Minggu, 26 Agustus 2012

Rabu, 15 Agustus 2012


Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar


Oleh Suaib Amin Prawono
Front pembela Islam (FPI) 28 Januari 2011 kembali berulah, mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Jamaah Ahmadiyah di jalan Anuang Makassar. Saat itu jamaah Ahmadiyah sedang melaksanakan kegiatan Jalsah Salanah dengan tema “Mengamalkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, Kita Akan Menjadi Islam Yang Hakiki”. Jalsah Salanah merupakan pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap tahun dan dihadiri oleh perwakilan dari tiap-tiap Jama’ah Ahmadiyahh di Sulawesi Selatan.
Acara tersebut juga dihadiri aktivis dan tokoh lintas agama seperti bapak Prof. DR. Qasim Mathar dan Pak Yongris dari Walubi. Kegiatan yang di mulai pukul 16.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA) itu dihadiri sekitar 150 peserta yang di dalamnya terdapat ibu-ibu dan anak-anak dari komunitas Ahmadiyahh yang tersebar di wilayah Sulawesi selatan. Menurut pengakuan Ustad Djamal yang juga sebagai mubaligh Ahmadiyah Sul-Sel, kegiatan tersebut sejatinya akan dihadiri sekitar 300 peserta, namun karena didemo, banyak yang mengurungkan niat untuk hadir di pertemuan tersebut.
Sekitar pukul 17.30 WITA, setelah prosesi acara pembukaan usai, sekolompok orang yang menamakan diri dari Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Ahmadiyah di tempat jalsah salanah dilaksanakan. FPI datang dengan mengendarai mobil APV dan iring-iringan motor lengkap dengan atribut bendera dan seragam. Mereka juga melakukan orasi di depan masjid Ahmadiyah.
Dalam orasi, FPI mengecam dan sekaligus memberi warning terhadap Jama’ah Ahmadiyah untuk tidak melanjutkan kegiatan mereka karena dianggap meresahkan warga. FPI juga menghimbau pihak kepolisian untuk menghentikan aktivitas Jamaah Ahmadiyah dalam waktu 1 X 24 jam. Jika tidak, mereka akan melakukan penyerangan.
Keesokan harinya, 29 Januari 2011, tepat pukul 08.30 WITA acara jalsah salanah dimulai. Dua jam kemudian, polisi mendatangi panitia dan meminta acara pertemuan tahunan diselesaikan pada hari itu juga. Panitia sendiri sepakat mempercapat kegiatan hingga acara selesai pukul 15.30.
Pukul 16.45 Kapolda Sul-sel datang ke lokasi, berselang satu menit, kelompok FPI hadir, mereka kembali melakukan orasi di depan masjid Ahmadiyah. Terlihat di antara mereka ada yang memakai atribut yang bertuliskan mabes POLRI dan Provost.
Lalu, terjadi negosiasi yang cukup alot antara Kapolda dengan mubalig Ahmadiyah wilayah Sul-Sel. Sebagian polisi meminta kepada jemaat Ahmadiyah yang berada di depan masjid untuk masuk ke dalam dan bersembunyi agar tidak memancing kemarahan FPI.
Atas intruksi Kapolda, semua angota jamaat Ahmadiyah yang berada di masjid harus dievakuasi demi keamanan. Tetapi, pihak jamaah Ahmadiyah tetap memilih bertahan dalam masjid dengan alasan untuk mempertahankan asset-aset mereka. Meski begitu, atas intruksi Kapolda, aparat kepolisian mengevakuasi secara paksa seluruh jamaah Ahmadiyah. Dalam proses evakuasi pertama, polisi menyeret paksa 5 orang jamaah. Selanjutnya mengevakuasi paksa sekitar 40 orang jamaah Ahmadiyah yang di antaranya terdapat anak-anak dan balita.
Pukul 19.00, polisi meransek masuk secara paksa dengan merusak pintu, jendela sambil berteriak “kalian ini manusia apa? Saya akan potong leher kalian, jika kalian tidak keluar saya akan bakar masjid ini” ancaman kepolisian tersebut mengakibatkan ibu-ibu beserta anak-anak berteriak histeris.
Sekitar pukul 21.23, anak-anak dan ibu-ibu dievakuasi secara paksa oleh pihak kepolisian ke POLTABES Makassar, saat proses evakuasi, makian dari pihak FPI nyaring terdengar seperti Ahmadiyah kafir, harus kembali ke jalan yang benar. Barulah pada 23.30, semua jamaah Ahmadiyah dibebaskan oleh kepolisian untuk pulang kerumah masing-masing.
Menurut penuturan ketua panitia Jalsah Salanah, Ir. Arimansyah, saat evakuasi, di lantai dasar tempat ibu-ibu dan anak bertahan terjadi penjarahan dompet yang berisi kartu ATM, uang, kartu identitas, HP, dan camera digital serta arsip dan puluhan video kegiatan.
Sementara, diluar masjid, kelompok FPI semakin brutal dengan merusak kran air dan menghapus papan nama Ahmadiyah yang bertuliskan dua kalimat syahadat dan mencoretnya dengan pilox. Tak berhenti di situ, mereka juga merobohkan plang nama jamaat ahmadiyah. Ironisnya lagi, polisi hanya membiarkan tindakan anarkis tersebut tanpa ada upaya pencegahan sedikitpun. Bahkan menurut pengakuan Asraf Ahmad, pihak kepolisianpun membantu merusak spanduk-spanduk yang terpajang dalam masjid, dan tidak sopannya lagi, mereka (polisi), masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu ”Bayangkan kalau rumah ibadah yang kami anggap suci diinjak-injak dengan memakai sepatu, apa itu tidakan bermoral?” demikian kata Asraf Ahmad yang juga ketua pemuda Ahmadiyah ini.
Malam itu juga, koordinator aksi FPI, Muhammad Habib Reza bin Muhsin al-Hamid, yang saaat itu mengenakan jaket hitam dan di depannya bertuliskan Mabes Polri dalam orasinya mengucapkan terimah kasih kepada kepolisian yang bagi Habib, telah turut membantu prosesi amal ma’ruf dan nahi mungkar, Reza mengatakan, “Terima kasih terhadap pihak kepolisian yang telah membantu FPI menjalankan program amal ma’ruf dan nahi mungkar, serta segenap masyarakat anuang juga kami haturkan terima kasih, apapun bentuknya kesesatan, tetap akan kami lawan,” tegasnya. Ucapan Habib pun disambut dengan takbir oleh massa. Orasi Habib juga sekaligus mengakhir aksi di depan mesjid Ahmadiyah.
Meski tak ada korban jiwa, insiden tersebut menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai 20 juta rupiah, belum lagi trauma yang melanda anak-anak dan orang tua, menurut Friyanto Beny, kerugian material mungkin tidak seberapa dibanding kerugian imateri. Friyanto juga mengatakan bahwa orang Ahmadiyah tidak pernah berbuat onar apalagi bertindak anarkis, “Kami tidak berdaya menghadapi tindakan kekerasan kecuali hanya bersika pasra pada keadaan.” Meski begitu, Friyanto berharap, mereka bisa hidup berdampingan, diperlakukan secara adil dan hak mereka dilindungi.


