Selasa, 14 Agustus 2012

Refleksi Teologis Ibadah Puasa


Kehadiran bulan suci Ramadhan disambut  dengan penuh suka cita oleh segenap ummat Islam di persada bumi ini, tak terkecuali bangsa kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat bulan Ramadhan tiba, rumah ibadah seperti Mesjid, Mushollah, Langgar dan Surau di bangsa ini mendadak ramai pengunjung. Sebuah pemandangan rutin yang nyaris tidak pernah ditemukan pada bulan-bulan sebelumnya (di luar Ramadhan).

 Kemeriahan bulan suci Ramadhan pun semakin memuncak saat sebahagian selebritis bangsa ini ikut serta mempromosikan kemeriahan Ramadhan melalui ceramah agama, iklan, hiburan serta menu makanan sahur dan buka puasa lewat TV. Penampilan mereka pun mendadak berubah. Dengan balutan busana Muslim seperti kerudung, kopiah dan baju koko yang lagi trend mereka tampi di berbagai media seolah menampakkan semangat kesholehan, meskipun mungkin hanya sebatas simbol pada bulan Ramadhan.

Fenomena tersebut diatas semakin memperjelas bahwasanya bulan Ramadhan tidak hanya sekedar menjadi bulan ibadah, melainkan juga telah menjadi bulan pencitraan bagi sebahagian masyarakat elit-moderen bangsa ini. Akibatnya, bulan Ramadhan pun semakin mahal karena telah tergiring dalam arus logika pasar kapitalis, serta telah memudarkan eksistensi kita sebagai mahluk spiritual.

Meskipun dalam salah satu hadist Nabi Muhammad Saw disebutkan bahwa, “barang siapa yang bergembira dengan kehadiran bulan suci Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari siksaan api Neraka”. Namun bukan berarti, bulan Ramadhan harus disambut dengan penuh kemeriahan dan kemewahan yang sarat dengan muatan konsumeristik dan hedonis, sebab  perilaku seperti ini akan semakin mengaburkan tujuan dan makna ibadah puasa yang sebenarnya.

Olehnya itu, untuk mengembalikan esensi dari tujuan ibadah puasa dengan capaian predikat ketaqwaan, maka kita dituntut untuk senantiasa meletakkan cara pandang, perilaku serta cara berpikir kita dalam konteks kehidupan yang balance, karena salah satu implementasi dari makna ketaqwaan adalah terciptanya kesetaraan hidup diantara sesama manusia.

Dalam Al-Quran Allah Swt menjelaskan bahwa, “ wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungunya orang paling mulia diantara kamu, disisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.(QS. Al-Hujurat [49]:13).

Lebih lanjut, Rasululah Saw mempertegas ayat tersebut lewat hadistnya yang berbunyi “sesunggunya manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, tidak ada kemuliaan bagi orang Arab maupun yang bukan Arab, dan tidak pula kulit putih lebih mulia dari kulit hitam, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu,disisi Allah, adalah mereka yang paling bertaqwa diantara kamu”.

 Secara teologis, konsepsi makna taqwa yang terdapat dalam ayat dan hadist tersebut diatas dapat kita maknai sebagai tolok ukur kesetaraan derajat umat manusia di hadapan Tuhan. Sehingga dengan demikian, kita juga dapat memahami secara jelas bahwasanya gaya hidup yang serba mewah dan moderen bukanlanlah objek utama penilaian Tuhan, melainkan ketaqwaan yang terdapat dalam diri setiap insan.

Implementasi sosial dari ayat dan hadits tersebut adalah untuk mengarahkan kita menjadi mahluk Tuhan yang toleran, menghargai pendapat dan kehidupan orang lain dengan penuh kedamaian, mengedepankan sikap humanis, rendah hati serta bersikap bijak dalam menghadapai berbagai persoalan, sehingga kita pun akan senantiasa merasa terpanggil untuk turut serta menjaga harmonisasi kehidupan sosial, demi terwujudnya keseimbangan hidup, bebas dari dominasi dan diskriminasi diantara sesama manusia.


Olehnya itu, tujuan ibadah puasa tidak hanya sekedar untuk menahan lapar dan haus, tapi lebih dari itu, ia merupakan refleksi teologis untuk membumikan amal sholeh dalam konteks kehidupan sosial kita. Sehingga dengan demikian, kehadiran bulan suci Ramadhan tidak lagi hanya sekedar menjadi ritual formal-tahunan yang sifatnya melangit serta jauh dari persoalan kehidupan sosial kemanusiaan, melaingkan ia telah menjadi bahagian dari konteks kehidupan sosial manusia.

0 komentar: