Rabu, 14 Januari 2015

Toleransi



Nama Dr. Rosnida Sari tiba-tiba saja menjadi objek pemberitaan di berbagai media sosial. Pemberitaan tersebut mecuat setelah ia dan mahasiswanya di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh melakukan kunjungan ke salah satu Gereja. Maksud dari kunjungan ini, selain untuk merekatkan hubungan persaudaraan atar umat beragama (kristiani dan Islam) di daerah Banda Aceh, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang isu gender dalam pandangan agama Kristen.

Meski Rosnida disambut baik oleh pemuka agama (Pendeta) setempat, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat dan instansi Perguruan Tinggi dimana Rosnida tinggal dan mengajar. Justru perbuatan Rosnida tersebut dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap Islam di bumi Serambi Mekah. Akibatnya, Rosnida beserta keluarganya pun mendapat ancaman dan intimidasi dari pihak Kampus dan masyarakat setempat.

Gerakan yang dilakukan oleh Rosnida ini memang sangat relevan dengan konteks kehidupan bangsa kita yang plural, di mana perbedaan agama kerap kali terusik dengan hadirnya persangka negatif dari kelompok-kelompok intoleran. Olehnya karenanya, demi merajut kedamaian di tengah perbedaan itulah, Rosnida berkeinginan untuk memutus dan sekaligus menghilangkan persangka negatif di masing-masing kelompok agama yang berbeda melalui dialog dan silaturrahmi. 

Meski demikian, gerakan tersebut juga patu untuk menjadi bahan evaluasi bersama, khususnya bagi penggiat gerakan toleransi di negeri ini, sebab tidak jarang gerakan yang kita lakukan dianggap meresahkan karena terlalu radikal, atau dalam artian diterapakan di tegah kehidupan sosial masyarakat yang masih tabuh akan prilku silaturrahmi antar umat beragama, apalagi melalui rumah ibadah.

Olehnya itu, selain penting  membangun kesadaran umat beragama untuk hidup toleran, yang terpenting juga untuk diperhatikan adalah penerapan gerakan toleransi di tegah kehidupan umat beragama, khususnya bagi mereka yang masih terasing dengan keberadaan umat minoritas. Sebab jika tidak demikian, maka sama hal kita menceburkan diri kita dalam hujatan ketidak pahaman warga akan gerakan kita. 

Demikian pula, kalau hanya sekedar ingin membangun hubungan harmonis antar umat bergama, tidak mesti dilakukan dengan cara mengunjungi rumah ibadah, dimana sebagian masyarakatnya kita merasa terusik dengan prilaku tersebut, banyak alternatif yang bisa bisa digunakan, bisa lewat warung kopi, kunjungan rumah, cafĂ©, kantor NGO, atau gedung-gedung pemerintah. Dengan model gerakan seperti ini, tentunya resistensi masyarakat tidak akan sampai pada hal-hal yang anarkis, seperti ancaman pembunuhan dan pemutusan karir, sebagaimana yang dialami oleh Rosnida. 

Terlepas dari segala kelebihan dan kurangannya, kita patut untuk mengapresiasi gerakan Rosnida tersebut, karena selain sebagai bentuk keprihatinan akan minimya budaya toleransi di bangsa ini, Rosnida juga berkeinginan untuk berbagi pengalaman hidup akan pentingnya kedewasaan dalam melihat dan memahami sebuah perbedaan.

0 komentar: