar jawaban tersebut, guru besar tersebut pun mengatakan, “Pak nelayan, siapa manusia yang tidak mengetahui ke 3 ilmu itu, maka sama halnya ia telah kehilangan separuh dunianya.

Selanjutnya, guru besar tersebut bertanya lagi, “Pak Nelayan, apa kamu tahu ilmu Filsafat?” Nelayan tersebut pun mengelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ilmu itu tidak diketahuinya, dan bahkan baru pertama kalinya ia dengar.

Guru besar tersebut pun kembali mengucapkan kalimat yang sama, ia mengatakan, “jika Ilmu Filsafat engaku tidak tahu, maka sama halnya engkau telah kehilangan separuh duniamu, sebab Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan,” tegas guru besar tersebut.

Ditegah-tegah diskusi yang membosankan itu, tiba-tiba sampan yang ditumpanginya bocor, dan mulailah guru besar tersebut prihatin, di tengah stuasi yang cukup menegangkan itu, si nelayan bertanya.

“Apa bapak bisa berenang?, “saya tidak tahu, tolonglah saya,” jawab guru besar tersebut dengan panik.  Mendengar jawaban guru besar tersebut, nelayan itu berkata; “Prof, jika disaat-saat seperti ini kita tidak bisa berenang, maka bukan lagi seperuh dunia kita akan hilang, tapi seluruh dunia kita akan hilang.”

Hikmah
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan siapa yang paling cerdas antara Professor dan Nelayan dalam cerita tersebut, melainkan akan mencoba menelusuri hikmah yang terkandung dalam cerita itu.

Paling tidak, cerita diatas menyisakan beberapa hikma; pertama, bahwa sehina dan seburuk apapun manusia, tidak boleh diangap remeh keberadaanya, sebab tiap-tiap manusia punya kelebihan tersendiri yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Kedua, cerita tersebut mengambarkan bahwasanya kecerdasan itu sangat terkait oleh ruang dan waktu. Ia tidak hanya lahir dari dunia teori, melainkan juga lahir dan dikontruksi oleh hasil pengalaman keseharian manusia. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, mengingat gelar akademis kerap membuat kita menjadi arogan dan lupa diri.

Ketiga, kepolosoan sang nelayan, cerita diatas mengambarkan sisi lain dari kehidupan manusia yang bijak. Kepolosan selalu identik dengan ketulusan, keihlasan dan kebenaran itu sendiri.  Ironisnnya justru mereka inilah yang kerap dipinggirkan karena dianggap tidak tahu apa-apa, atau dalam bahasa lainnya ia kerap disebut sebagai orang awam.

Padahal dalam kenyataannya tidak ada manusia yang bodoh, yang ada adalah manusia yang belum paham dan berpengalaman dalam bidang tertentu. Sehingga tidaklah layak menghakumi manusia karena ketidaktahuannya, sebab apalah arti pendidikan dan pengajaran jika ia tidak mampu memahami semua itu.

Hegemoni Gelar
Pada konteks itulah gelar kesarjanaan kita menjadi tidak universal, sehingga kitapun menjadi sarjana fakultatif yang terkungkung oleh gelar, kenapa demikian? Boleh jadi karena kita hanya kaya secara teori, namun miskin pengalaman. Inilah yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk dari hegemoni gelar.

Hegemoni gelar adalah ketidakmampuan menyelami konteks dan eksistensi sebuah realitas. Hal itu bisa terjadi karena superioritas gelar lebih dominan ketimbang perasaan ingin tahu. Olehnya itu, tidaklah salah jika ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “guru yang terbaik dalam kehidupan ini adalah pengalaman”.

Kata bijak ini sekaligus menegaskan eksistensi nelayan dalam cerita di atas, dimana nelayan tersebut tidak mampu memahami pengetahuan secara teoritis. Namun dari segi pengalaman tentang laut (berenang) ia mungkin jauh lebih hebat dari guru besar tersebut.

Olehnya itu, gelar kesarjanaan yang kerap kita banggakan sejatinya tidak membuat kita tidak lupa diri, karena pada akhirnya, setinggi apapun pendidikan yang kita miliki, namun ketika ia tidak ditopan oleh pengalaman, maka hasilnya pun tidak akan memberi arti apa-apa dalam kehidupan nyata kita.

Opini Tribun Timur, 07 Mei 2015

0 komentar: