Selasa, 14 Agustus 2012

AGAMA SEBAGAI SARANA PENCERAHAN




Kebesaran suatu agama tidaklah diukur dari seberapa banyak kitab suci dan fatwa pemuka agama diproduksi, melainkan diukur dari sejauh mana peran pemuka agama tersebut dalam meyelesaikan seabrek persoalan sosial yang terjadi. Demikian juga, tolak ukur kesalehan seseorang dalam beragama tidak hanya dilihat dari seberapa rajinnya umat beragama  melaksanakan ritual-ritual agama, membaca kitab suci, mengunjungi rumah ibadah serta aktif menghadiri majelis ta’lim dan majelis dzikir, melainkan dilihat dari sejauh mana pengaplikasian nilai-nilai spiritual dan pesan-pesan kitab suci tersebut dalam dinamika kehidupan sosial manusia.

Meski demikian, dalam faktanya terkadang agama disalah-arahkan oleh pemeluknya sehingga tidaklah mengherankan jika ditemukan agama dijadikan sebagai kendaraan politik oleh sebahagian kelompok tertentu guna meraih kepentingan kekuasaan. Serta tidak jarang pula agama dijadikan sebagai legitimasi tindak kekerasan seperti terorisme yang notabene merusak jalinan persaudaraan antar manusia dan golongan, serta klaim kebenaran yang didasarkan pada kebenaran kelompok, mazhab dan aliran tertentu.

Akibatnya, dendam, dan kebencian, serta permusuhan antar golongan menjadi sesuatu hal yang tidak terhindarkan dan pada akhirnya akan menciptakan kehidupan keberagamaan yang semakin suram dan kacau. Ayat-ayat Tuhan yang sejatinya dapat dihadirkan untuk menyejukkan kehidupan sosial manusia berubah menjadi seram dan menakutkan. Sehingga dengan model seperti ini agama kemudian kehilangan peran untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia. Padahal sejatinya, setiap doktrin serta gagasan tafsir agama haruslah senantiasa dilahirkan guna merespon berbagai persoalan sosial yang terjadi.

Terkait hal ini, menarik untuk mengutip kritikan Cristopher Hitehens terhadap orang-orang yang beragama. Cristopher mengatakan bahwa tidak ada gunanya beragama sebab agama hanya menyisakan racun bagi kehidupan sosial manusia. Tentunya kritikan ini di satu sisi sangat beralasan sebab pada faktanya orang-orang beragama tidak mampu mengangkat derajat manusia, mengeluarkan manusia dari kemelut sosial seperti kemiskinan serta membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan konflik sosial.

Kenapa demikian? Karena agama hanya diposisikan pada ruang privacy yang hanya berkutat pada ruang spiritual yang semu serta hanya menyisakan model kepribadian manusia yang sholeh, namun bukan sholeh secara sosial melainkan sholeh secara individu. Sehingga semakin sholeh seseorang dalam beragama, maka semakin jauh pula ia dari hiruk pikuk dunia sosial serta persoalan yang terjadi didalamnya.

Terkait dengan kritikan tersebut di atas, kiranya menarik untuk mengutip pendapat Trisno S. Susanto, bahwasanya sudah saatnya agama dikeluarkan dari kenyamanan spritualnya menuju alam sosial yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Dalam ruang sosial inilah keberagamaan yang sebenarnya akan ditemukan, sebab ia akan diperhadapkan oleh berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, korupsi dan perampokan yang tidak jarang dilakoni oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai orang yang beragama.
Oleh karenanya, setiap agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta tidak hanya untuk diaktualisasikan sebatas ritual-formal belaka, melainkan harus diselaraskan dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Doktrin agama harus mampu melampaui alam spiritualnya dengan jalan menjadikan agama sebagai sarana pencerahan kehidupan sosial umat manusia, atau dengan kata lain agama menjadi pilar utama perubahan sosial yang mengarah pada proses terciptanya kemaslahatan hidup umat manusia secarah menyeluruh.

Agama harus mampu mengejewantahkan diri dalam dunia sosial guna melawan semua tindak kedzaliman yang dapat merugikan kepentingan manusia, dan hanya dengan jalan ini kebesaran agama mampu ditemukan oleh setiap pemeluknya. Oleh karena itu, indikator kebesaran agama tidak lagi dilihat pada seberapa banyak umatnya merayakan hari raya, dan juga seberapa banyak fatwa dan kitab suci agama diproduksi, melainkan seberapa banyak manusia hidupnya merasa tenang, aman dan sejahterah karena agama.

Pada akhirnya, pencerahan sosial hanya bisa terwujud saat kesadaran menjadi pijakan utama dalam membangun, dan demikian pula halnya dengan agama. Kehidupan keberagamaan kita akan lebih tercerahkan dan semakin berarti jika agama dihadirkan untuk mencerahkan kehidupan sosial umat manusia secara menyeluruh, dan di sini pula kita akan menemukan agama sebagai rahmat untuk seluruh isi alam semesta.

0 komentar: