Kebesaran suatu agama tidaklah
diukur dari seberapa banyak kitab suci dan fatwa pemuka agama diproduksi,
melainkan diukur dari sejauh mana peran pemuka agama tersebut dalam
meyelesaikan seabrek persoalan sosial yang terjadi. Demikian juga,
tolak ukur kesalehan seseorang dalam beragama tidak hanya dilihat dari seberapa
rajinnya umat beragama melaksanakan
ritual-ritual agama, membaca kitab suci, mengunjungi rumah ibadah serta aktif
menghadiri majelis ta’lim dan majelis dzikir, melainkan dilihat dari sejauh
mana pengaplikasian nilai-nilai spiritual dan pesan-pesan kitab suci tersebut dalam
dinamika kehidupan sosial manusia.
Meski demikian,
dalam faktanya terkadang agama disalah-arahkan oleh pemeluknya sehingga
tidaklah mengherankan jika ditemukan agama dijadikan sebagai kendaraan politik oleh
sebahagian kelompok tertentu guna meraih kepentingan kekuasaan. Serta tidak
jarang pula agama dijadikan sebagai legitimasi tindak kekerasan seperti terorisme
yang notabene merusak jalinan persaudaraan
antar manusia dan golongan, serta klaim kebenaran yang didasarkan pada kebenaran
kelompok, mazhab dan aliran tertentu.
Akibatnya, dendam, dan kebencian, serta
permusuhan antar golongan menjadi sesuatu hal yang tidak terhindarkan dan pada
akhirnya akan menciptakan kehidupan keberagamaan yang semakin suram dan kacau. Ayat-ayat
Tuhan yang sejatinya dapat dihadirkan untuk menyejukkan kehidupan sosial
manusia berubah menjadi seram dan menakutkan. Sehingga dengan model seperti ini
agama kemudian kehilangan peran untuk mencerahkan kehidupan sosial umat
manusia. Padahal sejatinya, setiap doktrin serta gagasan tafsir agama haruslah
senantiasa dilahirkan guna merespon berbagai persoalan sosial yang terjadi.
Terkait hal ini, menarik untuk mengutip
kritikan Cristopher Hitehens terhadap orang-orang yang beragama. Cristopher
mengatakan bahwa tidak ada gunanya beragama sebab agama hanya menyisakan racun
bagi kehidupan sosial manusia. Tentunya kritikan ini di satu sisi sangat
beralasan sebab pada faktanya orang-orang beragama tidak mampu mengangkat
derajat manusia, mengeluarkan manusia dari kemelut sosial seperti kemiskinan serta
membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan konflik sosial.
Kenapa demikian? Karena agama hanya diposisikan
pada ruang privacy yang hanya
berkutat pada ruang spiritual yang semu serta hanya menyisakan model kepribadian
manusia yang sholeh, namun bukan sholeh secara sosial melainkan sholeh secara individu.
Sehingga semakin sholeh seseorang dalam beragama, maka semakin jauh pula ia dari
hiruk pikuk dunia sosial serta persoalan yang terjadi didalamnya.
Terkait dengan kritikan tersebut di atas,
kiranya menarik untuk mengutip pendapat Trisno S. Susanto, bahwasanya sudah
saatnya agama dikeluarkan dari kenyamanan spritualnya menuju alam sosial yang
penuh dengan rintangan dan tantangan. Dalam ruang sosial inilah keberagamaan
yang sebenarnya akan ditemukan, sebab ia akan diperhadapkan oleh berbagai
persoalan sosial, seperti kemiskinan, korupsi dan perampokan yang tidak jarang
dilakoni oleh orang-orang yang mengaku diri sebagai orang yang beragama.
Oleh karenanya, setiap agama yang diturunkan
oleh Sang Pencipta tidak hanya untuk diaktualisasikan sebatas ritual-formal
belaka, melainkan harus diselaraskan dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Doktrin
agama harus mampu melampaui alam spiritualnya dengan jalan menjadikan agama
sebagai sarana pencerahan kehidupan sosial umat manusia, atau dengan kata lain
agama menjadi pilar utama perubahan sosial yang mengarah pada proses
terciptanya kemaslahatan hidup umat manusia secarah menyeluruh.
Agama harus mampu mengejewantahkan diri
dalam dunia sosial guna melawan semua tindak kedzaliman yang dapat merugikan
kepentingan manusia, dan hanya dengan jalan ini kebesaran agama mampu ditemukan
oleh setiap pemeluknya. Oleh karena itu, indikator kebesaran agama tidak lagi dilihat
pada seberapa banyak umatnya merayakan hari raya, dan juga seberapa banyak
fatwa dan kitab suci agama diproduksi, melainkan seberapa banyak manusia hidupnya
merasa tenang, aman dan sejahterah karena agama.
Pada akhirnya, pencerahan sosial hanya
bisa terwujud saat kesadaran menjadi pijakan utama dalam membangun, dan demikian
pula halnya dengan agama. Kehidupan keberagamaan kita akan lebih tercerahkan
dan semakin berarti jika agama dihadirkan untuk mencerahkan kehidupan sosial umat
manusia secara menyeluruh, dan di sini pula kita akan menemukan agama sebagai
rahmat untuk seluruh isi alam semesta.
0 komentar:
Posting Komentar