Al-Quran dan Perdaban Kemanusiaan
Oleh: Suaib Amin Prawono
Bulan Ramadan
adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang
bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia
berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)
Salah
satu keistimewaan bulan suci Ramadan dibandingkan dengan bulan yang lain, karena
didalamnya terdapat dua peristiwa yang cukup agung, yaitu; malam Lailatu Qadar dan peristiwa turungnya Al-Quran yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Nuzulu Al-Quran. Sebahagian ulama
berpendapat bahwasanya pada malam Qadar tersebutlah Al-Quran pertama kali
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga kedua peristiwah tersebut tidak bisa dipisahkan
keberadaanya, sama dengan tidak bisanya dipisahkan antara Al-Quran dan kehidupan
(moralitas) Nabi Muhammad Saw.
Tujuan
Allah Swt menurunkan Al-Quran, sebagaimana bunyi ayat di atas, adalah untuk
senantiasa dijadikan sebagai petunjuk serta penerang bagi kehidupan ummat manusia
di persada bumi ini. Oleh karenanya, bulan Ramadan juga tidak bisa dilepaskan
dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang didalamnya tersimpan pesan-pesan moral
seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian.
Pesan
tersebut sekaligus menjadi misi perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam upaya
mencerahkan kehidupan sosial manusia. Sehingga kehadirannya pun senantiasa menjadi
rahmat bagi seluruh isi alam semesta, sebagaimana firman Allah Swt dalam
Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau
(wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS
Al-Anbiya’: 107).
Menurut
KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan
perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi
isyarat akan pentingnya membangun budaya toleransi, kasih sayang serta kedamaian
dalam interaksi kehidupan sosial manusia.
Selain
itu, menurut Komaruddin Hidayat, ungkapan rahmatan
lilalaamin dalam ayat tersebut, mengasumsikan
bahwasanya ummat Islam haruslah senantiasa mampu untuk memilih cara berfikir kosmopolitan
sebagai landasan pengibaran panji-panji kedamaian dalam upaya membangun
kehidupan ummat manusia yang lebih berperadaban, apalagi ditegah kehidupan dunia
yang mengglobal serta sarat akan kehidupan plural, baik dari segi bangsa,
budaya dan agama, (Komaruddin Hidayat, 2012).
Peradaban Kemanusiaan
Pesan-pesan
kedamaian yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw, sangat nyata kita saksikan dalam
pentas sejarah peradaban Islam. Al-Quran yang senantiasa dijadikan sebagai
landasan serta pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara telah mengatarkanya
menjadi manusia yang cukup sukses dalam catatan sejarah peradaban ummat
manusia.
Demikian
juga, kemampuan beliau melakukan perubahan sosial dalam jangka waktu yang relatif
singkat, telah mengundang detak kagum serta menjadi berbincangan serius oleh
berbagai kalangan intelektual dan sejarawan dunia, baik muslim maupun non
muslim, serta tidak jarang pula diantara mereka berpendapat bahwasanya Muhammad
Saw adalah salah seorang tokoh peletak dasar perdamaian dunia.
Dalam
sejarah perjuangannya, Nabi Muhammad Saw telah berhasil merubah nalar berpikir
masyarakat Arab, dari cara berpikir “kabilahisme”
(kesukuan) menuju cara berpikir yang kosmopolitan. Dari tradisi atau
kebiasaan yang suka berperang menuju masyarakat yang toleran, cinta kedamaian dan
ilmu pengetahuan, dan lewat gerakan tersebutlah pulalah, Nabi Muhammad Saw mampu
merajut kebersamaan dalam bingkai kehidupan masyarakat yang plural dan
multikultur, menuju masyarakat yang peradaban maju.
Peradaban
tersebut tidaklah dibangun diatas sandaran primordialisme agama, etnis, dan
budaya tertentu, melaingkan bangunan peradaban yang mampu melampaui batas teritorial
primordilisme tersebut. Salah satu fakta yang bisa kita jadikan rujukan dalam
hal ini adalah tegaknya peradaban masyarakat Madinah yang hetrogen melalui
sebuah piagam kemanusiaan yang dikenal dengan istilah piagam Madinah.
Piagam
tersebut dideklarasikan sekitar tahun 662 Masehi, tidak begitu lama setelah
Nabi Muhammad Saw berada di Madinah. Piagam yang di dalamnya tersimpan
pesan-pesan kemanusiaan, pentingnya menolak berbagai macam bentuk penindasan
dan kedzaliman, mewujudkan persamaan hak ummat manusia, serta komitmen dalam membelah
hak-hak orang-orang lemah atau yang terdzalimi.
Oleh
kerenanya, Madinah senantiasa menyimpan pesan, pengalaman serta sejarah
kehidupan ummat manusia yang penuh dengan keramahan, toleransi dan persaudaraan
diatas keanekaragaman agama, budaya (etnis), serta strata sosial yang ada.
Dalam konteks tersebutlah piagam madinah menjadi salah satu penyokong untama
tegaknya peradaban kemanusiaan dan sekaligus menjadi bukti bahwasanya ajaran Islam
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lewat jalan perdamaian dan persaudaraan.
Berkah Universal
Al-Quran
tidaklah diturungkan dalam ruang yang hampa, melainkan hadir dan dipengaruhi
oleh konteks sosial manusia yang sedang terjadi pada saat itu. Oleh karenanya, beberapa
ayat yang terdapat didalamnya seolah menganjurkan perang, intoleransi dan anti
perdamaian, dan jika ayat-ayat tersebut dibaca dan dipahami tidak dengan cermat atau didasarkan pada konteks sosial
dimana ayat tersebut diturunkan, maka akan sangat berpotensi untuk melahirkan
pemahaman yang keliru, serta akan mereduksi gagasan serta misi utama Islam sebagai
agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, rahmat dan perdamaian.
Olehnya
itu, tafsir menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya untuk memahami teks
Al-Quran, dan lewat tafsir pula Al-Quran akan berbicara dan berdialog dengan
konteks kehidupan sosial manusia, sehingga nuangsa pembebasan serta spirit
kemanusiaan yang terdapat didalamnya semakin terpancar dan seolah kitab suci
tersebut hadir dalam suasan kekinian kita. Oleh karenanya pendekatan tafsir sosiologis-antropologis
terhadap kitab suci menjadi penting untuk kita sematkan dalam konteks dan
relasi kehidupan sosial kita.
Pendekatan
tersebut lebih condong pada analisis sosial, dengan mencoba meneropong fenomena
sosial yang sedang terjadi, serta upaya untuk melakukan trasformasi sosial dari
makna ayat Al-Quran. Sehingga pesan-pesan kitab suci tersebut senantiasa
menemukan ruang sosialnya dalam dinamika kehidupan manusia. Demikian pula,
dalam pandangan tafsir tersebut mengandaikan bahwasanya berkah yang tersipan
dalam Al-Quran tidak hanya menjadi milik satu orang, kelompok atau mazhab dan
agama tertentu, melaingkan menjadi berkah untuk semua, atau dalam artian
menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta raya ini.
Salah
satu pesan yang sifatnya abadi dalam Al-Quran, serta berlaku secara universal
untuk semua zaman adalah pesan-pesan
yang terkait dengan moralitas kehidupan ummat manusia. Dr. Adib Saleh dalam
kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir
al-Nushush, hal. 175, menyebutkan bahwa hukum-hukum moralitas yang bisa
diterimah oleh akal sehat dan tidak berubah sepanjang waktu adalah prinsip
keadilan, kejujuran, penghormatan kepada manusia, silaturrahim dan kesetiaan
diatara sesama.
Olehnya
itu, peringatan Nuzulu Al-Quran menjadi
memontum yang sangat tepat untuk kembali merefleksikan pesan-pesan teologis
ayat Al-Quran, serta mencoba membumikannya dalam konteks kehidupan sosial.
Sebab Al-Quran memiliki posisi yang sangat vital dan sangat terhormat dalam
kehidupan masyarakat muslim, karena Al-Quran disamping sebagai sumber hukum
Islam, doktrin keimanan, bimbingan ibadah serta moral, Al-Quran juga menjadi
sumber peradaban kemanusiaan yang bersifat historis dan universal.
0 komentar:
Posting Komentar