Senin, 23 Februari 2015

Geng Motor, Danny Pamanto Dan Kombes Ferry

Mewujudkan Makassar Kota Dunia Yang Nyaman Untuk Semua". Demikian bunyi visi Wali Kota Makassar, Bapak Danny Pamanto. Visi tersebut kerap diungkkapkan dalam setiap acara, baik sebelum maupun setelah terpilih menjadi Walikota Makassar. Jika visi tersebut dikaitkan dengan realitas kehidupan Kota Makassar saat ini, maka tentunya sangat kontras dengan kenyataan yang ada. Karena jangankan kota dunia, sekalas Makassar saja pak Danny tak mampu berbuat apa-apa. 

Lihat saja aksi brutal geng motor yang belakangan semakin massif terjadi di kota ini. Kawanan geng motor ini tidak hanya melakukan perampokan, penyerangan, tapi juga kerap melukai dan menghabisi nyawa korbannya. Hal ini bisa menjadi bukti akan ketidak-mampaun Walikota Makassar untuk menciptakan suasana nyaman bagi warga yang dipimpinnya.

Tak hanya Danny, fenomena tersebut juga sekaligus menjadi tamparan bagi pihak Kepolisian yang dinilai gagal menciptakan rasa aman untuk warga Kota Makassar. Sehingga, pada konteks ini, mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di bawah kepemimpinan Danny Pamanto selaku Walikota Makassar dan Kombes Polisi Ferry Abraham  selaku Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar kehidupan kita menjadi tidak aman.

Kezaliman Pemimpin
Sebagian besar wilayah Kota Makassar telah menjadi basis operasi geng motor. Hampir setiap malam aksi mereka nyaris menelan korban. Ironisnya, hal itu tak kunjung mendapat respon dari pemerintah kota. Sehingga wajar kemudian jika prilaku kawanan geng motor ini semakin menjadi-jadi.

Keberadaan pemerintah beserta aparat pun cukup mengecewakan, karena seolah telah membiarkan tindak kekerasan tersebut. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kebringasan geng motor ini, dan bahkan Walikota beserta Kombes Polisi Ferry Abraham melakukan studi banding ke Hongkong, untuk belajar mengatasi tindak kriminal geng motor. Namun sampai saat ini hasilnya pun tak kunjung terealisasi.

Meski demikian, apapun hasil dari studi banding tersebut, mungkin itu tidak terlalu penting, sebab yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar warga Kota Makassar merasa nyaman untuk tinggal di kota ini, sebagaimana yang menjadi janji dari visi Pak Danny di atas.

Demikian pula, sebagai seorang pemimpin yang paham akan arti sipakatau tentunya tidak akan tega membiarkan rakyatnya menjadi korban kekerasan. Sebab sikap tersebut bukan hanya sebagai bentuk pembiaran, tapi juga menjadi bahagian dari bentuk penzaliman seorang pemimpin terhadap rakyatnya.

Alarm Siri’
Prilaku brutal geng motor tersebut sejatinya bisa menjadi siri’ bagi pemimpin kota ini, terlebih lagi karena ia telah beraksi melampaui batas kewajaran. Sehingga membuat sebagian warga di kota ini merasa terancam, khususnya pada malam hari.

Meski demikian, hal tersebut sangat disayangkan, karena nampaknya pemerintah kota ini acuh akan hal itu. Padahal fenomena ini tidak hanya terkait pada visi pembanguna Kota Makassar ke depannya, tapi juga terkait dengan perlindungan hak-hak dan masa depan rakyat sebagai warga Negara.

Jika demikian, lalu dimana arti siri’ yang kerap didengungkan sebagai pelindungan harkat dan martabat kemanusiaan itu? Siri’ hanya bisa berdiri tegak jika ia topan oleh ketegasan dan rasa malu seorang pemimpin. Oleh karenanya, jika seorang pemimpin kehilangan siri’ maka otomatis ia akan kehilangan pacce/passé, yaitu rasa kepedulian sosial.

Begitu berartinya nilai siri’ ini, dalam beberapa pesan orang tua masyarakat Bugis, ia kerap diungkapkan sebagai pesan moral;“Ko de’gaga siri’mu Alliko Siri’, ko degaga dui’mu’, engrankko siri’, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; Jika engkau tak punya rasa malu, maka hendaklah engkau membelinya, tapi jika sekiranya engkau tak mampu untuk membeli, maka hendaklah engkau meminjam rasa malu itu pada orang lain.  

Dalam konteks masyarakat Sulsel, Siri’ merupakan prasyarat dan sekaligus menjadi cerminan diri seorang pemimpin dalam mengayomi rakyatnya. Sehingga ia pun kerap dijadikan sebagai alarm, guna membangunkan para pemimpin dari tidur pulasnya, agar mereka sadar bahwa nyawa rakyatnya sedang terancaman. Olehnya itu, alarm yang tepat untuk konteks Makassar di tengah gejolak kriminalisasi kehidupan kota yang tak kunjung terselesaikan tersebut adalah bunyi tema tulisan diatas.

Tribun Timur, 23 Februari 2015

0 komentar: