Selasa, 13 Januari 2015

Dakka; Komunitas Kecil yang Terlupakan (Sebuah Narasi Yang Tidak Utuh)



Tak banyak yang tahu, bahwa selain etnis Mandar, Bugis, Jawa, Pannei dan Pattae yang menjadi penghuni setia Kabupaten Polewali Mandar (Polman), juga terdapat satu komunitas (baca; Etnis) kecil bernama Dakka. Keberadaan etnis ini memang tidak terlalu dikenal oleh banyak orang, sebab selain jumlah warganya sedikit, komunitas ini juga tidak memiliki tradisi tulis seperti Lontora,  yang menjadi salah satu penanda keberadaan suatu etnis.


Berdasarkan informasi lisan dari tokoh masyarakat setempat, Dakka berarti air laut yang surut kepantai. Keberadaan fosil kerang dan gundukan pasir laut yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun di puncak Gunung Dakka (Buttu Dakka) yang sampai hari ini masih bisa ditemukan. oleh masyarakat setempat diyakini sebagai salah satu bukti kuat bahwa dulunya wilayah tersebut adalah genangan air laut. 

Selain itu, Dakka tidak hanya menjadi nama sebuah suku, tapi juga dilekatakan menjadi nama sebuah desa, tempat dimana masyarakat Dakka bermukim. Secara administratif, Desa Dakka merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tapango. Hamparan sawah yang membentang begitu luas menjadi ciri khas kehidupan sosial masyarakatnya yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

Selain kehidupan agraris tersebut, etnis Dakka juga dikenal sebagai etnis yang cukup terbuka terhadap pendatang. Mereka memperlakukan pendatang sebagaimana laiknya sebagai saudara, mereka berbaur satu sama lain dan saling tolong menolong. Atas dasar itulah, Dakka kemudian dikenal sebagai wilayah multikultur untuk skala pedesaan di Polman. 

Identitas Bahasa
Sebagai komunitas, Etnis ini punya sejarah dan identitas tersendiri yang membedakan dirinya dengan etnis yang lain. Bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa Dakka. Sebuah bahasa yang cukup unik dan tidak umum digunakan di wilayah Polman. Krakter kebahasaan inilah yang membedakannya dengan etnis lain, seperti bahasa mandar, yang hampir bisa ditemukan diberbagai wilayah di Polman dengan dialek yang berbeda-beda. 

Olehnya itu, tidak sulit untuk mengetahui bahasa Dakka, sebab dialek bahasanya tidak beragam, berbeda dengan bahasa mandar, Pannei, Bugis dan Toraja yang notabene menjadi alat komunikasi masyarakat Polman pada umumnya. Jika demikian, lalu kenapa Komunitas ini tidak terlalu dikenal? boleh jadi karena komunitas ini dianggap minoritas dan secara geografis hanya mempunyai wilayah kecil (desa), sehingga tidak menarik untuk dipublikasikan. 

Selain itu, meskipun etnis Dakka adalah salah satu penduduk asli Polman, nampaknya keberadaannya tidak pernah dianggap ada, ditambah oleh sebagian generasinya yang tidak terlalu peduli akan keberadaan daerahnya sendiri, serta praktik mendidik generasi (anak-anak usia dini) dalam rumah tangga mereka mengunakan berbahasa Indonesia, bukan dengan bahasa sukunya. Sehingga wajar kemudian jika muncul keprihatinan akan masa depan etnis ini. Sebab tidak menutup kemungkinan generasi berikutnya yang lahir dan besar di wilayah tersebut, merasa terasing dengan identitas dan kebudayaanya sebagai orang dakka. 

Tradisi Kebudayaan
Meski tidak ada literatur yang mengambarkan keberadaan etnis ini secara kultural, tapi paling tidak mereka juga mempuyai tradisi dan filosofi Hidup tersendiri. Salah satunya adalah keteguhan untuk senantiasa menjaga kejujuran sebagaimana yang menjadi semboyannya “Dotai Jappo Narari Kaboro-boro”, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; lebih baik hancur berkalang tanah, dari pada hidup dengan penuh kebohonan. 

Selain itu, dalam hal tradisi, praktik ritual, seperti berdoa (ma’baca) dipinggir kali (lembang) di kaki gunung Buttu Dakka sebagai simbol pengahargaan terhadap alam dan sekitarnya, juga kerap kali dilakukan. Upacara ritual yang merupakan tradisi kepecayaan nenek moyang mereka diupayakan tetap terjaga, karena didalamnya terdapat ritual tolak bala, yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan keseharian mereka, seperti kesehatan dan kesuburan tanah warga yang mendiami desa Dakka agar bisa menghasilkan panen yang melimpah.   

Meski demikian, seiring dengan masifnya kemajuan zaman yang berbarengan dengan hadirnya paham-paham keagaman moderen (fundamental), menjadikan tradisi masyarakat Dakka berada diambang kepunahan. Masa lalu Dakka saat ini, tidak lagi gampang untuk ditemukan, sebab tradisi mereka tergilas dengan laju modernisasi kehidupan. Meski masih ada tersisah, tapi itu hanyalah serpihan yang tidak utuh lagi menjadi sebuah tradisi. Sama dengan tidak utuhnya tulisan ini dalam menarasikan Dakka sebagai sebuah kubudayaan yang utuh.

0 komentar: