Berbicara tentang komunitas lokal, tentunya tidak hanya terkait dengan kearifan tradisi dan adat istiadat mereka, tapi juga pada ritual teologis yang mereka yakini yang kemudian dikenal dengan istilah agama lokal. Sistem kepercayaan yang secara ritual berbeda dengan agama mainstream yang diakui oleh Negara.
Meski keberadaan komunitas lokal beserta kayakinan teologisnya sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk, namun eksistensi mereka kerap diabaikan dan tidak jarang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut dapat dilihat pada minimnya perhatian pemerintah terhadap kehidupan mereka, baik dari segi pelayanan hak-hak sosial maupun dalam hal administrasi kenegaraan.
Selain itu, negara juga kerap meminggirkan mereka dari ruang publik dan membiarkan wacana miring berkembang dalam mengstigma kehidupannya. Istilah sesat, musyrik, kolot dan kafir sudah lazim mereka dengar. Mereka pun hanya bisa pasrah menghadapi semua stigma yang dialamatkan kepadanya.
Dalam konteks lain, mereka tidak hanya terpinggirkan secara kultur dan struktur, tapi juga kadang mendapat perlakuan kasar dari orang-orang atau kelompok tertentu. Celakanya, Negara terkadang ikut serta di dalamnya. Sehingga membuat kehidupan mereka semakin terpinggirkan dan seolah hidup tanpa Negara.
Gurita Kekuasaan
Kerasnya dominasi kekuasaan dalam mengeksklusi kelompok minoritas lokal ini menjadi catatan buruk bagi bangsa yang ditakdirkan hidup dalam kenekaragaman. Hal tersebut tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kepentingan politik-kekuasaan yang telah dimapankan oleh Orde Baru.
Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah menyisakan duka dan peristiwa kelam bagi penganut agama lokal. Mereka kerap diintimidasi, dipaksa dan bahkan jarang dicap sebagai Komunis. Dalam konteks kekuasaan otoriter ala Orde Baru ini, realitas keanekaragaman tersebut tidak dilihat sebagai sebuah kekayaan bangsa yang harus dirayakan dan diakomodasi, melainkan dilihat sebagai sebuah ancaman dan tantangan.
Sehingga keanekaragaman tersebut pun perlu untuk dikontrol dan disiplikan. Pendisiplinan ini dilakukan dengan cara sistematis dan refresif. Penganut agama lokal dipaksa untuk menanggalkan keyakinannya dan disuruh untuk memilih salah satu dari lima agama yang dinyatakan resmi oleh pemerintah saat itu.
Jika imbaun tersebut diabaikan, maka ia tidak hanya dieksklusi secara sosial, tapi juga akan diintimidasi lewat gerakan militer dan pembuatan regulasi yang tentunya tidak menguntukan kehidupan mereka. Kekerasan yang dikemas dalam bentuk sistem ini, berlangsung cukup lama dan kerap berulang.
Beberapa diatara mereka tidak jarang mengalami trauma akibat penyiksaan dan mengetahui keluarga mereka menderita kesulitan ekonomi. Demikian pula, kekuasaan refresif ini tidak hanya membuat mereka tercerabut dari identitas lokalnya, tapi juga membuat mereka tidak bisa hidup bebas (merdeka) di negaranya sendiri. Karena jangankan menjadi tuan bagi negerinya, untuk diri dan kelompoknya saja mereka harus berjuang mati-matian.
Pemenuhan Hak
Seiring dengan semakin berkembangan wacana hak-hak kaum minoritas, wacana tentang komunitas lokal beserta keyakinannya pun belakangan mulai mencuat. Wacana tersebut tidak hanya boming di Negara ini, tapi juga telah menjadi isu dunia, dimana hak-hak setiap warga negera harus dipenuhi dan tidak boleh didiskriminasi hanya karena persoalan keyakinan.
Terkait hal tersebut, Program peduli tahap II yang akan dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), dimana program sasarannya adalah komunitas lokal untuk memulihkan hak-hak sosial mereka, ini demi terciptanya kehidupan warga negara yang setara.
Demikian pula, praktik kekuasaan yang tidak akomodatif serta nalar dan wacana kuasa yang selama ini dominan mengstigma kehidupan mereka, juga menjadi inti dari orientasi program tersebut untuk segera dipulihkan dan diselesaikan.
Pemulihan ini tidak hanya membantu setiap individu dan komunitas dan agama lokal untuk mengatasi kebutuhan hidup mereka, tapi juga terkait dengan pemulihan harkat dan martabatnya sebagai manusia untuk setera dengan manusia lainnya.
Oleh kerenanya, era sekarang bukan saja menjadi era dimana kaum minoritas lokal tersebut diwacakankan secara sosial, tapi juga menjadi era dimana mereka dapat mengakses hak-haknya sebagai warga Negara, khususnya dalam hal pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar