Kamis, 16 April 2015

Radikalisme Agama di Ruang Publik

Mungkin diantara kita ada yang bertanya, mengapa belakangan bangsa ini seolah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya paham radikal? Apakah karena demokrasi kita terlalu liberal ataukah karena ia telah kehilangan prinsip? Mungkin jawaban dari pertanyaan ini akan bermacam-macam, sebab persoalan yang melatari lahirnya paham radikalisme juga bermacam-macam.

Selain persoalan kesenjangan sosial, fenomena lain yang juga menarik untuk dikemukakan dalam tulisan ini, Pertama; Negara kita abai terhadap tumbuhnya kelompok radikal, dibuktikan dengan tidak adanya keseriusan Negara melakukan pencegahan dan penindakan terhadap gerakan mereka. Sehingga kesannya pun seolah dibiarkan.

Kedua; egoisme kelompok. Egoisme kelompok ini dilatari oleh sebuah paham atau keyakinan bahwa hanya kelompoknyalah yang selamat, sementara yang lain salah atau sesat. Keegoisan ini yang kemudian disatu sisi membuat kelompok ini menjadi eksklusif, karena jangankan berdialog dengan mereka, tersenyum pun terhadap kelompok lain terkadang sangat sulit dilakukan.

Kedua fenomena tersebut menjadi salah satu bagian dari latar kebangkitan paham radikalisasi agama dan sekaligus menjadi sumber penderitaan kelompok minoritas agama di bangsa ini, sebab merekalah yang kerap menjadi sasaran empuk mereka.

Dulunya kelompok ini tidak berani tampil ke permukaan, namun pasca gerakan reformasi 1998 bergulir, mereka seolah mendapat ruang sehingga bebas menampakkan wajahnya dan berteriak secara lantang. Ironisnya, kelompok ini kerap mengunakan dalil-dalil agama untuk menghakimi kelompok lain yang tidak sepaham dengannya.

Model Gerakan
Meski secara kuantitas, kelompok radikal ini sangat minim, namun mereka cukup lihai memainkan isu dan merebut ruang-ruang strategis untuk mendominasi ruang publik.  Menurut, Najib Azca (2015) kelompok ini dapat dilihat dalam tiga model gerakan, yaitu; Pertama, kelompok moralis, mereka ini kerap melakukan pemaksaan terhadap warga untuk tidak berbuat maksiat. Tempat hiburan malam dan warung-warung miras kerap menjadi sasaran kelompok ini.

Kedua; Kelompok jihadis, kelompok yang kerap menebarkan teror dan penyerangan terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai musuh agamanya. Ciri khas utama kelompok ini sangat anti Barat, meski tidak bisa juga dinafikan bahwa sebagian dari mereka menggunakan produk-produk Barat untuk menjalankan aksinya, seperti handphone, internet dan media sosial.

Ketiga; Kelompok politik, kelompok ini lebih fokus untuk mempengaruhi kebijakan publik, menyuarakan pergantian sistem atau ideologi Negara. Baginya, sistem ideal yang harus diterapkan di negara ini adalah sistem yang didasarkan pada agama (Islam), bukan Pancasila, apalagi demokrasi yang dianggapnya sebagai produk hukum kafir. Atas dasar itu pula, sehingga mereka merasa berhak untuk mengislamkan Negara ini.  

Kalau kita mau jujur, kelompok ini sebenarnya sudah masuk kategori “makar”, karena mereka tidak hanya terang-terangan menolak Pancasila sebagai ideologi Negara, tapi juga berupaya untuk mengantinya dengan ideologi lain (Islam) yang menurutnya lebih ideal.

Oleh karenanya, pembiaran terhadap tumbuhnya sentimen paham keagamaan, tentunya tak hanya akan menjadi petaka sosial, tapi juga menjadi ruang gelap dari kehidupan demokrasi kita. Karena demokrasi tak hanya dilihat dari terpenuhinya hak-hak warga Negara, tapi juga dilihat dari seberapa besar kekuatan Negara melindungi warga dan ideologinya dari kelompok ekstrimisme-intoleran tersebut.

Olehnya itu, terbukaan keran kebebasan pasca reformasi, tentunya tidak serta merta dimaknai sebagai bentuk kemajuan bangsa kita dalam berdemokrasi, karena atas dasar itu pula, sebagian orang atau kelompok bebas melakukan tindakan kekerasan.

Meski secara demokratis, keberadaan kolompok ini bisa diterima, namun atas dasar demokrasi pula, praktik kekerasan yang kerap mereka lakukan tidak bisa dibiarkan, karena hal itu bertentangan dengan konteks kehidupan bangsa kita yang plural dan multikultur. Pada konteks inilah, prinsip demokrasi kebangsaan kita seharusanya berpijak.

Demokrasi tidak hanya dibutuhkan untuk mengayomi kelompok-kelompok minoritas bangsa, tapi juga menjadi sarana untuk mengokohkan kehidupan kebangsaan kita yang plural dan multikultur, sehingga bangsa ini pun bisa menjadi rumah bersama bagi semua kalangan.
Tribun Timur, Jumat 17 April 2015 

0 komentar: