Jumat, 24 April 2015

NU dan Pilar Kebangsaan

Catatan Untuk Memperingati Hari Jadi NU yang ke 89 Tahun



Nahdlatul Ulama (NU) lahir disaat kelompok Islam modernis (purifikasi) mulai menyebarkan pahamnya ke berbagai wilayah, tak terkecuali Indonesia sebagai wilayah yang mayoritas beragama Islam. Penyebaran paham tersebut, tentu saja membuat sebagain ulama Nusantara resah, mengingat krakteristik paham ini sangat ekstrim, anti tradisi dan kebudayaan, sementara Ulama Nusantara menjadikan tradisi dan kebudayaan lokal sebagai pijakan dalam mengokohkan nilai-nilai keislaman.

Untuk membentengi tradisi keagamaan Islam Nusantara dari paham anti tradisi dan mazhab ini, pada tanggal 31 Januari 1926, ulama sepuh mengadakan pertemuan di Surabaya.  Dari hasil pertemuan tersebut, disepakatilah berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama sebagai salah satu wadah untuk membentengi tradisi Islam Nusantara dari ancaman gerakan purifikasi keagamaan khas Timur Tengah tersebut.



Pilar Kebangsaan
Diusianya yang hampir mencapai satu abad ini, peran NU tentunya tidak bisa dinafikan keberadaannya dalam menopan keutuhan NKRI. NU Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, mampu menerima secara final konsep Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilar dan pondasi kehidupan kebangsaan.

Mereka sadar bahwasanya konsep inilah yang menjadi penopan keutuhan NKRI selama ini. Demikian pula dengan pancasila sebagai ideologi Negara, sejak awal mereka sudah menyadari bahwasanya keanekaragaman yang ada di bangsa ini hanya mungkin bisa dipersatukan lewat ideologi Pancasila, bukan ideologi yang berdasarkan ras, agama, suku dan budaya tertentu, apalagi dengan mengunakan ideologi yang sifatnya infor.

Hal tersebut menjadi penting, mengingat bangsa ini bukan hanya sekedar warisan dari pendirinya, melainkan juga sebagai karunia Tuhan yang keberadaannya harus disyukuri dan dikelolah dengan penuh kearifan, sebagaimana yang tergambar dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilar kebangsaan.

Konsep tersebut menyatuh menjadi satu kesatuan yang utuh melalui penerimaan Pancasila sebagai ideologi dan sekaligus menjadi pondasi kehidupan kebangsaan yang beragam. Cara pandang inilah yang kemudian menjadi salah-satu ciri khas NU dalam melihat Indonesia sebagai negara-bangsa.

Oleh karenanya, keislaman dan kebangsaan bagi NU adalah satu kesatuan yang utuh. Islam tidak akan menemukan ruangnya tanpa kehadiran bangsa, demikian pula sebaliknya, bangsa akan kehilangan harga diri jika tidak topan oleh nilai-nilai Islam.

Pondasi Bangsa
Diterimahnya Pancasila sebagai asas negara dan organisasi, sebagaimana yang menjadi keputusan Munas alim ulama NU di Pondok Pesantren Salafia Syafiah, Sukarejo pada tahun 1984 menjadi salah satu bukti keterbukaan NU terhadap Negara. NU jugalah yang menjadi ormas keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi saat itu.

Meski NU adalah ormas keislaman, namun ia tidak menjadikan Islam sebagai ideologi organisasi. Menurut Kyai Achmad Siddiq, pencantuman Islam sebagai ideologi negara atau organisasi, sama halnya merendahkan Islam sebagai agama, sebab apa bedanya Islam dengan Ideologi Marxisme, Liberalisme, Pancasila dan sekularisme?

Islam menurut Kyai Sepuh NU ini, jauh lebih tinggi maqamnya ketimbang semua isme-isme tersebut. Gagasan ini pun banyak mempengaruhi generasi NU selanjutnya, diantaranya adalah Abdurrahman Wahid (2005).

Gus Dur mengatakan bahwa menjadikan Islam sebagai ideologi lembaga, sama halnya mempersempit makna Islam itu sendiri, karena secara tidak sadar kita telah mengiringnya dalam batasan-batasan ideologis yang sifatnya politis. Sehingga yang mencuat kepermukaan bukanlah Islam sebagai agama, melainkan politisasi agama atas nama Islam.

Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara, disamping karena Pancasila secara subtansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam, juga keutuhan NKRI hanya bisa berdiri kokoh dengan ideologi tersebut. Dalam konteks inilah, Pancasila sebenarnya bukan pilar kebangsaan, melainkan pondasi bangsa.

Olehnya itu, tidak seharusnya Pancasila dijadikan sebagai pilar, sebab ia adalah pondasi yang menjadi penopan keutuhan NKRI. Meminjam istilah Kyai A. Hasyim Muzadi, jika Pancasila yang selama ini menjadi pondasi, kemudian diangkat menjadi salah satu bagian dari 4 pilar kebangsaan, berarti bangsa ini sudah tidak punya pondasi lagi.

0 komentar: