Ada keprihatianan yang amat sangat terkait perkembangan paham
keagamaan kita dewasa ini, di mana pasca reformasi bergulir, berbagai
macam kelompok, ideologi dan paham keagamaan muncul dan mendominasi
ruang publik kita. Selain karena efek dari euvoria kebebasan, juga tidak
lepas dari dinamikan perkembangan dunia yang semakin menglobal.
Globlisasi tidak hanya hadir dengan kemegahan dan kecanggihan
teknologinya, tapi juga ditandai dengan beragamnya ideologi dan paham
keagamaan yang muncul kepermukaan. Ironisnya, keanekaragaan paham ini
hadir tidak untuk memperkaya perbedaan, tapi justru disatu sisi semakin
mempertajam perbedaan, dimana antara ideologi atau faham yang berbeda
tidak jarang saling bertikai. Akibatnya, fenomena kehidupan keagamaan
pun penuh dengan kecurigaan dan kecemasan. Apalagi di tengah kecangihan
teknologi, provokasi dan wacana yang sifatnya diskriminati sangat mudah
tersebar.
Ada begitu banyak kalangan menjadi tidak toleran akibat provokasi
yang disebar lewat media sosial tersebut, dan bahkan tidak jarang pula
relasi sosial antara kelompok yang berbeda paham kembali menegang
disebabkan karena propoganda media sosial. Parahnya lagi, fenomena ini
tidak hanya menjadi konsumsi orang dewasa, tapi juga oleh kalangan
anak-anak yang masih berusia dini.
Kita bisa membayangkan, jika diusia dini generasi bangsa ini diajari
untuk membenci, maka tidak menutup kemungkinan, anak kita akan tumbuh
menjadi generasi pembenci. Sementara agama yang sejatinya hadir menjadi
penyejuk kehidupan umat manusia dan penebar pesan damai, seolah menjadi
sesuatu yang mustahil ditemukan, justru yang nampak ke generasi kita
saat ini adalah wajah agama begitu garang dan penuh kebencian terhadap
kelompok lain.
Jika demikian, lalu apa arti agama bagi kehidupan manusia. Jika
beragama hanya menyisakan ketengangan dan kecemasan, seperti yang
terjadi di Tolikara baru-baru ini, lalu buat apa agama itu
dipertahankan? Pertanyataan ini sekaligus menjadi gejolak batin penulis,
karena pada saat yang sama kita menemukan pesan-pesan keagamaan yang
begitu damai, toleran dan menyejukkan. Namun pada sisi yang lain, kita
menemukan tampilan agama yang berbeda dengan doktrin ajarannya.
Fakta kehidupan keberagamaan seperti inilah yang menurut hemat kami
cukup berbahaya. Kedangkalan dalam memahami ajaran agama memang kerap
mendorong lahirnya tindak kekerasan. Belum lagi, umat terpecah lantaran
tokoh agama tak mampu menampilkan diri sebagai tauladan, pengayom dan
perekat persatuan, justru disatu sisi, tidak jarang kita menemukan tokoh
agama terlibat memprovokasi umatnya untuk melakukan tindakan
intoleransi.
Olehnya itu, jika tokoh agama yang diharapkan bisa memberi contoh tak
mampu menyatu, maka jangan pernah berharap pengikut masing-masing agama
atau paham juga tidak akan pernah menyatu. Dalam konteks ini, agama
hanya sekedar menjadi label yang tak mampu menyapa realitas sosialnya
yang begitu beragam, sehingga kecemasan pun akan tetap lestari dalam
ingatan kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar