Catatan Untuk Memperingati Hari Jadi NU yang ke 89 Tahun
Nahdlatul
Ulama (NU) lahir disaat kelompok Islam modernis (purifikasi) mulai menyebarkan pahamnya
ke berbagai wilayah, tak terkecuali Indonesia sebagai wilayah yang mayoritas
beragama Islam. Penyebaran paham tersebut, tentu saja membuat sebagain ulama
Nusantara resah, mengingat krakteristik paham ini sangat ekstrim, anti tradisi
dan kebudayaan, sementara Ulama Nusantara menjadikan tradisi dan kebudayaan
lokal sebagai pijakan dalam mengokohkan nilai-nilai keislaman.
Untuk
membentengi tradisi keagamaan Islam Nusantara dari paham anti tradisi dan
mazhab ini, pada tanggal 31 Januari 1926, ulama sepuh mengadakan pertemuan di
Surabaya. Dari hasil pertemuan tersebut,
disepakatilah berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama sebagai salah satu wadah
untuk membentengi tradisi Islam Nusantara dari ancaman gerakan purifikasi
keagamaan khas Timur Tengah tersebut.
Pilar Kebangsaan
Diusianya
yang hampir mencapai satu abad ini, peran NU tentunya tidak bisa dinafikan
keberadaannya dalam menopan keutuhan NKRI. NU Sebagai organisasi Islam terbesar
di Indonesia, mampu menerima secara final konsep Pancasila, Bhinneka Tunggal
Ika dan UUD 1945 sebagai pilar dan pondasi kehidupan kebangsaan.
Mereka
sadar bahwasanya konsep inilah yang menjadi penopan keutuhan NKRI selama ini. Demikian
pula dengan pancasila sebagai ideologi Negara, sejak awal mereka sudah
menyadari bahwasanya keanekaragaman yang ada di bangsa ini hanya mungkin bisa
dipersatukan lewat ideologi Pancasila, bukan ideologi yang berdasarkan ras,
agama, suku dan budaya tertentu, apalagi dengan mengunakan ideologi yang
sifatnya infor.
Hal
tersebut menjadi penting, mengingat bangsa ini bukan hanya sekedar warisan dari
pendirinya, melainkan juga sebagai karunia Tuhan yang keberadaannya harus
disyukuri dan dikelolah dengan penuh kearifan, sebagaimana yang tergambar dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilar kebangsaan.
Konsep
tersebut menyatuh menjadi satu kesatuan yang utuh melalui penerimaan Pancasila
sebagai ideologi dan sekaligus menjadi pondasi kehidupan kebangsaan yang
beragam. Cara pandang inilah yang kemudian menjadi salah-satu ciri khas NU
dalam melihat Indonesia sebagai negara-bangsa.
Oleh
karenanya, keislaman dan kebangsaan bagi NU adalah satu kesatuan yang utuh. Islam
tidak akan menemukan ruangnya tanpa kehadiran bangsa, demikian pula sebaliknya,
bangsa akan kehilangan harga diri jika tidak topan oleh nilai-nilai Islam.
Pondasi Bangsa
Diterimahnya
Pancasila sebagai asas negara dan organisasi, sebagaimana yang menjadi
keputusan Munas alim ulama NU di Pondok Pesantren Salafia Syafiah, Sukarejo pada
tahun 1984 menjadi salah satu bukti keterbukaan NU terhadap Negara. NU jugalah yang
menjadi ormas keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi
saat itu.
Meski
NU adalah ormas keislaman, namun ia tidak menjadikan Islam sebagai ideologi
organisasi. Menurut Kyai Achmad Siddiq, pencantuman Islam sebagai ideologi negara
atau organisasi, sama halnya merendahkan Islam sebagai agama, sebab apa bedanya
Islam dengan Ideologi Marxisme, Liberalisme, Pancasila dan sekularisme?
Islam
menurut Kyai Sepuh NU ini, jauh lebih tinggi maqamnya ketimbang semua isme-isme
tersebut. Gagasan ini pun banyak mempengaruhi generasi NU selanjutnya, diantaranya
adalah Abdurrahman Wahid (2005).
Gus
Dur mengatakan bahwa menjadikan Islam sebagai ideologi lembaga, sama halnya
mempersempit makna Islam itu sendiri, karena secara tidak sadar kita telah mengiringnya
dalam batasan-batasan ideologis yang sifatnya politis. Sehingga yang mencuat
kepermukaan bukanlah Islam sebagai agama, melainkan politisasi agama atas nama
Islam.
Diterimanya
Pancasila sebagai ideologi negara, disamping karena Pancasila secara subtansial
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, juga keutuhan NKRI hanya bisa berdiri
kokoh dengan ideologi tersebut. Dalam konteks inilah, Pancasila sebenarnya
bukan pilar kebangsaan, melainkan pondasi bangsa.
Olehnya
itu, tidak seharusnya Pancasila dijadikan sebagai pilar, sebab ia adalah
pondasi yang menjadi penopan keutuhan NKRI. Meminjam istilah Kyai A. Hasyim
Muzadi, jika Pancasila yang selama ini menjadi pondasi, kemudian diangkat
menjadi salah satu bagian dari 4 pilar kebangsaan, berarti bangsa ini sudah
tidak punya pondasi lagi.
0 komentar:
Posting Komentar