Pendidikan Berbasis Kearifan LokaL

Oleh: Suaib Amin Prawono


Sejak diproklamerkannya gagasan Jhon Naisbit oleh sebahagian pakar sosial dengan jargon “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan bertindak lokal), seketika itu pula, gagasan tersebut menjadi arusmeanstrem bagi kalangan intelektual Indonesia dalam melihat fenomena global serta persentuhannya dengan lokalitas bangsa ini.
Gagasan yang booming pada tahun 1990-an ini, mengisyaratkan pembacaan tentang gerak globalisasi yang senantiasa harus dicermati dengan cerdas, dalam artian, pembacaan terhadap fenomena globalisasi tidaklah mengarah pada konteks gagasan anti-globalisasi, akan tetapi gagasan tersebut berupaya untuk membaca gerak globalisasi secara kritis sebagai upaya untuk melahirkan gagasan produktif dan progresif demi  kemajuan bangsa ini.
Tentunya goresan ini tidaklah hadir untuk menyalahkan globalisasi sebagai sesuatu yang sifatnya “sunnatullah”, meskipun di satu sisi tidak bisa dipungkiri bahwasanya tidak semua produk globalisasi berdampak positif terhadap kehidupan sosial kita. Namun yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh sehubungan dengan  kehadiran globalisasi dalam ruang lokal kita adalah tergusurnya kearifan lokal di tengah cengkeraman hegemoni global, sehingga lambat laun kearifan lokal beserta makna yang tersimpan di dalamnya hanya tinggal nama dan tidak lagi menjadi pijakan moral sosial dalam kehidupan kebangsaan kita.
Demikian juga, tulisan ini tidaklah bermaksud untuk menawarkan gagasan yang sifatnya terkunci dalam paradigma lokal dan kering dari perkembangan globalisasi, akan tetapi bagaimana tujuan dan fenomena globalisasi mampu dibaca dan diterjemahkan oleh para generasi bangsa ini untuk kepentingan lokal mereka, karena setiap sistem perubahan harus selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah salah seorang intelektual asal Maroko, Almarhum Muhammad Abed Al-Jabiri ‘Attajdidu mina dhahil’ perubahan harus berangkat dari tradisi kita, bukan dengan meminjam tradisi orang lain.

Fenomena Pendidikan Kita
Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena pendidikan kita dewasa ini tidak hanya membuat lembaga pendidikan kita kehilangan ruang gerak sosial,  akibat orientasi pendidikan yang tertuju kepada kepentingan pasar, akan tetapi juga semakin menipisnya pemahaman peserta didik kita tentang sejarah lokal, kearifan lokal, serta tradisi kebudayaan yang tersimpan di dalamnya.
Meskipun secara teoritis  diketahui bahwasanya pendidikan adalah salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru yang terjadi adalah kemajuan dan kecerdasan pendidikan di negeri ini masih diukur dalam tataran material, seperti bangunan mewah, sarana dan prasarana yang lengkap serta tingginya angka kelulusan siswa setiap tahun.
Padahal, tolok ukur kemajuan (keberhasilan) pendidikan tidaklah diukur hanya dari beberapa faktor yang disebutkan di atas, akan tetapi juga di ukur dari sejauh mana pendidikan tersebut mampu membangun moralitas sosial peserta didik yang terkoneksi dengan realitas kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Pendidikan sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan di produksi sebagai modal pengetahuan bagi peserta didik yang tentunya sangat terkait dengan persoalan amanat sosial kebangsaan. Jika pendidikan yang notabene sebagai pilar pembangunan bangsa yang beradab dan bermartabat tidak mampu survive di tengah perkembangan zaman, kira-kira akan seperti apa budaya pendidikan  bangsa ini ke depan …..?
Tentunya, pembacaan terhadap kearifan lokal menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam sistem pendidikan kita dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa, bukan dengan gagasan yang sifatnya mengawang serta jauh dari realitas kehidupan peserta didik.

Landasan Pendidikan
Dewasa ini, arus penetrasi kebudayaan yang datang dari Barat dan Timur Tengah semakin gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia, serta di perparah lagi dengan adanya kecenderungan sebahagian generasi muda bangsa ini berkiblat kepada kedua kebudayaan tersebut. Sehingga disatu sisi, semakin  menjadikan citra bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terpuruk di mata dunia.
Kiblat peradaban mereka (baca; generasi muda) adalah Barat dan Timur Tengah, sehinga tanpa disadari fenomena kebudayaan yang kita miliki pun ikut mengalami proses westernisasi dan arabisasi. Padahal jika kita mencermati secara kritis kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Cina dan India misalanya, itu tidak lepas dari kehebatan mereka dalam mengkaji kearifan lokalnya.
Belum lagi perilaku moralitas sebahagian generasi bangsa ini semakin jauh dari garis kebudayaan bangsanya.  Atau  jangan-jangan, seabrek persoalan sosial yang terjadi seperti bencana alam, kasus seks bebas yang marak terjadi di kalangan remaja,  kemiskinan, gagal panen, dan tindak kekerasan adalah wujud dari menipisnya kearifan lokal kita serta ketidak-mampuan memahami kearifan lokal bangsa sebagai sarana dalam membentuk karakter manusia Indonesia yang bermartabat.

Apa yang ditawarkan oleh Abed Al-Jabiri di atas, adalah tawaran yang sangat menarik untuk kita reflesikan bersama dalam konteks kehidupan kebangsaan kita, sebagai bangsa yang kaya akan kebudayaan lokal serta didalamnya tersimpan banyak mutiara hikmah yang dapat menjadi motivasi dan pijakan kehidupan kita untuk merajut kembali citra bangsa yang berada diambang keterpurukan moral menuju bangsa yang disegani sebagaimana yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah nusantara masa silam.

Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan kita (baik formal maupun non-formal) sebagai landasan utama dalam mewarnai gerakan generasi bangsa kedepan. Membangun sumber daya manusia yang bermartabat tentunya tidaklah harus menafikan keberadaan kearifan lokal, karena pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang berangkat dari ruang kearifan lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber pengetahuan.



ISLAM KEADILAN DAN TRANSFORMASI SOSIAL
Oleh: Suaib Amin Prawono

“sesungguhnya Allah memperintahkan kamu untuk menunaikan amanat kepada ahlinya. Dan apabila kamu jatuhkan hukuman diantara manusia, hendaklah kamu jatuhkan Hukum itu dengan adil”
(QS. An-Nisa: 58)
“Janganlah karena kebencianmu terhadap suatu golongan manusia menyeret kamu kepada perbuatan tidak adil. Berbaut adilah kamu. Karena berbuat adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan”
(QS. Al-Maidah:8)
Di bangsa ini, sangat nyata kita saksikan berbagai problem sosial yang terjadi ditegah-tegah kehidupan masyarakat kita, mulai dari persoalan ketidakadilan, penyelewangan kekuasaan, tindakan kekerasan, hingga perampokan dan perampasan hak-hak rakyat kecil oleh segelintir kelompok yang berkuasa, dan ini pula yang dimaksudkan oleh sebahagian pengamat sosial sebagai bentuk krisis kemanusiaan yang terjadi dalam kehidupan manusia modern. Krisis keanusiaan ini terjadi karena dipicu oleh sifat keserakahan yang tak terkendali.
Selain itu, krisis kemanusiaan tersebut telah megalahkan nurani kehidupan berbangsa kita, sehingga bangsa kitapun terperosok dalam kubangan masalah yang berlapis-lapis. Ironisnya lagi, seabrek persoalan tersebut belum menemukan titik terang akan penyelesaiannya sampai detik ini.
Disisi lain, hukum yang sejatinya diharapakan mampu memberi cahaya keadilan bagi segenap warga masyarakat, khusunya bagi mereka yang terdzalimi secara sosial nampaknya masih dinikmati oleh pemilik kekuasaan dan kaum bermodal. Atau dalam artian, Hukum telah diperjual belikan dan hanya mereka yang mempuanyai akses kekuasaan dan modal yang banyak mampu mebelinya.
Akhirnya, fenomenana inipun berbuah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penentu kebijakan (pemerintah) di Negara ini. parahnya lagi, sebahagian masyarakat tidak segan-segan melanggar hukum dengan jalan main hakim sendiri atas setiap masalah yang mereka hadapi, bahkan tidak jarang hal tersebut dianggap sebagai bentuk keadilan.
Demikian pula halnya, gaung demokrasi yang kering dari makna subtansi hampir setiap saat kita dengarkan dalam pentas kehidupan kebangsaan kita. Meskipun suara lantang Demokrasi yang digaungkan berkali-kali oleh para aktivis gerakan sosial, baik di jalanan maupun dalam forum seminar atau diskusi, tetap saja kehilangan makna subtansinya dan tidak pernah terwujud secara nyata dalam dinamika kehidupan bangsa kita.
Jika makna subtansi dari demokrasi adalah keadilan, musyawarah dan kebebasan, kenapa masih banyak kalangan mayoritas dan minoritas bangsa ini hidup dalam garis kemiskinan, kekerasan dan marjinalisasi kehidupan? dan yang lebih memiriskan lagi, malah fenomena ini menjadi tontonan menarik bagi mereka yang mempuayai akses ekonomi-politik yang kuat dan mapan, tanpa sedikitpun hatinya tergugah dalam melihat kenyataan tersebut. Tentunya hal ini semakin menabah citra buruk bangsa kita yang konon menganut paham demokrasi.
Hal yang sama juga kita saksikan dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan yang notabene menjadi hak asasi setiap ummat manusia, juga masih menjadi persoalan yang cukup memiriskan di Negara ini. Lihat saja beberapa kasus yang pernah terjadi, mulai dari paham-paham local masyarakat kita, faham Ahmadia, dan kalangan minoritas lainnya di bangsa ini yang tidak jarang mendapat stigma buruk (sesat) dari kalangan tertentu, khususnya kelompok agama yang mengaku dirinya sebagai pemegang teguh otoritas kebenaran. parahnya lagi terkadang atas nama kebenaran tersebut tidak jarang berbuah kekerasan dalam masyarakat yang berujung pada pengrusakan rumah ibadah, penjarahan dan pembakaran harta benda yang menelan kerugian yang cukup besar serta trauma pisikis dan pengusiran mereka dari tempat tinggalnya.
Hukum, Kejujuran dan Keadilan
Kita mesti mengakui, bahwasanya Krisis yang menderah kehidupan bangsa kita dewasa ini adalah bahagian dari krisis moral yang ditandai dengan redupnya nilai-nilai kejujuran dalam diri setiap manusia, sehingga hal inipun berimbas pada ketidak-adilan yang kian hari semakin redup. Kita sangat bersemangat mengkritisi gagasan sekularisme dan malah kita tidak segan-segan mengkafirkan penganut faham ini, cara pandang yang tunggal terhadap konsep sekularisme membuat kita tidak sadar bahwa ternyata kita juga adalah penganut paham sekuler tapi dalam bentuk lain.
Misalnya, meneguhkan urusan teologis yang sifatnya melangit dan melupakan kenyataan sosial yang terbentang dihadapan kita. Memisahkan keadilan dan kejujuran dalam laku kehidupan kita, tanpa kita sadari sedikitpun bahwasanya keadilan tidak akan mungkin tegak tanpa ditopan oleh nilai-nilai kejujuran. Singkatnya, kejujuran dan keadilan berkait kelingdang sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan, memisahkan keadilan dan kejujuran adalah malapetaka.
Gambaran umum fenomena kebangsaan diatas adalah bahagian dari bentuk ketidak jujuran kita dalam melihat fenomena sosial kehidupan bangsa. Keadilan dan kejujuran bukan hanya sekedar simbolisasi kehidupan, akan tetapi ia juga menjadi pondasi kehidupan manusia. Bisa dibanyangkan jika Kehidupan ini tidak di barengi dengan keadilan dan kejujuran, ibarat kita hidup dihutang belantara, siapa yang kuat dialah yang paling benar dan berhak berkuasa meskipun prilakunya sangat tiranik dan refresif.
Salah satu penyebab utama ketidak-mampaun kita belaku adil untuk semua kalangan karena kita tidak mampu belaku jujur atas diri kita, malah kita terkadang menjadi pelaku dan penyebab ketidakadilan itu sendiri dan diperparah lagi dengan hadirnya sebahagian kalangan diantara kita yang hanya bisa berdiam diri melihat kekerasan dan distribusi keadilan yang pada hakekatnya tidak adil. Keadilan dan kejujuran adalah kontruksi moral bagi setiap individu dalam sistem hukum, sedangkan hukum berbasis keadilan. Matinya hukum karena ketidakadilan demikian juga matinya keadilan karena ketidak jujuran.
Trasformasi Nilai-nilai Keadilan
Kehadiran Islam membawa pesan-pesan moral kemanusiaan sebagai cahaya bagi segenap kehidupan ummat manusia dipersada bumi ini. Islam hadir ditengah-tegah kehidupan ummat manusia yang penuhi dengan nuangsa kedzaliman dan penuh kekerasan. Masa kehidupan tersebut dikenal dengan istilah kehidupan Jahiliyah yang ditandai dengan redupnya nilai-nilai kemanusiaan diantara sesama manusia.
Meski kehidupan jahiliyah terlah berlalu dalam sejarah perjalanan kehidupan sosio-kultural manusia, namun sifat tersebut masih saja bercokol dalam diri sebahagian kalangan manusia yang hidup di bangsa ini, dibuktikan dengan maraknya tindakan kekerasan dengan jalan main hakim sendiri, dan penyerangan terhadap kelopok tertentu, khususnya kalangan minoritas bangsa ini cukup mencederai sendi-sendi moralitas keberagamaan kita.
Menurut mantan Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Islam adalah keadilan yang terbungkus dalam konsep islam rahmatan lilalamin dan ini juga yang harus menjadi sumbangan nayata dalam dinamika kehidupan manusia. (KH. Hasyim Muzadi
Keadilan dalam peresfektif teologis adalah Allah maha adil, sifat keadilan Tuhan inilah yang tentunya wajib dibumikan manusia dalam kehidupannya, sebab pembumian nilai-nilai keadilan adalah bentuk pengabdian manusia sebagai khalifatan fil-ardhi.
Manusia dalam konteks khalifatan fil-ardhi disamping diberi amanat untuk memakmurkan bumi juga dianjurkan untuk menegakkan keadilan dalam bentuk trasformasi sosial (dalam kehidupan ummat manusia), sehingga landasan utama Islam Rahmatn Lilalamin harus bermuara pada dua hal yaitu emansipasi dan keadilan, sebab tidak ada keadilan tanpa trasformasi, dan tidak ada trasformasi tanpa emasipasi. Sinerjitas antara keadilan, trasformasi dan emansipasi akan melahirkan realitas makna dari islam rahmatan lilalaamin dalam kehidupan ummat manusia.


Kearifan Politik Calon Gubernur Sulsel
Oleh; Suaib Amin Prawono

Pertemuan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) di kantor Gubernur Sulawesi Selatan beberapa hari lalu menjadi salah satu bukti bahwasanya perbedaan kepentingan dan persaingan dalam dunia politik tidaklah selamanya menyisakan dendam apalagi kebencian, namun lebih pada upaya terbukanya ruang komunikasi serta utuhnya jalinan persaudaraan diantara sesama.

Kehadiran IAS di Kantor Gubernur yang kemudian disambut baik oleh SYL merupakan cerminan dari perilaku kesantunan serta kedewasaan berpolitik yang hanya mungkin dapat dilakukan oleh manusia-manusia cerdas serta tahu akan aturan adat-istiadat budaya lokal Sulawesi Selatan. Pertemuan tersebut juga sekaligus menyisakan pelajaran berharga untuk kita semua, dimana kedewasaan dalam berpolitik menjadi hal yang sangat urgen untuk kita sematkan dalam dinamika kehidupan sosial kita.

Suasana keakraban yang begitu erat yang terbingkai dalam satu rasa persaudaraan seolah memberikan sinyal kepada segenap warga masyarakat Sulsel, bahwa persaudaraan lebih utama dari pada pertikaian. Jangan karena perbedaan kepentingan lantas jalinan persaudaraan harus tercederai, apalagi jika pertikaian tersebut terjadi hanya untuk memenuhi ambisi kepentingan politik yang sifatnya sementara.

Fakta tersebut pun menjadi salah satu bukti akan ketulusan serta kebijaksanaan calon pemimpin kita. Mereka mampu memahami bahwa jalinan persaudaraan yang sebenarnya tidak hanya lahir dari ruang persamaan, melainkan juga lahir dari ruang perbedaan yang mengalir dalam satu nalar kesadaran akan pentingnya rasa kebersamaan dan saling pengertian diantara sesama dalam membangun Sulawesi Selatan kedepan.

Demikian juga, keteguhan serta ketulusan hati kedua elit politik Sulsel ini untuk saling terbuka dan membangun komunikasi sangat patut untuk kita apresiasi secara bersama-sama. Sebab hal tersebut adalah merupakan cerminan dari sikap keterbukaan dan kejujuran manusia-manusia bijak yang paham akan realitas kehidupan sosial yang sarat dengan berbagai macam perbedaan dan kepentingan.

Selain itu, tradisi mappatabe yang merupakan bentuk penghargaan seorang yunior terhadap orang lebih senior nampaknya sangat jelas juga kita temukan dalam pertemuan ke-dua tokoh sulsel ini. IAS yang merasa diri sebagai Adek menganggap perlu untuk menemui sang Kakak dan sekaligus meminta restunya untuk maju menjadi kandidat Gubernur. Sementara SYL yang juga sebagai seorang kakak, dengan legowo memberikan izin kepada adeknya untuk turut berpartisipasi dalam pilkada Sulawesi Selatan, meskipun pada nantinya keduanya harus bersaing untuk memperebutkan kursi Gubernur Sulawesi Selatan.

Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkup budaya dan tradisi Bugis-Makassar, sikap seperti itu adalah cerminan dari nilai-nilai budaya sipakatau, sipakala’bi dan sipakainga. Kedua tokoh ini telah berhasil meletakkan sebahagian pondasi kearifan lokal budaya Sulsel tersebut dalam dunia politik. Hal ini menjadi penting sebab pertarungan dalam dunia politik tidak jarang menyisakan dendam, kekerasan dan pemutusan hubungan persaudaraan diantara sesama, baik sebelum dan sesudah pilkada digelar.

Apa yang dilakukan oleh kedua elit partai ini adalah merupakan implementasi awal dari nilai-nilai demokrasi lokal yang mensyaratkan adanya sikap keterbukaan, kejujuran, kebebasan dan musyawarah. Keduanya sadar bahwa kesantutan, keterbukaan serta kejujuran dalam berpolitik menjadi sebuah keniscayaan untuk selalu dikedepankan demi kemajuan perpolitikan Sulsel kedepan. Sebab berbagai macam kecurangan dan tindak kekerasan yang terjadi dalam setiap pelaksanaan pilkada tiada lain adalah imbas dari krisisi kemanusiaan kita yang tidak mampu menghargai pilihan dan kehidupan manusia lain yang kebetulan berbeda dengan kita.

Olehnya itu, budaya sipakatau, sipakalaqbi dan sipakainga yang di dalamnya tersimpan nilai-nilai kejujuran, kesantunan dan musyawarah harus mampu menjadi kekuatan moral yang senantiasa membumi dalam dinamikan kehidupan sosial-politik kita, karena hanya jalan ini kita mampu menemukan ruang kebersamaan serta wujud nalai-nilai toleransi yang aktif. Demikian juga halnya, dengan kerifan lokal tersebut kita mampu mewujudkan jalinan persaudaraan yang utuh diatas perbedaan ideologi, agama dan budaya. Singkatnya, meminjam istilah Syafi’I Maarif Bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan.



Kearifan Lokal Dalam Pentas Kehidupan Global


Oleh: Suaib Amin Prawono

Modernisasi telah banyak melahirkan berbagai perubahan, khususnya yang terkait dengan kehidupan sosial manusia. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam betuk fisik (pembangunan) melaingkan juga pada prilaku serta cara pandang manusia terhadap kehidupannya. Menurut Antony Gidens, modernisasi telah menghadirkan pola kehidupan baru yang ditandai dengan meningkatnya arus informasi, imajinasi, simbol, identitas dan life `stayl yang kesemuanya itu bisa diperoleh dengan jalan membeli.

Disatu sisi, globalisasi yang merupakan anak kandung dari modernisasi telah memudarkan tatanan nilai-nilai kebudayaan kita dan mengikibatkan terjadinya cultural shock di tingkatan lokal. Indikasi dari cultural Shock ini ditandai dengan terjadinya pergeseran norma-norma keluarga, Pergeseran figur dan ideologi publik, pergeseran tata nilai kehidupan dalam masyarakat, perubahan radikal dalam dunia mode (fashion), serta perubahan menu selera makan bagi sebahagian kalangan generasi bangsa ini.

Fakta dari kehidupan moderen ini menggiring pola kehidupan kita serba mewah dan seolah “memaksa” kita untuk selalu menikmati dan mengukuti apa yang menjadi tawaran pasar global tersebut, dan hal ini pun nampaknya sudah menjadi gaya hidup serta ideologi baru dalam tatanan kehidupan kita dewasa ini.  Sehingga pola hidup kita pun lambat laun mengalami pergeseran, dimana kita tidak lagi mementingkan kebutuhan, tapi lebih dari pada pemenuhan keinginan yang bisa jadi tidak penting.

Fenomena tersebut pun mengakibatkan terjadinya degradasi kearifan lokal dalam tatanan kehidupan masyarakat kita, tergantikan dengan pola kehidupan yang berorientasi pada dunia materi dengan meneguhkan prisip hidup “ada uang ada jasa”. Akibatnya, relasi sosial antar masyarakat lambat laun mengalami keterpurukan sosial dikerenakan semakin menipisnya ruang keihlasan dan rasa kebersamaan diantara sesama.

Kearifan lokal masayarakat kita yang yang didalamnya tersimpan nilai-nilai humanis seperti budaya gotong royong, toleran (sipakala’bi), Humanis (sipakatau) serta rasa Kepedulian sosial (sipakainga) diantara sesama pun lambat laun mengalami pergeseran nilai akibat dominasi kehidupan yang bersifat konsumeris dan hedonis. Fenomena ini, semakin diperparah dengan adanya prilaku sebahagian masyarakat kita yang lebih suka menikmati kehidupan menyendiri ketimbang membuka ruang kebersamaan diantara sesama.

Demikian juga halnya dengan pola hidup masyarakat yang masih setia menjalangkan tradisinya dipandang sebagai masyarakat kolot, primitif, jumud serta tradisional. Cara pandang seperti ini menjadi penyebab utama kearifan lokal masyarakat kita semakin ter-degradasi.

Budaya Global

Sebahagian orang Barat memaknai kebudayaan sebagai keberadaban, sementara keberadaban dihubungkan dengan modernitas. Sehingga orang yang beradab menurut kacamata mereka, adalah mereka yang maju secara moderen (Ahyar Anwar, 2010). Dengan demikian, prilaku atau sesuatu yang sifatnya klasik dan tradisional dianggap sebagai prilaku primitif, tidak moderen serta tidak ilmiah dan hanya mungkin bisa dijadikan sebagai pajangan untuk tujuan wisata.

Pembentukan budaya global dilatari oleh peran media informasi dan komunikasi serta partisipasi massa dalam ekonomi pasar yang bertujuan untuk menciptakan komodifikasi, komersialisasi dan budaya konsumerisme. Dengan dukungan penuh dari media informasi tersebut, budaya global semakin leluasa memainkan perannya dalam menginvansi tatanan kehidupan manusia serta mencoba menggirinnya dalam satu paradigma tentang dunia yang tiada lain sebagai bentuk rekaya sosial mereka (kapitalisme) untuk membuka lebar pergerakan pasar dunia yang disponsori oleh kapitalisme global.

Hal tersebut pun semakin menyulitkan posisi kearifan Lokal kita untuk tampil menjadi pesan moral ditegah degradasi kehidupan moralitas bangsa. Kerisauan akan adanya fakta dimana kearifan Lokal nusantara mulai dikebiri oleh sebahagian generasinya disebapkan karena cara pandang mereka dalam melihat kearifan lokalnya didominasi oleh nalar berpikir yang dikontruksi oleh paradigma globalisasi.  

Sebagaimana yang lazim diketahui, budaya adalah buah dari karya, rasa dan cipta manusia yang lahirkan dari proses refleksi kehidupan sosial yang cukup panjang. Hasil dari refleksi inilah yang menjadi inspirasi kehidupan manusia dalam membangun tata peradabannya. Dan hasil ispirasi ini pulalah yang kemudian diterjemahkan oleh sebahagian masyarakat lokal sebagai bentuk kearifan hidup atau yang lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal.

Melestarikan Keariafan Lokal

Dalam pradigma postmodernisme, kearifan Lokal menjadi objek kajian penting dan dianggap sebagai sesuatu yang masih sangat relevan dengan kehidupan kekinian. Kearifan lokal dihadirkan oleh kalangan postmodernis (Posmo), disamping sebagai bentuk kritikan juga dimaksudkan untuk membentuk nalar konstruktif kaum modernisme yang telah lama meninggalkan sebahagian nilai-nilai kemanusiaan.

Komitmen pemikiran postmodernisme berkeinginan untuk menjaga sesuatau yang bersifat alamiah dan khas dalam kehidupan kita, sebab struktur dasar kita adalah apa yang tercipta dalam negeri bukan apa yang datang dari luar. Olehnya itu, kalangan postmodernisme tetap eksis dalam mewacanakan penghargaan terahadap struktur kebudayaan lokal termasuk kearifan yang tersimpan didalamnya untuk tetap dilestarikan dalam menyapa peradaban modern yang sudah mengglobal.

Pola hidup ala modernisasi global yang menawarkan dua opsi model kehidupan, yaitu menjadi orang-orang modern dengan meniggalkan tradisi atau menjadi orang yang tradisional dengan melawan produk modernisasi melahirkan cara berpikir ala schizphreenia, yaitu kepribadian yang terbelah atau berposisi diantara dua pilihan, disatu sisi ikut dengan kemoderenan dan disisi lain tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang dianggap masih relevan dengan konteks kekinian.

Tentunya hanya dengan model seperti ini yang bisa kita aktualisasikan sebagai bahagian dari usaha kita dalam menjaga kearifan lokal bangsa. Sebab menjadi orang moderen tidaklah semestinya mengkiblat pada peradaban orang lain, melaingkan kita harus mampu menyelami kearifan budaya kita sendiri kemudian mendialogkan dengan peradaban bangsa lain yang sedang berkembang tanpa harus tercerabut dari akar kebudayaan kita.

Selasa, 14 Agustus 2012

Refleksi Teologis Ibadah Puasa


Kehadiran bulan suci Ramadhan disambut  dengan penuh suka cita oleh segenap ummat Islam di persada bumi ini, tak terkecuali bangsa kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat bulan Ramadhan tiba, rumah ibadah seperti Mesjid, Mushollah, Langgar dan Surau di bangsa ini mendadak ramai pengunjung. Sebuah pemandangan rutin yang nyaris tidak pernah ditemukan pada bulan-bulan sebelumnya (di luar Ramadhan).

 Kemeriahan bulan suci Ramadhan pun semakin memuncak saat sebahagian selebritis bangsa ini ikut serta mempromosikan kemeriahan Ramadhan melalui ceramah agama, iklan, hiburan serta menu makanan sahur dan buka puasa lewat TV. Penampilan mereka pun mendadak berubah. Dengan balutan busana Muslim seperti kerudung, kopiah dan baju koko yang lagi trend mereka tampi di berbagai media seolah menampakkan semangat kesholehan, meskipun mungkin hanya sebatas simbol pada bulan Ramadhan.

Fenomena tersebut diatas semakin memperjelas bahwasanya bulan Ramadhan tidak hanya sekedar menjadi bulan ibadah, melainkan juga telah menjadi bulan pencitraan bagi sebahagian masyarakat elit-moderen bangsa ini. Akibatnya, bulan Ramadhan pun semakin mahal karena telah tergiring dalam arus logika pasar kapitalis, serta telah memudarkan eksistensi kita sebagai mahluk spiritual.

Meskipun dalam salah satu hadist Nabi Muhammad Saw disebutkan bahwa, “barang siapa yang bergembira dengan kehadiran bulan suci Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari siksaan api Neraka”. Namun bukan berarti, bulan Ramadhan harus disambut dengan penuh kemeriahan dan kemewahan yang sarat dengan muatan konsumeristik dan hedonis, sebab  perilaku seperti ini akan semakin mengaburkan tujuan dan makna ibadah puasa yang sebenarnya.

Olehnya itu, untuk mengembalikan esensi dari tujuan ibadah puasa dengan capaian predikat ketaqwaan, maka kita dituntut untuk senantiasa meletakkan cara pandang, perilaku serta cara berpikir kita dalam konteks kehidupan yang balance, karena salah satu implementasi dari makna ketaqwaan adalah terciptanya kesetaraan hidup diantara sesama manusia.

Dalam Al-Quran Allah Swt menjelaskan bahwa, “ wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungunya orang paling mulia diantara kamu, disisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.(QS. Al-Hujurat [49]:13).

Lebih lanjut, Rasululah Saw mempertegas ayat tersebut lewat hadistnya yang berbunyi “sesunggunya manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, tidak ada kemuliaan bagi orang Arab maupun yang bukan Arab, dan tidak pula kulit putih lebih mulia dari kulit hitam, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu,disisi Allah, adalah mereka yang paling bertaqwa diantara kamu”.

 Secara teologis, konsepsi makna taqwa yang terdapat dalam ayat dan hadist tersebut diatas dapat kita maknai sebagai tolok ukur kesetaraan derajat umat manusia di hadapan Tuhan. Sehingga dengan demikian, kita juga dapat memahami secara jelas bahwasanya gaya hidup yang serba mewah dan moderen bukanlanlah objek utama penilaian Tuhan, melainkan ketaqwaan yang terdapat dalam diri setiap insan.

Implementasi sosial dari ayat dan hadits tersebut adalah untuk mengarahkan kita menjadi mahluk Tuhan yang toleran, menghargai pendapat dan kehidupan orang lain dengan penuh kedamaian, mengedepankan sikap humanis, rendah hati serta bersikap bijak dalam menghadapai berbagai persoalan, sehingga kita pun akan senantiasa merasa terpanggil untuk turut serta menjaga harmonisasi kehidupan sosial, demi terwujudnya keseimbangan hidup, bebas dari dominasi dan diskriminasi diantara sesama manusia.


Olehnya itu, tujuan ibadah puasa tidak hanya sekedar untuk menahan lapar dan haus, tapi lebih dari itu, ia merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal sholeh dalam konteks kehidupan sosial kita. Sehingga dengan demikian, kehadiran bulan suci Ramadhan tidak lagi hanya sekedar menjadi ritual formal-tahunan yang sifatnya melangit serta jauh dari persoalan kehidupan sosial kemanusiaan, melaingkan ia telah menjadi bahagian dari konteks kehidupan sosial manusia.

AGAMA SEBAGAI SARANA PENCERAHAN




Kebesaran suatu agama tidaklah diukur dari seberapa banyak kitab suci dan fatwa pemuka agama diproduksi, melainkan diukur dari sejauh mana peran pemuka agama tersebut dalam meyelesaikan seabrek persoalan sosial yang terjadi. Demikian juga, tolak ukur kesalehan seseorang dalam beragama tidak hanya dilihat dari seberapa rajinnya umat beragama  melaksanakan ritual-ritual agama, membaca kitab suci, mengunjungi rumah ibadah serta aktif menghadiri majelis ta’lim dan majelis dzikir, melainkan dilihat dari sejauh mana pengaplikasian nilai-nilai spiritual dan pesan-pesan kitab suci tersebut dalam dinamika kehidupan sosial manusia.

Meski demikian, dalam faktanya terkadang agama disalah-arahkan oleh pemeluknya sehingga tidaklah mengherankan jika ditemukan agama dijadikan sebagai kendaraan politik oleh sebahagian kelompok tertentu guna meraih kepentingan kekuasaan. Serta tidak jarang pula agama dijadikan sebagai legitimasi tindak kekerasan seperti terorisme yang notabene merusak jalinan persaudaraan antar manusia dan golongan, serta klaim kebenaran yang didasarkan pada kebenaran kelompok, mazhab dan aliran tertentu.

Akibatnya, dendam, dan kebencian, serta permusuhan antar golongan menjadi sesuatu hal yang tidak terhindarkan dan pada akhirnya akan menciptakan kehidupan keberagamaan yang semakin suram dan kacau. Ayat-ayat Tuhan yang sejatinya dapat dihadirkan untuk menyejukkan kehidupan sosial manusia berubah menjadi seram dan menakutkan. Sehingga dengan model seperti ini agama kemudian kehilangan peran untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia. Padahal sejatinya, setiap doktrin serta gagasan tafsir agama haruslah senantiasa dilahirkan guna merespon berbagai persoalan sosial yang terjadi.

Terkait hal ini, menarik untuk mengutip kritikan Cristopher Hitehens terhadap orang-orang yang beragama. Cristopher mengatakan bahwa tidak ada gunanya beragama sebab agama hanya menyisakan racun bagi kehidupan sosial manusia. Tentunya kritikan ini di satu sisi sangat beralasan sebab pada faktanya orang-orang beragama tidak mampu mengangkat derajat manusia, mengeluarkan manusia dari kemelut sosial seperti kemiskinan serta membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan konflik sosial.

Kenapa demikian? Karena agama hanya diposisikan pada ruang privacy yang hanya berkutat pada ruang spiritual yang semu serta hanya menyisakan model kepribadian manusia yang sholeh, namun bukan sholeh secara sosial melainkan sholeh secara individu. Sehingga semakin sholeh seseorang dalam beragama, maka semakin jauh pula ia dari hiruk pikuk dunia sosial serta persoalan yang terjadi didalamnya.

Terkait dengan kritikan tersebut di atas, kiranya menarik untuk mengutip pendapat Trisno S. Susanto, bahwasanya sudah saatnya agama dikeluarkan dari kenyamanan spritualnya menuju alam sosial yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Dalam ruang sosial inilah keberagamaan yang sebenarnya akan ditemukan, sebab ia akan diperhadapkan oleh berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, korupsi dan perampokan yang tidak jarang dilakoni oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai orang yang beragama.
Oleh karenanya, setiap agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta tidak hanya untuk diaktualisasikan sebatas ritual-formal belaka, melainkan harus diselaraskan dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Doktrin agama harus mampu melampaui alam spiritualnya dengan jalan menjadikan agama sebagai sarana pencerahan kehidupan sosial umat manusia, atau dengan kata lain agama menjadi pilar utama perubahan sosial yang mengarah pada proses terciptanya kemaslahatan hidup umat manusia secarah menyeluruh.

Agama harus mampu mengejewantahkan diri dalam dunia sosial guna melawan semua tindak kedzaliman yang dapat merugikan kepentingan manusia, dan hanya dengan jalan ini kebesaran agama mampu ditemukan oleh setiap pemeluknya. Oleh karena itu, indikator kebesaran agama tidak lagi dilihat pada seberapa banyak umatnya merayakan hari raya, dan juga seberapa banyak fatwa dan kitab suci agama diproduksi, melainkan seberapa banyak manusia hidupnya merasa tenang, aman dan sejahterah karena agama.

Pada akhirnya, pencerahan sosial hanya bisa terwujud saat kesadaran menjadi pijakan utama dalam membangun, dan demikian pula halnya dengan agama. Kehidupan keberagamaan kita akan lebih tercerahkan dan semakin berarti jika agama dihadirkan untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia secara menyeluruh, dan di sini pula kita akan menemukan agama sebagai rahmat untuk seluruh isi alam semesta.

AGAMA SEBAGAI SARANA PENCERAHAN




Kebesaran suatu agama tidaklah diukur dari seberapa banyak kitab suci dan fatwa pemuka agama diproduksi, melainkan diukur dari sejauh mana peran pemuka agama tersebut dalam meyelesaikan seabrek persoalan sosial yang terjadi. Demikian juga, tolak ukur kesalehan seseorang dalam beragama tidak hanya dilihat dari seberapa rajinnya umat beragama  melaksanakan ritual-ritual agama, membaca kitab suci, mengunjungi rumah ibadah serta aktif menghadiri majelis ta’lim dan majelis dzikir, melainkan dilihat dari sejauh mana pengaplikasian nilai-nilai spiritual dan pesan-pesan kitab suci tersebut dalam dinamika kehidupan sosial manusia.

Meski demikian, dalam faktanya terkadang agama disalah-arahkan oleh pemeluknya sehingga tidaklah mengherankan jika ditemukan agama dijadikan sebagai kendaraan politik oleh sebahagian kelompok tertentu guna meraih kepentingan kekuasaan. Serta tidak jarang pula agama dijadikan sebagai legitimasi tindak kekerasan seperti terorisme yang notabene merusak jalinan persaudaraan antar manusia dan golongan, serta klaim kebenaran yang didasarkan pada kebenaran kelompok, mazhab dan aliran tertentu.

Akibatnya, dendam, dan kebencian, serta permusuhan antar golongan menjadi sesuatu hal yang tidak terhindarkan dan pada akhirnya akan menciptakan kehidupan keberagamaan yang semakin suram dan kacau. Ayat-ayat Tuhan yang sejatinya dapat dihadirkan untuk menyejukkan kehidupan sosial manusia berubah menjadi seram dan menakutkan. Sehingga dengan model seperti ini agama kemudian kehilangan peran untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia. Padahal sejatinya, setiap doktrin serta gagasan tafsir agama haruslah senantiasa dilahirkan guna merespon berbagai persoalan sosial yang terjadi.

Terkait hal ini, menarik untuk mengutip kritikan Cristopher Hitehens terhadap orang-orang yang beragama. Cristopher mengatakan bahwa tidak ada gunanya beragama sebab agama hanya menyisakan racun bagi kehidupan sosial manusia. Tentunya kritikan ini di satu sisi sangat beralasan sebab pada faktanya orang-orang beragama tidak mampu mengangkat derajat manusia, mengeluarkan manusia dari kemelut sosial seperti kemiskinan serta membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan konflik sosial.

Kenapa demikian? Karena agama hanya diposisikan pada ruang privacy yang hanya berkutat pada ruang spiritual yang semu serta hanya menyisakan model kepribadian manusia yang sholeh, namun bukan sholeh secara sosial melainkan sholeh secara individu. Sehingga semakin sholeh seseorang dalam beragama, maka semakin jauh pula ia dari hiruk pikuk dunia sosial serta persoalan yang terjadi didalamnya.

Terkait dengan kritikan tersebut di atas, kiranya menarik untuk mengutip pendapat Trisno S. Susanto, bahwasanya sudah saatnya agama dikeluarkan dari kenyamanan spritualnya menuju alam sosial yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Dalam ruang sosial inilah keberagamaan yang sebenarnya akan ditemukan, sebab ia akan diperhadapkan oleh berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, korupsi dan perampokan yang tidak jarang dilakoni oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai orang yang beragama.
Oleh karenanya, setiap agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta tidak hanya untuk diaktualisasikan sebatas ritual-formal belaka, melainkan harus diselaraskan dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Doktrin agama harus mampu melampaui alam spiritualnya dengan jalan menjadikan agama sebagai sarana pencerahan kehidupan sosial umat manusia, atau dengan kata lain agama menjadi pilar utama perubahan sosial yang mengarah pada proses terciptanya kemaslahatan hidup umat manusia secarah menyeluruh.

Agama harus mampu mengejewantahkan diri dalam dunia sosial guna melawan semua tindak kedzaliman yang dapat merugikan kepentingan manusia, dan hanya dengan jalan ini kebesaran agama mampu ditemukan oleh setiap pemeluknya. Oleh karena itu, indikator kebesaran agama tidak lagi dilihat pada seberapa banyak umatnya merayakan hari raya, dan juga seberapa banyak fatwa dan kitab suci agama diproduksi, melainkan seberapa banyak manusia hidupnya merasa tenang, aman dan sejahterah karena agama.

Pada akhirnya, pencerahan sosial hanya bisa terwujud saat kesadaran menjadi pijakan utama dalam membangun, dan demikian pula halnya dengan agama. Kehidupan keberagamaan kita akan lebih tercerahkan dan semakin berarti jika agama dihadirkan untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia secara menyeluruh, dan di sini pula kita akan menemukan agama sebagai rahmat untuk seluruh isi alam semesta.

Al-Quran dan Peradaban Toleransi



Bulan Ramadan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)

Ayat tersebut diatas menjadi pijakan teologis akan keagunan bulan suci Ramadan karena di dalamnya Allah Swt menurungkan kitab suci-Nya untuk dijadikan sebagai petunjuk dan penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini, dan atas dasar itu pula sebahagian ulama mengistilahkan Ramadan sebagai “bulan kitab suci”.

Bulan Ramadan tidak bisa dilepaskan dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang dalamnya tersimpan pesan-pesan moral seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian. Pesan tersebut juga sekaligus menjadi misi pencerahan Nabi Muhammad Saw. Sehingga kehadirannya pun senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh isi alam semesta, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).

Menurut KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi tuntunan hidup bagi segenap kaum muslimin agar senantiasa dijadikan sebagai landasan interaksi sosialnya.

Problematika Penafsiran

Meski beberapa ayat dalam Al-Quran secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa belaku adil, bersabar, bersikap ramah dan toleran terhadap perbedaan. Namun dalam faktanya tidaklah selamanya demikian. Fenomena radikalisasi agama telah menyisakan berbagai persoalan serta menjadi penyebab lahirnya berbagai tindakan kekerasan, kebencian, teror serta penghakiman terhadap komunitas lain yang mereka anggap sesat.

Prilaku tersebut tidak jarang menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai justifikasi tindakan kekerasan mereka. Sehingga sakralitas dan ayat-ayat kitab suci pun semakin menakutkan. Fenomena tersebut terjadi dikarenakan oleh pembacaan atau tafsir terhadap teks kitab suci tidak didasarkan pada prinsip keramahtan serta nilai-nilai kemanusiaan yang tersimpan di dalamnya. Sehingga tidak jarang pula kita menemukan prilaku sebahagian ummat beragama menjadi eksklusif, serta tidak toleran dikarenakan oleh penafsirannya.

Teks Al-Quran memang selalu menyisahkan ruang yang cukup problematik dalam dunia tafsir karena Al-Quran adalah kumpulan huruf-huruf yang diam, ia hanya bisa berbunyi ketika dibunyikan oleh pembaca atau penafsirnya. Ali Bin Abi Thalib yang juga salah seorang korban dari tafsir intoleran agama tersebut, sebagaimana yang dikutif oleh Ibnu Jarir Al-Thabari dalam kitabnya Tarikh Al-Umam Wa Al-Muluk mengatakan bahwa “Sesungguhnya Al-Quran adalah tulisan yang diantarai oleh dua pinggir bingkai. Ia tidak bisa berbicara apa-apa, kehendak manusialah yang membuatnya berbicara”.

Lebih lanjut, Khaled Abou el-Fadl mempertegas pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa Al-Quran sangat tergantung pada moralitas pembacanya. Ketika Al-Quran dibaca atau ditafsirkan secara intoleran, maka besar kemungkinan ayat-ayat Al-Quran akan melahirkan pesan-pesan intoleran seperti dendam, kebencian dan teror.

Meski demikian, kitab suci tetaplah menjadi sesuatu hal yang sangat fundamen dalam setiap agama, sebab agama tanpa kitab suci sangatlah tidak mungkin, sebagaimana kitab suci tanpa pembaca atau penafsir juga amat tidak mungkin. Namun yang menjadi persoalan jika Al-Quran ditafsirkan tidak dalam konteks humanis, toleran dan berkeadilan, maka pesan-pesan Al-Quran tersebut tidak akan menjadi rahmat bagi kehidupan dan bahkan bisa menjadi beban dan sumber “penghambat” peradaban ummat manusia.

Peradaban Toleransi

Al-Quran merupakan sumber ajaran Islam yang terangkum dalam 30 just, serta terdiri dari 6666 ayat, terdapat 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Sementara ayat yang biasa dijadikan sebagai tolok ukur tindakan kekerasan atau intoleransi oleh beberapa kelompok radikal hanya 176 ayat, dan itupun sangat terkait dengan kondisi sosial tertentu dimana ayat tersebut diturunkan.

Jika semua ayat dalam Al-Quran tersebut diperas atau disederhakan, maka akan ditemukan rangkumannya dalam surah Al-Fatihah, dan ketika surah Al-Fatihah tersebut disederhanakan lagi, maka rangkumannya akan ditemukan dalam bacaan Basamalah (Bismilahirahmanirhohim) (Zuhairi Misrawi; 2009). Beberapa ayat dalam Al-Quran dimulai dengan bacaan Basamalah, hal tersebut menandakan bahwasanya betapa kasih sayang adalah merupakan sifat Allah yang dituangkan dalam teks Al-Quran yang harus senantiasa dibumikan dan menjadi pembuka segala kehidupan.

Olehnya itu, terkait dengan perayaan Nuzulu Al-Quran, kiranya pesan–pesan moral seperti toleransi, kasih sayang dan kedamaian sebagaimana yang terdapat didalamnya dapat dijadikan sebagai momentum pencerahan peradaban ummat manusia. Sebab bangsa yang tercerahkan dan berperadaban maju menurut Ibnu Khaldum, adalah bangsa yang senantiasa mampu membangun dan merawat budaya toleransi.

Toleransi merupakan fitra kemanusiaan serta realitas kehidupan masyarakat pluralis dan multikultur yang tidak bisa diabaikan keberadaannya oleh siapapun. Demikian juga, toleransi merupakan keniscayaan hidup dalam sejarah peradaban ummat manusia karena tidak ada peradaban yang langgeng dan tegak diatas kedzaliman serta sikap arogansi yang mengabaikan prilaku toleransi. 

Al-Quran dan Perdaban Kemanusiaan
Oleh: Suaib Amin Prawono

Bulan Ramadan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)

Salah satu keistimewaan bulan suci Ramadan dibandingkan dengan bulan yang lain, karena didalamnya terdapat dua peristiwa yang cukup agung, yaitu; malam Lailatu Qadar dan peristiwa turungnya Al-Quran  yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Nuzulu Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat bahwasanya pada malam Qadar tersebutlah Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,  sehingga kedua peristiwah tersebut tidak bisa dipisahkan keberadaanya, sama dengan tidak bisanya dipisahkan antara Al-Quran dan kehidupan (moralitas) Nabi Muhammad Saw.

Tujuan Allah Swt menurunkan Al-Quran, sebagaimana bunyi ayat di atas, adalah untuk senantiasa dijadikan sebagai petunjuk serta penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini. Oleh karenanya, bulan Ramadan juga tidak bisa dilepaskan dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang didalamnya tersimpan pesan-pesan moral seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian.

Pesan tersebut sekaligus menjadi misi perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam upaya mencerahkan kehidupan sosial manusia. Sehingga kehadirannya pun senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh isi alam semesta, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).

Menurut KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi isyarat akan pentingnya membangun budaya toleransi, kasih sayang serta kedamaian dalam interaksi kehidupan sosial manusia.

Selain itu, menurut Komaruddin Hidayat, ungkapan rahmatan lilalaamin  dalam ayat tersebut, mengasumsikan bahwasanya ummat Islam haruslah senantiasa mampu untuk memilih cara berfikir kosmopolitan sebagai landasan pengibaran panji-panji kedamaian dalam upaya membangun kehidupan ummat manusia yang lebih berperadaban, apalagi ditegah kehidupan dunia yang mengglobal serta sarat akan kehidupan plural, baik dari segi bangsa, budaya dan agama, (Komaruddin Hidayat, 2012).

Peradaban Kemanusiaan
Pesan-pesan kedamaian yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw, sangat nyata kita saksikan dalam pentas sejarah peradaban Islam. Al-Quran yang senantiasa dijadikan sebagai landasan serta pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara telah mengatarkanya menjadi manusia yang cukup sukses dalam catatan sejarah peradaban ummat manusia.

Demikian juga, kemampuan beliau melakukan perubahan sosial dalam jangka waktu yang relatif singkat, telah mengundang detak kagum serta menjadi berbincangan serius oleh berbagai kalangan intelektual dan sejarawan dunia, baik muslim maupun non muslim, serta tidak jarang pula diantara mereka berpendapat bahwasanya Muhammad Saw adalah salah seorang tokoh peletak dasar perdamaian dunia.

Dalam sejarah perjuangannya, Nabi Muhammad Saw telah berhasil merubah nalar berpikir masyarakat Arab, dari cara berpikir “kabilahisme” (kesukuan) menuju cara berpikir yang kosmopolitan. Dari tradisi atau kebiasaan yang suka berperang menuju masyarakat yang toleran, cinta kedamaian dan ilmu pengetahuan, dan lewat gerakan tersebutlah pulalah, Nabi Muhammad Saw mampu merajut kebersamaan dalam bingkai kehidupan masyarakat yang plural dan multikultur, menuju masyarakat yang peradaban maju.

Peradaban tersebut tidaklah dibangun diatas sandaran primordialisme agama, etnis, dan budaya tertentu, melaingkan bangunan peradaban yang mampu melampaui batas teritorial primordilisme tersebut. Salah satu fakta yang bisa kita jadikan rujukan dalam hal ini adalah tegaknya peradaban masyarakat Madinah yang hetrogen melalui sebuah piagam kemanusiaan yang dikenal dengan istilah piagam Madinah.

Piagam tersebut dideklarasikan sekitar tahun 662 Masehi, tidak begitu lama setelah Nabi Muhammad Saw berada di Madinah. Piagam yang di dalamnya tersimpan pesan-pesan kemanusiaan, pentingnya menolak berbagai macam bentuk penindasan dan kedzaliman, mewujudkan persamaan hak ummat manusia, serta komitmen dalam membelah hak-hak orang-orang lemah atau yang terdzalimi.

Oleh kerenanya, Madinah senantiasa menyimpan pesan, pengalaman serta sejarah kehidupan ummat manusia yang penuh dengan keramahan, toleransi dan persaudaraan diatas keanekaragaman agama, budaya (etnis), serta strata sosial yang ada. Dalam konteks tersebutlah piagam madinah menjadi salah satu penyokong untama tegaknya peradaban kemanusiaan dan sekaligus menjadi bukti bahwasanya ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lewat jalan perdamaian dan persaudaraan.

Berkah Universal
Al-Quran tidaklah diturungkan dalam ruang yang hampa, melainkan hadir dan dipengaruhi oleh konteks sosial manusia yang sedang terjadi pada saat itu. Oleh karenanya, beberapa ayat yang terdapat didalamnya seolah menganjurkan perang, intoleransi dan anti perdamaian, dan jika ayat-ayat tersebut dibaca dan dipahami  tidak dengan  cermat atau didasarkan pada konteks sosial dimana ayat tersebut diturunkan, maka akan sangat berpotensi untuk melahirkan pemahaman yang keliru, serta akan mereduksi gagasan serta misi utama Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, rahmat dan perdamaian.

Olehnya itu, tafsir menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya untuk memahami teks Al-Quran, dan lewat tafsir pula Al-Quran akan berbicara dan berdialog dengan konteks kehidupan sosial manusia, sehingga nuangsa pembebasan serta spirit kemanusiaan yang terdapat didalamnya semakin terpancar dan seolah kitab suci tersebut hadir dalam suasan kekinian kita. Oleh karenanya pendekatan tafsir sosiologis-antropologis terhadap kitab suci menjadi penting untuk kita sematkan dalam konteks dan relasi kehidupan sosial kita.
Pendekatan tersebut lebih condong pada analisis sosial, dengan mencoba meneropong fenomena sosial yang sedang terjadi, serta upaya untuk melakukan trasformasi sosial dari makna ayat Al-Quran. Sehingga pesan-pesan kitab suci tersebut senantiasa menemukan ruang sosialnya dalam dinamika kehidupan manusia. Demikian pula, dalam pandangan tafsir tersebut mengandaikan bahwasanya berkah yang tersipan dalam Al-Quran tidak hanya menjadi milik satu orang, kelompok atau mazhab dan agama tertentu, melaingkan menjadi berkah untuk semua, atau dalam artian menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta raya ini.

Salah satu pesan yang sifatnya abadi dalam Al-Quran, serta berlaku secara universal untuk  semua zaman adalah pesan-pesan yang terkait dengan moralitas kehidupan ummat manusia. Dr. Adib Saleh dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Nushush, hal. 175, menyebutkan bahwa hukum-hukum moralitas yang bisa diterimah oleh akal sehat dan tidak berubah sepanjang waktu adalah prinsip keadilan, kejujuran, penghormatan kepada manusia, silaturrahim dan kesetiaan diatara sesama.

Olehnya itu, peringatan Nuzulu Al-Quran menjadi memontum yang sangat tepat untuk kembali merefleksikan pesan-pesan teologis ayat Al-Quran, serta mencoba membumikannya dalam konteks kehidupan sosial. Sebab Al-Quran memiliki posisi yang sangat vital dan sangat terhormat dalam kehidupan masyarakat muslim, karena Al-Quran disamping sebagai sumber hukum Islam, doktrin keimanan, bimbingan ibadah serta moral, Al-Quran juga menjadi sumber peradaban kemanusiaan yang bersifat historis dan universal.