(Catatanuntuk Mengenang 5 TahunKepergian Gus
Dur)
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), oleh
sebagaian kalangan dikenal sebagaimanusia yang luarbiasa.Bukan hanya karena ketokohannya sebagai Kyai Nahdlatul
Ulama (NU) yang penuh kontroversi, tetapi jugadi kenal sebagai seorang politisi,
budayawan, seniman, aktivis sosialyang kritis dan intelektual yang mendunia.
Kehidupan
kesehariannya pun terbilang cukup sederhana. Ia tidak meninggalkan harta di dunia perbankan, sebagaimana
yang lazim dilakukan oleh sebagian orang-orang yang pernah berkuasa, karena hal itu memang bukan menjadi
cita-cita perjuangannya. GusDur
hanya meninggalakan keluarga, sahabat, murid-murid yang setia, gagasan dan pemikiran
yang darinya kitadapat menimbah ilmu dan bertanya tentang kiprah perjuangan Gus
Dur semasa hidupnya.
Oleh
karenanya, untuk merawat gagasan dan melanjutkan perjuangan Gus Dur ini, dibentuklah
satu komunitas bernama Jaringan Gusdurian (JGD). Komunitas ini di bawah garis Koordinasi
Alissa Wahid (putrid sulung Gus Dur) dan tersebar diberbagai wilayah
(Kabupaten/Kota) di bangsa ini. Ciri fundamental JGD ini, tidak terlibat politik
praktis, melainkan komitmen pada gerakan kultural. Kalaupun harus berpolitik,
maka politik yang diusung oleh JGD adalah politik kebangsaan dan kerakyatan, atau
yang lebih dikenal dengan istilah politik tanpa panggung.
Selain
itu, JGD bukanlah sebuah label yang hadi untuk mengantikan identitas kita,
melainkan ia adalah semangat perjuangan, kebersamaan dan persaudaraan yang kosmopolit,
tidak mempermasalahkan warna dan latar belakang manusia. Kelompok ini tidak hanya
bertugas untuk merawat pemikiran Gus Dur, melainkan juga bertugas untuk melanjutkan
perjuangannya.
Hal
tersebut dianggap penting, karena ternyata Gus Dur banyak meningalkan ide-ide
cemerlang. Salah satunya adalah gagasan tentang kelautan. Gagasan ini juga sekaligus
menjadi refleksi kebangsaan kita, karena setelah sekian tahun kita berbangsa dan
bernegara, kita hanya memperkuat daratan dan menafikan laut sebagai bahagian dari
alam bang sakita.
Fenomenater
sebut tentunya sangat terkait juga dengan konstruksi pengetahuan kita selama ini
yang banyak didominasi oleh nalar daratan dan menafikan ilaut sebagai penghubung kepulauan (daratan).
Apalagi dalam kenyataannya, bangsa kita tidak dipisahkan oleh laut, melainkan dihubungkan
oleh laut. Dan atas dasar itu pula sehingga Gus Dur disebut sebagai bapak kelautan.
Gagasan Kebangsaan
Gagasan
kebangsaan Gus Dur tidaklah lahir dari ruang hampa, melainkan lahir dari realitas
kehidupan bangsa Indonesia yang plural dan multikultur. Hal tersebut juga diakui
oleh mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat menyampaikan
sambutannya di acara haul Gus Dur yang ke 4, di TebuIreng, Jombang.
Dalam
sambutannya, SBY mengatakan bahwa ada 5 hal yang menjadi gagasan besar Gus Dur dan
masih sangat relevan dengan konteks kehidupan bangsaan kita saat ini, yaitu; Pertama; pentingnya membangun kesadaran masyarakat
majemuk untuk hidup rukun sebagai upaya untuk menghin dari perpecahan bangsa. Bagi
Gus Dur, kerukunan menjadi fundamen dasar keutuhan bangsa, sebab ruh bangsa ini
terletak pada keanekaragamannya. Sehingga dibutuhkan kearifan, kesadaran dan kedewasaan
untuk mengelolahnya.
Kedua; melawan
diskriminasi, baik atas nama agama, budaya dan etnis. Pada kontek sini,
perjuangan Gus Dur tidak jarang disalah pahami, khususnya ketika Gus Dur membela
orang-orang yang teraniaya yang kebetulan berbeda keyakinan dengannya. Padahal dalam
kenyataannya, Gus Dur tidak pernah membela paham, apalagi keyakinan yang
berbeda dengan keyakinannya, melainkan membela kemanusiaan, ini demi terciptanya
kehidupan masyarakat Indonesia yang setara, jauh dari prilaku diskriminasi.
Ketiga; Peran
Negara harus diikurangi, karena rakyatlah yang sejatinya harus banyak berperan untuk
kemajuan bangsa dan negaranya. Atas dasar itulah sehingga Gus Dur dikenal sebagai
orang yang anti otoritarianisme, yang notabene
sampai hari ini masih membayangi kehidupan bangsa kita. Gagasan Gus Dur ini
cukup maju karena tidak hanya bermuara pada terciptanya keseimbangan sosial,
melaikan juga telah melampui batas zamannya sendiri.
Empat;
Negara tidak berhak mengontrol pemikiran rakyatnya. Hal ini dibuktikan saat Gus
Dur menjadi Presiden, ia membuka lebar kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi
(pres) sebagai syarat terciptanya kematangan berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Kelima; Dukungan
sipil l dan militer harus seimbang. Untuk mengimbangi kekuatan militer dan birokrasi
sebagai sayap Negara di masa pemerintahan Soeharto, Gus Dur dengan dukungan NU
dan Forum Demokrasi yang dipimpinya tampil menjadi sayap masyarakat sipil, ini
demi untuk menciptakan relasi yang seimbang antara sipil dan militer serta mendorong
kedua kelompok tersebut agar bisa memahami posisi masing-masing.
Oleh
karenanya, di lima tahun kepergian Gus Dur ini, kelima gagasan kebangsaan tersebut
di atas penting untuk direfleksikan kembali sebagai wahana untuk menciptakan tatanan
kehidupan bangsa yang humanis, demokratisdanberkeadilan, sebagaimana yang
menjadikomitmendancita-citaperjuangan Gus Dur semasa hidupnya.
Opini Tribun Timur, 27 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar