Ditengah laju perkembangan modernisasi zaman dan
semakin menguatnya paham modernisme dan fundamentalisasi agama menerkam ruang
publik kita, tak hanya menjadi penanda dari kemajuan sebuah zaman, tapi juga
menjadi ancaman terhadap keberadaan etnis lokal beserta identitasnya. Sungguh
ini menjadi sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan, karena jangankan untuk mewariskan
dan memahamkan kearifan lokal ke generasi kita di masa mendatang, eksistensinya
pun nampaknya kian hari makin tergerus.
Tak hanya itu, bahasa lokal pun perlahan
mengalami kepunahan akibat dominannya generasi kita mengunakan bahasa nasional
(Indonesia) dan asing dalam interaksi sosialnya. Meski kedua bahasa itu sangat
penting di era sekarang, tapi bukan berarti kita harus melupakan bahasa ibu
kita. Sebab jika hal itu yang terjadi, tentunya kita tidak hanya kehilangan
identitas, tapi juga akan kehilangan krakter sebagai warga negara dan manusia
yang lahir dan dibentuk oleh tatanan nilai-nilai lokal kita.
Bahasa lokal (daerah) ini menjadi sesuatu
yang penting, sebab untuk memahami kearifan lokal, bahasa suku (lokal) tentulah
menjadi salah satu sarana, tanpa penguasaan terhadap bahasa lokal tersebut, mustahil
kita akan mampu memahami secara utuh kearifan yang tersimpan dalam rahim kebudayaan
kita. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada komunitas lokal
bernama Dakka. Etnis yang secara kuantitas sangat kecil, dan tidak hanya minim
dibicarakan, tapi juga minim perhatian, termasuk dari kalangan generasinya sendiri.
Olehnya itu, karena etnis ini sangat jarang
dibicarakan, maka sebagai generasi yang lahir dari rahim bologis dan kultur Dakka,
maka sepatutnya untuk kembali membicarakan keberadaan komunitas ini.
Apalagi di era sekarang, wacana
kebudayaan dan pergulatan identitas semakin massif terjadi. Dominasi budaya
global menjadi wacana yang cukup kencang dalam mendominasi dunia. Apabila kita
tidak mampu merebut dan menciptakan ruang, etnis beserta kearifan lokal kita
akan selamanya dibicarakan dan tidak akan pernah membicarakan dirinya sendiri.
Selain itu, Identitas lokal kita beserta
kearifannya akan terpingirkan oleh dominasi kekuatan baru itu, apalagi nalar
modernisasi yang dihembuskan oleh globalisasi, telah berhasil menghegemoni dan
mengkontruk cara berpikir sebagian kalangan muda bangsa ini. Jika generasi muda
kita saat ini kehilangan indentitas, lalu seperti apa masa depan generasi kita
di masa yang akan datang?
Pertanyaan tersebut tentunya tidak hanya
membutuhkan jawaban, tapi juga sikap dan prilaku. Apalagi selama ini, secara
popularitas kita masih kurang mendapat “ruang” untuk mengorbit diri dan
identitas kita. Hal itu boleh jadi karena kita tidak mampu menciptakan ruang,
atau paling tidak kita terlena dengan kegensian dan keberadaan kita sebagai suatu
komunitas kecil, bernama Dakka.
Padahal kita sebenarnya adalah komunitas
besar, meski secara kuantitas sangat kecil. Kita punya sejarah tersendiri dan
sejarah ini tidak banyak diketahui orang lain, apalagi generasi kita saat ini.
Dan jika sejarah ini sudah hengkang dari nalar pengetahuan kita, maka pada saat
yang sama, komunitas Dakka ini hanya akan tinggal menjadi kenangan bagi kita
dan generasi kita di masa yang akan datang. Dan pada episode inilah, Dakka
hanya akan menjadi cerita tutur (dongeng), yang kerap diceritakan oleh orang
tua, sesaat menjelang tidur pulas kita.
1 komentar:
urain di atas angat mengelitik hati nurani kami sebagai generasi muda dakka, tulisan-tulisan segar seperti ini yang dapat membakar semangat baru generasi dakka kedepan sehingga dapat berbuat yang lebih besar. teruslah bekerja dan berbuat untuk kepentingan orang banyak sebagai ladang kebaikan kita masing-masing menuju kehidupan yang aabadi
Posting Komentar