Rabu, 06 April 2016

Rasulullah; Inspirasi Damai dalam Keberagama






Oleh; Suaib Amin Prawono

(Koordinator Jaringan GUSDURian Sulselbar)

Fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama beberapa tahun belakangan ini sungguh sangat memiriskan. Meski tak satupun agama di dunia ini menghalalkan kebencian apalagi pembunuhan, namun pada faktnya, atas nama agama manusia saling membenci, membunuh, dan atas nama agama pula manusia merobek perdamaian. Fenomena ini pun seakan memperjelas bahwasanya manusia nampaknya lebih mencintai agama ketimbang Tuhannya.
Dalam Islam, fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Islam berkembang, tepatnya pada masa khulafaurrasyidin, telah muncul satu kelompok ekstrim yang mengatasnamakan diri sebagai Khawārij. Sebuah aliran atau paham keagamaan yang bersifat eksklusif dan kerap mengunakan kekerasan dalam berdakwa. Kelompok ini tidak hanya merasa diri paling benar, tapi juga mereka tidak segan-segan memusuhi dan memerangi kelompok atau mazhab yang tidak sepaham dengannya.

Meski kelompok Khawārij ini telah punah, namun pahamnya masih terus berlanjut, dan itu bisa ditemukan pada kelompok Islam garis keras yang bergerak secara massif dan lintas negara di era sekarang ini. Dalam kaitannya dengan paham keagamaan, kelompok ini tak jauh beda dengan Khawārij, dan bahkan bisa lebih berbahaya, sebab mereka kerap mengunakan bahan peledak untuk menyarang kelompok-kelompok lain. Akibat dari prilakunya tersebut, ia tidak hanya melukai manusia, tapi juga merusak fasilitas umum.Selain itu, siapapun yang berani melawan atau mengkritik paham mereka, ia tidak hanya akan dicap sebagai orang kafir, tapi juga dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap agama. Padahal dalam kenyataannya, apa yang mereka maksudkan sebagai agama, tidak lain adalah hasil tafsir mereka yang kemudian dimapankan dan diklaim sebagai agama itu sendiri.   

Citra buruk yang ditampilkan oleh paham agama seperti ini tentunya membuahkan pertanyaan, apakah Islam memang mengajarkan kekerasan? Jika tujuan manusia berislam hanya untuk melakukan tindak kekerasan, lalu apa arti Islam bagi kehidupan manusia? Dan buat apa manusia berislam jika ia tidak mampu menciptakan suasana damai sebagai bahagian kebutuhan hidup manusia?

Islam Rahmatan lil’alamin
Ulasan di atas mengambarkan bahwasanya lewat praktik keberagamaan, manusia kerap kali mengalami ketertindasan akibat ulah sekolompok orang yang merasa diri paling benar dan merasa paling dekat dengan Tuhan. Padahal sejatinya kehadiran agama adalah untuk menyejukkan kehidupan sosial kemanusiaan, karena esensi terdalam dari ajaran tiap-tiap agama adalah untuk melayani manusia. Atau dengan kata lain, agama untuk kemanusiaan, bukan manusia untuk agama.

Dalam Islam, konsep ini dikenal dengan istilah Rahmatan Lil’alamin, sebuah konsep keberagamaan yang diyakini oleh pemeluknya mampu merahmati segala keanekaragaman yang ada di jagad raya ini. Dan konsep ini pula yang menjadi fundamen dasar dari ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Islam sebagai rahmat cakupannya sangat luas, meliputi alam semesta dan segala isinya. Sementara Islam sebagai ideologi cakupannya sangat kecil karena hanya meliputi kepentingan kelompok saja. Konsep Islam Rahmatan lil’alamin ini memahamkan bahwa Islam tidak mengharamkan perbedaan, tapi yang diharamkan adalah perpecahan. Meminjam istilah Qurasih Shihab, dalam Islam, kita dibenarkan berbeda dalam mencapai tujuan, namun tidak dibenarkan untuk berbeda tujuan (Shihab 2012:145).

Hal tersebut menjadi penting untuk dipahami, mengingat perdamaian adalah kebutuhan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dalam konteks ini, toleransi menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan perbedaan, bukan kekerasan. Olehnya itu, dengan visi Rahmatan lil’alamin tersebut, Nabi ingin mengikis prilaku intoleransi, sebab prilaku intoleransi tidak hanya membuat manusia tergangu secara sosial dan ekonomi, tapi juga akan berefek pada kekhusyu’an  manusia dalam beribadah.

Salah satu hal yang bisa dijadikan contoh dalam kasus ini adalah posisi kaum minoritas agama, khususnya umat Kristiani saat perayaan Natal. Ibadah Natal mereka kerap kali terusik dengan berbagai macam ancaman, termasuk ancaman kelompok-kelompok yang berpaham ekstrim. Sehingga mereka pun tidak jarang menjalankan ibadah Natal di tengah ancaman dan pengamanan ketat dari aparat keamanan. Hal ini sesunguhnya tidak perlu terjadi seandainya kita mampu bersikap dalam memahami sebuah perbedaan. Dewasa dalam artian, mampu menampakkan sikap toleransi dalam beragama.

Toleransi dan Persaudaraan
Dalam hadis shahih Muslim, tepatnya pada bab al-Qiyam Janazah diceritakan bahwa suatu hari janazah orang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah SAW, melihat jenazah tersebut, Nabi langsung berdiri, dan pada saat yang sama ia ditegur oleh sahabatnya dengan mengatakan, ”wahai Rasulullah, itu jenazah orang Yahudi, kenapa engkau berdiri (menghormatinya)” Nabi Muhammad SAW menjawab, apakah dia bukan manusia?

Riwayat ini tentunya menjadi gambaran bahwasanya Nabi Muhammad SAW sangat menghargai perbedaan. Karena jangankan orang hidup, orang yang telah meninggal, sekalipun berbeda agama tetap ia hormati. Lewat riwayat ini, kita juga dapat melihat bahwasanya tradisi menghormati non muslim bukanlah ajaran yang bersumber dari paham liberalisme, melainkan ajaran yang dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupannya.

Olehnya itu, tidak mengherankan jika sebagian pengamat sosial mengatakan, Nabi Muhammad SAW adalah pejuang kedamaian. Hal tersebut juga dapat dilihat lewat kiprah perjuangan beliau dalam membangun tatanan masyarakat Arab dengan terlebih dahulu merubah pola pikir mereka, dari cara berpikir kabilahisme menuju cara berpikir kosmopolit, dari tradisi yang suka perang menuju tradisi yang cinta pengetahuan, toleran dan cinta damai (Hidayat; 2012: 39:40).

Lewat jalan itu pula, Nabi Muhammad SAW mampu merajut kebersamaan menuju tegaknya peradaban kemanusiaan, yaitu peradaban yang berdiri tegak di atas keanekaragaman agama, budaya dan ras. Fakta yang bisa dijadikan bukti adalah kemampuan Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah yang dimulai sejak ia dan sahabatnya hijrah ke wilayah tersebut.

Di Madinah, Nabi Muhammad SAW menyaksikan langsung kenyataan sosial masyarakatnya yang begitu beragam. Dalam melihat keyataan sosial tersebut, tak ada niat sedikitpun baginya untuk memingirkan mereka, apalagi memusuhinya. Justru di tegah keanekaragaman tersebut, Nabi Muhammad SAW hadir untuk menawarkan jalan damai, agar setiap agama dan kelompok bebas menjalankan keyakinan dan aktivitas sosialnya dengan aman.

Olehnya itu, saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, yang pertamakali dilakukan adalah mepersaudaraan kaum Muhajirin dan Ansar.  Pilihan ini, selain untuk menciptakan suasana damai di kota itu, juga Rasulullah SAW ingin memperlihatkan kepada sahabatnya bahwasanya persaudaraan jauh lebih tinggi posisinya ketimbang ikatan kekeluargaan.

Kenapa demikian? karena ikatan persaudaraan mampu melampui batas etnis, agama, budaya, suku, dan ras. Sementara ikatan kekeluargaan hanya akan mengiring manusia menjadi eksklusif, dan nepotisme.  Olehnya itu, jika kita mencoba merefleksi budaya gotong royong yang terbagun di bangsa ini, ia tidaklah lahir dari semangat kekeluargaan, tapi lebih pada ikatan persaudaraan yang mampu melampaui batas agama, etnis, budaya dan strata sosial sekalipun.

0 komentar: