Minggu, 26 April 2015

Toleransi di Tegah Keanekaragaman;

Refleksi Materi Sekolah Pluralisme Kewargaan 2013

Pluralisme dan multikulturalisme tidak hanya menjadi fakta kehidupan, melainkan juga telah menjadi identitas kebangsaan kita yang tumbuh dan berkembang jauh sebelum bangsa ini melebur menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski belakangan ini bangsa Indonesia tak henti-hentinya dirundung oleh masalah, baik berupa konflik komunal, ketidakadilah, pemerataan pembangunan, serta tindakan refresif yang dilakukan oleh beberapa kelompok atau kalangan dengan mengatas namakan agama sebagai legetimasi, namun tetap saja bangsa ini berdiri kokoh dengan simbol dan indentitas keanekaragamannya.

Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) yang dilaksanakan oleh CRCS UGM Yogyakarta pada tanggal 11-23 Februarai 2013 kemarin adalah sebuah pilihan yang tepat ditengah kehidupan kebangsaan yang semakin terusik akibat letupan-letupan konflik yang terjadi diberbagai wilayah bangsa ini. Berbagai teori dan gagasan telah dikaji dan dianalisisis secara kritis dalam sekolah tersebut. Tujuannya, tentu tidak hanya untuk pengembangan wawasan peserta, melainkan juga sebagai tolok ukur serta cara pandang dalam melihat berbagai persoalan pluralitas dan multikulturalisme bangsa.

Meski penyajian materi pada minggu pertama kegiatan SPK ini cukup teoritis, bukan berarti penerapan metode tersebut tidak penting, melainkan sangat dibutuhkan dalam upaya membaca dan memetakan berbagai persoalan yang terjadi. Hal ini juga terkait dengan penegasan Zainal Abidin Bagir, saat memberi pengantar materi “Memetakan Problema Pluralisme Agama di Indonesia”, ia mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang mengabaikan teori dalam membaca sebuah persoalan, sebab teori itu sendiri lahir dari proses pengalaman.

Pemetaan isu pluralisme dan multikulturalisme bangsa semakin menemukan ruang dan sekaligus memperkaya pengetahuan peserta saat refleksi sosial berangkat dari hasil pengalaman masing-masing peserta yang  datang dari berbagai latar belakang wilayah dan profesi (akdemisi, agamawan dan LSM).  Tentunya, inplementasi sosial dari hasil refleksi tersebut bisa menjadi kerangka acuan dalam membaca berbagai persoalan sosial serta acaman disintegrasi bangsa akibat letusan konflik berupa etnis, agama, identitas, dan budaya.

Bhineka Tunggal Ika
Istilah pluralisme dan multikulturalisme seolah telah menjadi istilah yang lazim digunakan dalam membaca berbagai persoalan keanekaragaman. Meski demikian, hal tersebut bukanlah hal yang baru bagi bangsa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka, praktek multikulturalisme dan pluralisme kehidupan telah menjadi prinsip hidup bagi sebahagian warga masyarakat bangsa ini.  Adalah Empu Tantular (XIV M) salah seorang philosof  Nusantara telah berhasil menelorkan satu gagasan yang cukup brillian beranama Bhineka Tunggal Ika.

Gagasan tersebut tidak hanya mampu melihat sisi perbedaan masyarakat Indonesia dari segi biologis, melainkan juga dari apek teologis, dimana perbedaan adalah sebuah keniscayaan Ilahiah yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaanya oleh siapapun. Gagasan ini sekaligus menjadi bukti bahwasanya kepedulian terhadap keanekaragaman dan pentingnya persatuan bangsa adalah hal yang klasik. Sementara wacana pluralisme dan multikulturalisme muncul dan marak menjadi perbincangan setelah lensernya orde baru.

Olehnnya itu, membaca persoalan pluralisme dan multikulturalisme bangsa mestinya melalui pendekatan kebudayaan dan sejarah kebangsaan kita, sebab struktur dasar masyarakat bangsa ini adalah apa yang lahir dari rahim budaya dan tradisinya sendiri, bukan apa yang datang dari luar (Barat dan Timur Tengah). Terkait hal ini, menarik untuk mengutip pendapat Sri Sultan Hamengku Buwono X, bahwasanya Plurasime adalah kesadaran untuk menghargai agama dan perbedaan yang ada pada orang lain dengan tetap mampu membedakan antara konsep pluralisme ala Barat dan Indonesia.

Landasan pluralisme Barat lahir dari paham agama Nasrani yang secara internal berbedah sakte, tapi secara akidah sama. Sementara untuk konteks Indonesia, yang terjadi bukan hanya perbedaan sakte dalam setiap agama, melainkan juga perbedaan agama dan akidah. Oleh karenanya, Bhineka tunggal ika adalah merupakan gagasan pluralisme dan multikulturalisme ala Indonesia yang harus diwujudkan sebagai strategi integrasi kebangsaan untuk semua lapisan perbedaan. (Sri Sultan Hamengkubuwono X, Februari 2013).

Meski demikian, bukan berarti gagasan yang dilontarkan Sri Sultan tersebut adalah bentuk eklusivisme  pemikiran, dengan menafikan gagasan yang datang dari luar, melainkan sebuah upaya untuk menyelami makna kearifan lokal bangsa dengan mencoba mendialogkannya dengan berbagai gagasan yang sedang berkembang tanpa harus tercerabut dari akar dan falsafah kebudayaan bangsa ini. Sehingga dengan demikian, wacana pluralisme dalam konteks Indonesia bukan lagi sebagai wacana yang sifatnya baru, atau cara pandang dari hasil gagasan pluralisme ala Barat, melainkan betul-betul lahir dari hasil pengalaman dan reflesksi kehidupan sosial masyarakat Nusantara.

Mengelolah Keragaman
Meski bangsa ini telah terbiasa dengan perbedaan dan keanekaragaman, namun tetap saja bangsa ini tak henti-hentinya dirundung oleh berbagai masalah, khususnya konflik sosial yang berkepanjangan. Salah satu penyebab dari persolan tersebut karena dominannya kepentingan dan klaim kebenaran yang bermain dibalik keragaman tersebut. Fenomena tersebut pun semakin memperjelas bahawasanya mengelolah keanekaragaman bangsa bukanlah perkara mudah, apalagi di tegah fundamentalisasi agama dan indentitas yang semakin menguat.

Dalam mengeloh keanekaragaman, paling tidak ada tiga teori yang bisa dipakai untuk membaca persoalan tersebut, yaitu;  pertama; Keanekaragaman harus dilebur menjadi satu, gagasan ini pernah diperaktekkan oleh rezim orde baru. Pada masa itu, ruang perbedaan tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang, sebab hal tersebut dikawatirkan akan melahirkan konflik sosial. Sementara itu, pendidikan yang sejatinya bisa menjadi perekat  persatuan dimana budaya toleransi antar berbagai perbedaan menjadi basis pengetahuan tidak berjalan dengan baik. Menurut Choirul Mahfud, pendidikan dimasa orde baru tidak lebih sebagai bahagian dari indoktrinasi politik untuk membangun rezim kekuasaan dan mengebiri realitas keanekaragaman masyarakat (Choirul Mahfud,2011).

Demikian pula, persolan imigrasi penduduk ke wilayah tertentu tidak hanya mengakibatkan polarisasi antara pribumi dan pendatang, tetapi juga telah menjadi arena penguasaan asset-aset ekonomi masyarakat lokal (pribumi) sehingga semakin menajamkan perbedaan dan kecemburuan sosial diantara anak bangsa. Olehnya itu, tidak mengherangkan jika berbagai konflik muncul pasca jatuhnya rezim orde baru. Hal ini pun menjadi bukti bahwasanya penyeragaman perbedaan ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah, justru bisa menjadi bom waktu dikemudian hari.

Kedua; Mengakomodasi perbedaan, pandangan ini melihat sisi perbedaan bukan hanya sebagai bawaan manusia, melainkan sebuah kekayaan yang harus dirayakan dan dilestarikan dalam peraktek kehidupan demi untuk memperkaya pemahaman dan interaksi sosial. Peran seperti ini menjadi tugas utama setiap Negara, selain sebagai bentuk apresiasi terhadap keanekaragaman warganya, khususnya kalangan minoritas yang hidup dalam suatu bangsa, juga sebagai bentuk  pengakomodasian hak-hak setiap kelompok serta pemenuhan hak kemerdekaan bagi setiap warga Negara melalui jaminan regulasi yang telah ditetapkan oleh Negara. 

Ketiga; Toleransi, menerapkan budaya toleransi ditegah keaneka ragaman agama, budaya dan ideologi memang bukan perkara mudah, apalagi jika hal tersebut terkait pada persoalan politik, identitas dan akidah. Pada hakekatnya semua manusia sama, butuh pengakuan dan penghargaan, hal tersebut hanya bisa terwujud saat budaya toleransi menjadi kesadaran yang membumi dalam diri dan kehidupan setiap manusia.

Toleransi lahir atas dasar kesadaran tiap manusia untuk menghargai perbedaan, hidup berdampingan secara damai serta mampu berinteraksi dengan baik tanpa ada sekat-sekat perbedaan. Pluralisme adalah upaya untuk memperindah keragaman melalui sikap toleransi, bukan untuk memperkeruh perbedaan apalagi menyelesaikan perbedaan dengan tindakan refresif dan radikal. Meski demikian, dalam prakteknya budaya toleransi ini masih hanya sebatas toritis belum menjadi kesadaran sosil bagi sebahagian masyarakat bangsa ini.

Menurut Ari Sujito, keanekaragaman memang sangat gampang untuk diucapkan, tapi sangat rumit untuk diterapkan dalam praktek kehidupan keseharian manusia, sebab kadang seorang aktivis sangat fasih berbicara masalah demokrasi dan keanekaragaman, namun pada sisi yang lain, terkadang mereka tidak mampu untuk bersikap pluralis dan toleran ditegah masalah yang dia hadapi (Ari Sujito, 2013). Hal ini adalah merupakan fenomena dari setiap individu, dimana doktrin pluralisme gagal menjadi sebuah kesadaran dan prilaku hidup bagi sebahagian manusia. padahal menjadi seorang pluralis yang toleran tidak mesti harus kehilangan identitas.

Olehnya itu, Sekolah Pluralisme Kewargaan, menurut hemat kami, bukan hanya menjadi ruang pembelajaran bersama, tempat untuk menimbah ilmu pengetahuan dan pengalaman, tapi juga menajadi ruang penyadaran akan pentingnya membangun budaya toleransi ditegah keanekaragaman bangsa dan mengekpresikannya sebagai bentuk gerakan sosial dengan berangkat pada upaya penyadaran setiap individu menuju kehidupan bangsa yang toleran, beradab dan demokratis.

0 komentar: