Rabu, 06 April 2016

Beragama dengan Penuh Kecemasan

Ada keprihatianan yang amat sangat terkait perkembangan paham keagamaan kita dewasa ini, di mana pasca reformasi bergulir, berbagai macam kelompok, ideologi dan paham keagamaan muncul dan mendominasi ruang publik kita. Selain karena efek dari euvoria kebebasan, juga tidak lepas dari dinamikan perkembangan dunia yang semakin menglobal. 


Globlisasi tidak hanya hadir dengan kemegahan dan kecanggihan teknologinya, tapi juga ditandai dengan beragamnya ideologi dan paham keagamaan yang muncul kepermukaan. Ironisnya, keanekaragaan paham ini hadir tidak untuk memperkaya perbedaan, tapi justru disatu sisi semakin mempertajam perbedaan, dimana antara ideologi atau faham yang berbeda tidak jarang saling bertikai. Akibatnya, fenomena kehidupan keagamaan pun penuh dengan kecurigaan dan kecemasan. Apalagi di tengah kecangihan teknologi, provokasi dan wacana yang sifatnya diskriminati sangat mudah tersebar.

Ada begitu banyak kalangan menjadi tidak toleran akibat provokasi yang disebar lewat media sosial tersebut, dan bahkan tidak jarang pula relasi sosial antara kelompok yang berbeda paham kembali menegang disebabkan karena propoganda media sosial. Parahnya lagi, fenomena ini tidak hanya menjadi konsumsi orang dewasa, tapi juga oleh kalangan anak-anak yang masih berusia dini.

Kita bisa membayangkan, jika diusia dini generasi bangsa ini diajari untuk membenci, maka tidak menutup kemungkinan, anak kita akan tumbuh menjadi generasi pembenci. Sementara agama yang sejatinya hadir menjadi penyejuk kehidupan umat manusia dan penebar pesan damai, seolah menjadi sesuatu yang mustahil ditemukan, justru yang nampak ke generasi kita saat ini adalah wajah agama begitu garang dan penuh kebencian terhadap kelompok lain.

Jika demikian, lalu apa arti agama bagi kehidupan manusia. Jika beragama hanya menyisakan ketengangan dan kecemasan, seperti yang terjadi di Tolikara baru-baru ini, lalu buat apa agama itu dipertahankan? Pertanyataan ini sekaligus menjadi gejolak batin penulis, karena pada saat yang sama kita menemukan pesan-pesan keagamaan yang begitu damai, toleran dan menyejukkan. Namun pada sisi yang lain, kita menemukan tampilan agama yang berbeda dengan doktrin ajarannya.

Fakta kehidupan keberagamaan seperti inilah yang menurut hemat kami cukup berbahaya. Kedangkalan dalam memahami ajaran agama memang kerap mendorong lahirnya tindak kekerasan. Belum lagi, umat terpecah lantaran tokoh agama tak mampu menampilkan diri sebagai tauladan, pengayom dan perekat persatuan, justru disatu sisi, tidak jarang kita menemukan tokoh agama terlibat memprovokasi umatnya untuk melakukan tindakan intoleransi.

Olehnya itu, jika tokoh agama yang diharapkan bisa memberi contoh tak mampu menyatu, maka jangan pernah berharap pengikut masing-masing agama atau paham juga tidak akan pernah menyatu. Dalam konteks ini, agama hanya sekedar menjadi label yang tak mampu menyapa realitas sosialnya yang begitu beragam, sehingga kecemasan pun akan tetap lestari dalam ingatan kita semua.

0 komentar: