Oleh: Suaib
Amin Prawono
Modernisasi
telah banyak melahirkan berbagai perubahan, khususnya yang terkait dengan
kehidupan sosial manusia. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam betuk
fisik (pembangunan) melaingkan juga pada prilaku serta cara pandang manusia
terhadap kehidupannya. Menurut Antony Gidens, modernisasi telah menghadirkan
pola kehidupan baru yang ditandai dengan meningkatnya arus informasi,
imajinasi, simbol, identitas dan life `stayl
yang kesemuanya itu bisa diperoleh dengan jalan membeli.
Disatu sisi, globalisasi
yang merupakan anak kandung dari modernisasi telah memudarkan tatanan
nilai-nilai kebudayaan kita dan mengikibatkan terjadinya cultural shock di tingkatan lokal. Indikasi dari cultural Shock ini ditandai dengan
terjadinya pergeseran norma-norma keluarga, Pergeseran figur dan ideologi
publik, pergeseran tata nilai kehidupan dalam masyarakat, perubahan radikal
dalam dunia mode (fashion), serta perubahan menu selera makan bagi sebahagian
kalangan generasi bangsa ini.
Fakta dari
kehidupan moderen ini menggiring pola kehidupan kita serba mewah dan seolah
“memaksa” kita untuk selalu menikmati dan mengukuti apa yang menjadi tawaran
pasar global tersebut, dan hal ini pun nampaknya sudah menjadi gaya hidup serta
ideologi baru dalam tatanan kehidupan kita dewasa ini. Sehingga pola hidup kita pun lambat laun
mengalami pergeseran, dimana kita tidak lagi mementingkan kebutuhan, tapi lebih
dari pada pemenuhan keinginan yang bisa jadi tidak penting.
Fenomena tersebut
pun mengakibatkan terjadinya degradasi kearifan lokal dalam tatanan kehidupan masyarakat
kita, tergantikan dengan pola kehidupan yang berorientasi pada dunia materi dengan
meneguhkan prisip hidup “ada uang ada jasa”. Akibatnya, relasi sosial antar masyarakat
lambat laun mengalami keterpurukan sosial dikerenakan semakin menipisnya ruang
keihlasan dan rasa kebersamaan diantara sesama.
Kearifan lokal masayarakat
kita yang yang didalamnya tersimpan nilai-nilai humanis seperti budaya gotong
royong, toleran (sipakala’bi),
Humanis (sipakatau) serta rasa Kepedulian sosial (sipakainga) diantara sesama pun
lambat laun mengalami pergeseran nilai akibat dominasi kehidupan yang bersifat konsumeris
dan hedonis. Fenomena ini, semakin diperparah dengan adanya prilaku sebahagian
masyarakat kita yang lebih suka menikmati kehidupan menyendiri ketimbang
membuka ruang kebersamaan diantara sesama.
Demikian juga
halnya dengan pola hidup masyarakat yang masih setia menjalangkan tradisinya
dipandang sebagai masyarakat kolot, primitif, jumud serta tradisional. Cara
pandang seperti ini menjadi penyebab utama kearifan lokal masyarakat kita
semakin ter-degradasi.
Budaya
Global
Sebahagian
orang Barat memaknai kebudayaan sebagai keberadaban, sementara keberadaban
dihubungkan dengan modernitas. Sehingga orang yang beradab menurut kacamata
mereka, adalah mereka yang maju secara moderen (Ahyar Anwar, 2010). Dengan
demikian, prilaku atau sesuatu yang sifatnya klasik dan tradisional dianggap
sebagai prilaku primitif, tidak moderen serta tidak ilmiah dan hanya mungkin
bisa dijadikan sebagai pajangan untuk tujuan wisata.
Pembentukan budaya
global dilatari oleh peran media informasi dan komunikasi serta partisipasi
massa dalam ekonomi pasar yang bertujuan untuk menciptakan komodifikasi,
komersialisasi dan budaya konsumerisme. Dengan dukungan penuh dari media
informasi tersebut, budaya global semakin leluasa memainkan perannya dalam
menginvansi tatanan kehidupan manusia serta mencoba menggirinnya dalam satu
paradigma tentang dunia yang tiada lain sebagai bentuk rekaya sosial mereka
(kapitalisme) untuk membuka lebar pergerakan pasar dunia yang disponsori oleh
kapitalisme global.
Hal tersebut
pun semakin menyulitkan posisi kearifan Lokal kita untuk tampil menjadi pesan
moral ditegah degradasi kehidupan moralitas bangsa. Kerisauan akan adanya fakta
dimana kearifan Lokal nusantara mulai dikebiri oleh sebahagian generasinya
disebapkan karena cara pandang mereka dalam melihat kearifan lokalnya
didominasi oleh nalar berpikir yang dikontruksi oleh paradigma globalisasi.
Sebagaimana
yang lazim diketahui, budaya adalah buah dari karya, rasa dan cipta manusia
yang lahirkan dari proses refleksi kehidupan sosial yang cukup panjang. Hasil
dari refleksi inilah yang menjadi inspirasi kehidupan manusia dalam membangun
tata peradabannya. Dan hasil ispirasi ini pulalah yang kemudian diterjemahkan
oleh sebahagian masyarakat lokal sebagai bentuk kearifan hidup atau yang lebih
dikenal dengan istilah kearifan lokal.
Melestarikan
Keariafan Lokal
Dalam pradigma postmodernisme,
kearifan Lokal menjadi objek kajian penting dan dianggap sebagai sesuatu yang
masih sangat relevan dengan kehidupan kekinian. Kearifan lokal dihadirkan oleh
kalangan postmodernis (Posmo), disamping sebagai bentuk kritikan juga
dimaksudkan untuk membentuk nalar konstruktif kaum modernisme yang telah lama
meninggalkan sebahagian nilai-nilai kemanusiaan.
Komitmen
pemikiran postmodernisme berkeinginan untuk menjaga sesuatau yang bersifat
alamiah dan khas dalam kehidupan kita, sebab struktur dasar kita adalah apa
yang tercipta dalam negeri bukan apa yang datang dari luar. Olehnya itu,
kalangan postmodernisme tetap eksis dalam mewacanakan penghargaan terahadap
struktur kebudayaan lokal termasuk kearifan yang tersimpan didalamnya untuk tetap
dilestarikan dalam menyapa peradaban modern yang sudah mengglobal.
Pola hidup ala
modernisasi global yang menawarkan dua opsi model kehidupan, yaitu menjadi
orang-orang modern dengan meniggalkan tradisi atau menjadi orang yang tradisional
dengan melawan produk modernisasi melahirkan cara berpikir ala schizphreenia, yaitu kepribadian yang
terbelah atau berposisi diantara dua pilihan, disatu sisi ikut dengan
kemoderenan dan disisi lain tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang
dianggap masih relevan dengan konteks kekinian.
Tentunya hanya
dengan model seperti ini yang bisa kita aktualisasikan sebagai bahagian dari
usaha kita dalam menjaga kearifan lokal bangsa. Sebab menjadi orang moderen
tidaklah semestinya mengkiblat pada peradaban orang lain, melaingkan kita harus
mampu menyelami kearifan budaya kita sendiri kemudian mendialogkan dengan
peradaban bangsa lain yang sedang berkembang tanpa harus tercerabut dari akar
kebudayaan kita.
0 komentar:
Posting Komentar