Nama Dr. Rosnida Sari tiba-tiba saja menjadi
objek pemberitaan di berbagai media sosial. Pemberitaan tersebut mecuat setelah
ia dan mahasiswanya di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh melakukan kunjungan ke salah
satu Gereja. Maksud dari kunjungan ini, selain untuk merekatkan hubungan
persaudaraan atar umat beragama (kristiani dan Islam) di daerah Banda Aceh,
juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang isu
gender dalam pandangan agama Kristen.
Meski Rosnida disambut baik oleh pemuka agama (Pendeta)
setempat, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat dan instansi Perguruan
Tinggi dimana Rosnida tinggal dan mengajar. Justru perbuatan Rosnida tersebut
dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam di bumi Serambi Mekah. Akibatnya,
Rosnida beserta keluarganya pun mendapat ancaman dan intimidasi dari pihak
Kampus dan masyarakat setempat.
Gerakan yang dilakukan oleh Rosnida ini memang
sangat relevan dengan konteks kehidupan bangsa kita yang plural, di mana
perbedaan agama kerap kali terusik dengan hadirnya persangka negatif dari kelompok-kelompok
intoleran. Olehnya karenanya, demi merajut kedamaian di tengah perbedaan
itulah, Rosnida berkeinginan untuk memutus dan sekaligus menghilangkan
persangka negatif di masing-masing kelompok agama yang berbeda melalui dialog
dan silaturrahmi.
Meski demikian, gerakan tersebut juga patu untuk
menjadi bahan evaluasi bersama, khususnya bagi penggiat gerakan toleransi di
negeri ini, sebab tidak jarang gerakan yang kita lakukan dianggap meresahkan
karena terlalu radikal, atau dalam artian diterapakan di tegah kehidupan sosial
masyarakat yang masih tabuh akan prilku silaturrahmi antar umat beragama,
apalagi melalui rumah ibadah.
Olehnya itu, selain penting membangun kesadaran umat beragama untuk hidup
toleran, yang terpenting juga untuk diperhatikan adalah penerapan gerakan
toleransi di tegah kehidupan umat beragama, khususnya bagi mereka yang masih
terasing dengan keberadaan umat minoritas. Sebab jika tidak demikian, maka sama
hal kita menceburkan diri kita dalam hujatan ketidak pahaman warga akan gerakan
kita.
Demikian pula, kalau hanya sekedar ingin membangun hubungan harmonis antar umat bergama, tidak mesti
dilakukan dengan cara mengunjungi rumah ibadah, dimana sebagian masyarakatnya
kita merasa terusik dengan prilaku tersebut, banyak alternatif yang bisa bisa
digunakan, bisa lewat warung kopi, kunjungan rumah, café, kantor NGO, atau
gedung-gedung pemerintah. Dengan model gerakan seperti ini, tentunya resistensi
masyarakat tidak akan sampai pada hal-hal yang anarkis, seperti ancaman
pembunuhan dan pemutusan karir, sebagaimana yang dialami oleh Rosnida.
Terlepas dari segala kelebihan dan kurangannya,
kita patut untuk mengapresiasi gerakan Rosnida tersebut, karena selain sebagai
bentuk keprihatinan akan minimya budaya toleransi di bangsa ini, Rosnida juga
berkeinginan untuk berbagi pengalaman hidup akan pentingnya kedewasaan dalam
melihat dan memahami sebuah perbedaan.
0 komentar:
Posting Komentar