Selasa, 14 Agustus 2012

Al-Quran dan Perdaban Kemanusiaan
Oleh: Suaib Amin Prawono

Bulan Ramadan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)

Salah satu keistimewaan bulan suci Ramadan dibandingkan dengan bulan yang lain, karena didalamnya terdapat dua peristiwa yang cukup agung, yaitu; malam Lailatu Qadar dan peristiwa turungnya Al-Quran  yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Nuzulu Al-Quran. Sebahagian ulama berpendapat bahwasanya pada malam Qadar tersebutlah Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,  sehingga kedua peristiwah tersebut tidak bisa dipisahkan keberadaanya, sama dengan tidak bisanya dipisahkan antara Al-Quran dan kehidupan (moralitas) Nabi Muhammad Saw.

Tujuan Allah Swt menurunkan Al-Quran, sebagaimana bunyi ayat di atas, adalah untuk senantiasa dijadikan sebagai petunjuk serta penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini. Oleh karenanya, bulan Ramadan juga tidak bisa dilepaskan dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang didalamnya tersimpan pesan-pesan moral seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian.

Pesan tersebut sekaligus menjadi misi perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam upaya mencerahkan kehidupan sosial manusia. Sehingga kehadirannya pun senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh isi alam semesta, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).

Menurut KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi isyarat akan pentingnya membangun budaya toleransi, kasih sayang serta kedamaian dalam interaksi kehidupan sosial manusia.

Selain itu, menurut Komaruddin Hidayat, ungkapan rahmatan lilalaamin  dalam ayat tersebut, mengasumsikan bahwasanya ummat Islam haruslah senantiasa mampu untuk memilih cara berfikir kosmopolitan sebagai landasan pengibaran panji-panji kedamaian dalam upaya membangun kehidupan ummat manusia yang lebih berperadaban, apalagi ditegah kehidupan dunia yang mengglobal serta sarat akan kehidupan plural, baik dari segi bangsa, budaya dan agama, (Komaruddin Hidayat, 2012).

Peradaban Kemanusiaan
Pesan-pesan kedamaian yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw, sangat nyata kita saksikan dalam pentas sejarah peradaban Islam. Al-Quran yang senantiasa dijadikan sebagai landasan serta pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara telah mengatarkanya menjadi manusia yang cukup sukses dalam catatan sejarah peradaban ummat manusia.

Demikian juga, kemampuan beliau melakukan perubahan sosial dalam jangka waktu yang relatif singkat, telah mengundang detak kagum serta menjadi berbincangan serius oleh berbagai kalangan intelektual dan sejarawan dunia, baik muslim maupun non muslim, serta tidak jarang pula diantara mereka berpendapat bahwasanya Muhammad Saw adalah salah seorang tokoh peletak dasar perdamaian dunia.

Dalam sejarah perjuangannya, Nabi Muhammad Saw telah berhasil merubah nalar berpikir masyarakat Arab, dari cara berpikir “kabilahisme” (kesukuan) menuju cara berpikir yang kosmopolitan. Dari tradisi atau kebiasaan yang suka berperang menuju masyarakat yang toleran, cinta kedamaian dan ilmu pengetahuan, dan lewat gerakan tersebutlah pulalah, Nabi Muhammad Saw mampu merajut kebersamaan dalam bingkai kehidupan masyarakat yang plural dan multikultur, menuju masyarakat yang peradaban maju.

Peradaban tersebut tidaklah dibangun diatas sandaran primordialisme agama, etnis, dan budaya tertentu, melaingkan bangunan peradaban yang mampu melampaui batas teritorial primordilisme tersebut. Salah satu fakta yang bisa kita jadikan rujukan dalam hal ini adalah tegaknya peradaban masyarakat Madinah yang hetrogen melalui sebuah piagam kemanusiaan yang dikenal dengan istilah piagam Madinah.

Piagam tersebut dideklarasikan sekitar tahun 662 Masehi, tidak begitu lama setelah Nabi Muhammad Saw berada di Madinah. Piagam yang di dalamnya tersimpan pesan-pesan kemanusiaan, pentingnya menolak berbagai macam bentuk penindasan dan kedzaliman, mewujudkan persamaan hak ummat manusia, serta komitmen dalam membelah hak-hak orang-orang lemah atau yang terdzalimi.

Oleh kerenanya, Madinah senantiasa menyimpan pesan, pengalaman serta sejarah kehidupan ummat manusia yang penuh dengan keramahan, toleransi dan persaudaraan diatas keanekaragaman agama, budaya (etnis), serta strata sosial yang ada. Dalam konteks tersebutlah piagam madinah menjadi salah satu penyokong untama tegaknya peradaban kemanusiaan dan sekaligus menjadi bukti bahwasanya ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan lewat jalan perdamaian dan persaudaraan.

Berkah Universal
Al-Quran tidaklah diturungkan dalam ruang yang hampa, melainkan hadir dan dipengaruhi oleh konteks sosial manusia yang sedang terjadi pada saat itu. Oleh karenanya, beberapa ayat yang terdapat didalamnya seolah menganjurkan perang, intoleransi dan anti perdamaian, dan jika ayat-ayat tersebut dibaca dan dipahami  tidak dengan  cermat atau didasarkan pada konteks sosial dimana ayat tersebut diturunkan, maka akan sangat berpotensi untuk melahirkan pemahaman yang keliru, serta akan mereduksi gagasan serta misi utama Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, rahmat dan perdamaian.

Olehnya itu, tafsir menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya untuk memahami teks Al-Quran, dan lewat tafsir pula Al-Quran akan berbicara dan berdialog dengan konteks kehidupan sosial manusia, sehingga nuangsa pembebasan serta spirit kemanusiaan yang terdapat didalamnya semakin terpancar dan seolah kitab suci tersebut hadir dalam suasan kekinian kita. Oleh karenanya pendekatan tafsir sosiologis-antropologis terhadap kitab suci menjadi penting untuk kita sematkan dalam konteks dan relasi kehidupan sosial kita.
Pendekatan tersebut lebih condong pada analisis sosial, dengan mencoba meneropong fenomena sosial yang sedang terjadi, serta upaya untuk melakukan trasformasi sosial dari makna ayat Al-Quran. Sehingga pesan-pesan kitab suci tersebut senantiasa menemukan ruang sosialnya dalam dinamika kehidupan manusia. Demikian pula, dalam pandangan tafsir tersebut mengandaikan bahwasanya berkah yang tersipan dalam Al-Quran tidak hanya menjadi milik satu orang, kelompok atau mazhab dan agama tertentu, melaingkan menjadi berkah untuk semua, atau dalam artian menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta raya ini.

Salah satu pesan yang sifatnya abadi dalam Al-Quran, serta berlaku secara universal untuk  semua zaman adalah pesan-pesan yang terkait dengan moralitas kehidupan ummat manusia. Dr. Adib Saleh dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Nushush, hal. 175, menyebutkan bahwa hukum-hukum moralitas yang bisa diterimah oleh akal sehat dan tidak berubah sepanjang waktu adalah prinsip keadilan, kejujuran, penghormatan kepada manusia, silaturrahim dan kesetiaan diatara sesama.

Olehnya itu, peringatan Nuzulu Al-Quran menjadi memontum yang sangat tepat untuk kembali merefleksikan pesan-pesan teologis ayat Al-Quran, serta mencoba membumikannya dalam konteks kehidupan sosial. Sebab Al-Quran memiliki posisi yang sangat vital dan sangat terhormat dalam kehidupan masyarakat muslim, karena Al-Quran disamping sebagai sumber hukum Islam, doktrin keimanan, bimbingan ibadah serta moral, Al-Quran juga menjadi sumber peradaban kemanusiaan yang bersifat historis dan universal.







   

0 komentar: