“Mewujudkan Makassar Kota Dunia Yang
Nyaman Untuk Semua". Demikian
bunyi visi Wali Kota Makassar, Bapak Danny Pamanto. Visi tersebut kerap
diungkkapkan dalam setiap acara, baik sebelum maupun setelah terpilih menjadi Walikota
Makassar. Jika visi tersebut dikaitkan dengan realitas kehidupan Kota Makassar
saat ini, maka tentunya sangat kontras dengan kenyataan yang ada. Karena
jangankan kota dunia, sekalas Makassar saja pak Danny tak mampu berbuat apa-apa.
Lihat saja aksi brutal geng motor
yang belakangan semakin massif terjadi di kota ini. Kawanan geng motor ini tidak
hanya melakukan perampokan, penyerangan, tapi
juga kerap melukai dan menghabisi nyawa korbannya. Hal ini bisa menjadi bukti akan ketidak-mampaun Walikota Makassar untuk menciptakan
suasana nyaman bagi warga yang dipimpinnya.
Tak
hanya Danny, fenomena tersebut juga sekaligus menjadi tamparan bagi pihak Kepolisian yang dinilai gagal menciptakan
rasa aman untuk warga Kota Makassar. Sehingga, pada konteks ini, mungkin tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa di
bawah kepemimpinan Danny Pamanto selaku Walikota Makassar dan Kombes
Polisi Ferry Abraham selaku Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar kehidupan kita menjadi tidak aman.
Kezaliman
Pemimpin
Sebagian besar wilayah Kota
Makassar telah menjadi basis operasi geng motor. Hampir setiap malam aksi mereka
nyaris menelan korban. Ironisnya, hal itu tak kunjung mendapat respon dari
pemerintah kota. Sehingga wajar kemudian jika prilaku kawanan geng motor ini
semakin menjadi-jadi.
Keberadaan pemerintah
beserta aparat pun cukup mengecewakan, karena seolah telah membiarkan tindak
kekerasan tersebut. Meski
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kebringasan geng motor ini, dan
bahkan Walikota beserta Kombes Polisi Ferry
Abraham melakukan studi
banding ke Hongkong, untuk belajar mengatasi tindak kriminal geng motor. Namun
sampai saat ini hasilnya pun tak kunjung terealisasi.
Meski demikian, apapun hasil dari studi banding tersebut, mungkin itu tidak terlalu
penting, sebab yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar warga Kota Makassar
merasa nyaman untuk tinggal di kota ini, sebagaimana yang menjadi janji dari
visi Pak Danny di atas.
Demikian
pula, sebagai seorang pemimpin yang paham akan arti sipakatau tentunya tidak akan tega membiarkan rakyatnya menjadi
korban kekerasan. Sebab sikap tersebut bukan hanya sebagai bentuk pembiaran,
tapi juga menjadi bahagian dari bentuk penzaliman seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Alarm
Siri’
Prilaku
brutal geng motor tersebut sejatinya bisa menjadi siri’ bagi pemimpin kota ini, terlebih lagi karena ia telah beraksi
melampaui batas kewajaran. Sehingga membuat sebagian warga di kota ini merasa
terancam, khususnya pada malam hari.
Meski
demikian, hal tersebut sangat disayangkan, karena nampaknya pemerintah kota ini
acuh akan hal itu. Padahal fenomena ini tidak hanya terkait pada visi pembanguna
Kota Makassar ke depannya, tapi juga terkait dengan perlindungan hak-hak dan masa
depan rakyat sebagai warga Negara.
Jika
demikian, lalu dimana arti siri’ yang
kerap didengungkan sebagai pelindungan harkat dan martabat kemanusiaan itu? Siri’ hanya bisa berdiri tegak jika ia
topan oleh ketegasan dan rasa malu seorang pemimpin. Oleh karenanya, jika
seorang pemimpin kehilangan siri’
maka otomatis ia akan kehilangan pacce/passé,
yaitu rasa kepedulian sosial.
Begitu
berartinya nilai siri’ ini, dalam beberapa
pesan orang tua masyarakat Bugis, ia kerap diungkapkan sebagai pesan moral;“Ko de’gaga siri’mu Alliko Siri’, ko degaga
dui’mu’, engrankko siri’, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; Jika engkau tak punya rasa malu, maka
hendaklah engkau membelinya, tapi jika sekiranya engkau tak mampu untuk membeli,
maka hendaklah engkau meminjam rasa malu itu pada orang lain.
Dalam
konteks masyarakat Sulsel, Siri’ merupakan
prasyarat dan sekaligus menjadi cerminan diri seorang pemimpin dalam mengayomi
rakyatnya. Sehingga ia pun kerap dijadikan sebagai alarm, guna membangunkan para pemimpin dari tidur pulasnya, agar
mereka sadar bahwa nyawa rakyatnya sedang terancaman. Olehnya itu, alarm yang tepat untuk konteks Makassar di
tengah gejolak kriminalisasi kehidupan kota yang tak kunjung terselesaikan tersebut
adalah bunyi tema tulisan diatas.
Tribun
Timur, 23 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar