Kehadiran bulan suci Ramadhan
disambut dengan penuh suka cita oleh
segenap ummat Islam di persada bumi ini, tak terkecuali bangsa kita yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat bulan Ramadhan tiba, rumah ibadah
seperti Mesjid, Mushollah, Langgar dan Surau di bangsa ini mendadak ramai
pengunjung. Sebuah pemandangan rutin yang nyaris tidak pernah ditemukan pada
bulan-bulan sebelumnya (di luar Ramadhan).
Kemeriahan
bulan suci Ramadhan pun semakin memuncak saat sebahagian selebritis bangsa ini
ikut serta mempromosikan kemeriahan Ramadhan melalui ceramah agama, iklan, hiburan
serta menu makanan sahur dan buka puasa lewat TV. Penampilan mereka pun
mendadak berubah. Dengan balutan busana Muslim seperti kerudung, kopiah dan
baju koko yang lagi trend mereka tampi
di berbagai media seolah menampakkan semangat kesholehan, meskipun mungkin
hanya sebatas simbol pada bulan Ramadhan.
Fenomena tersebut diatas semakin memperjelas
bahwasanya bulan Ramadhan tidak hanya sekedar menjadi bulan ibadah, melainkan juga
telah menjadi bulan pencitraan bagi sebahagian masyarakat elit-moderen bangsa
ini. Akibatnya, bulan Ramadhan pun semakin mahal karena telah tergiring dalam arus
logika pasar kapitalis, serta telah memudarkan eksistensi kita sebagai mahluk
spiritual.
Meskipun dalam salah satu hadist Nabi
Muhammad Saw disebutkan bahwa, “barang
siapa yang bergembira dengan kehadiran bulan suci Ramadhan, maka Allah akan
mengharamkan jasadnya dari siksaan api Neraka”. Namun bukan berarti, bulan Ramadhan
harus disambut dengan penuh kemeriahan dan kemewahan yang sarat dengan muatan
konsumeristik dan hedonis, sebab perilaku
seperti ini akan semakin mengaburkan tujuan dan makna ibadah puasa yang
sebenarnya.
Olehnya itu, untuk mengembalikan esensi
dari tujuan ibadah puasa dengan capaian predikat ketaqwaan, maka kita dituntut
untuk senantiasa meletakkan cara pandang, perilaku serta cara berpikir kita
dalam konteks kehidupan yang balance,
karena salah satu implementasi dari makna ketaqwaan adalah terciptanya
kesetaraan hidup diantara sesama manusia.
Dalam Al-Quran Allah Swt menjelaskan
bahwa, “ wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungunya orang paling mulia
diantara kamu, disisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.(QS.
Al-Hujurat [49]:13).
Lebih lanjut, Rasululah Saw mempertegas
ayat tersebut lewat hadistnya yang berbunyi “sesunggunya
manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, tidak ada kemuliaan
bagi orang Arab maupun yang bukan Arab, dan tidak pula kulit putih lebih mulia
dari kulit hitam, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu,disisi
Allah, adalah mereka yang paling bertaqwa diantara kamu”.
Secara
teologis, konsepsi makna taqwa yang terdapat dalam ayat dan hadist tersebut diatas
dapat kita maknai sebagai tolok ukur kesetaraan derajat umat manusia di hadapan
Tuhan. Sehingga dengan demikian, kita juga dapat memahami secara jelas bahwasanya
gaya hidup yang serba mewah dan moderen bukanlanlah objek utama penilaian Tuhan,
melainkan ketaqwaan yang terdapat dalam diri setiap insan.
Implementasi sosial dari ayat dan hadits
tersebut adalah untuk mengarahkan kita menjadi mahluk Tuhan yang toleran,
menghargai pendapat dan kehidupan orang lain dengan penuh kedamaian, mengedepankan
sikap humanis, rendah hati serta bersikap bijak dalam menghadapai berbagai
persoalan, sehingga kita pun akan senantiasa merasa terpanggil untuk turut
serta menjaga harmonisasi kehidupan sosial, demi terwujudnya keseimbangan
hidup, bebas dari dominasi dan diskriminasi diantara sesama manusia.
Olehnya itu, tujuan ibadah
puasa tidak hanya sekedar untuk menahan lapar dan haus, tapi lebih dari itu, ia
merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal sholeh dalam konteks
kehidupan sosial kita. Sehingga dengan demikian, kehadiran bulan suci Ramadhan tidak
lagi hanya sekedar menjadi ritual formal-tahunan yang sifatnya melangit serta
jauh dari persoalan kehidupan sosial kemanusiaan, melaingkan ia telah menjadi
bahagian dari konteks kehidupan sosial manusia.
0 komentar:
Posting Komentar