Kota dalam sejarah perkembangannya tidak
pernah lepas dari berbagai macam kepentingan, mulai dari kepentingan politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Keterlibatan dari berbagai macam kepentingan ini, tentunya
tidak hanya membuat kehidupan Kota semakin hetrogen dan dinamis, melainkan juga
menjadi penyebab terjadinya polarisasi kehidupan dalam bentuk kelompok atau
geng. Pola kehidupan berkelompok inilah yang belakangan banyak mendominasi
ruang publik perkotaan.
Dalam konteks Negara demokrasi, kehadiran
berbagai macam kelompok di ruang publik, tentunya tidaklah menjadi masalah, selama
ia tidak menganggu hak dan kehidupan orang lain. Meski demikian, sangat
disayangkan karena kehidupan berkolompok belakangan ini, tidak hanya tumbuh dan
berkembang secara liar, melainkan juga hadir dan berkembang tidak disertai
dengan kesadaran akan hak-hak orang lain. Sehingga tindakan kriminal, seperti
tawuran antar kelompok, aksi brutal gen motor dan pengrusakan fasilitas umum
menjadi fenomena tragis dalam dinamika kehidupan perkotaan kita belakangan ini,
dan akhirnya suasana Kota pun semakin menakutkan.
Dengan kondisi kehidupan Kota seperti
ini, tentunya secara pisikologis, akan berefek pada ketidaknyamanan kehidupan penghuninya,
khususnya bagi mereka yang kesehariannya beraktivitas di ruang publik. Suasana
kehidupan Kota yang mencekam dan menakutkan ini, lambat laun akan menjadi citra
buruk, dan kelak bisa saja menjadi “identitas baru” bagi sebuah Kota.
Kota
Makassar
Dalam konteks itulah, Kota Makassar sangat
layak menjadi sorotan. Kota dimana prilaku kriminalitas seolah tiada hentinya
terjadi. Di Kota ini, selain pembunuhan, tawuran dan penjambretan, aksi
perampokan yang dilakukan oleh kawanan geng motor juga marak terjadi. Aksi
perampokan yang menyasar minimarket seperti Indomaret dan Alfamart ini, tidak hanya
dengan ancaman senjata tajam, berupa parang, badik dan busur, melainkan juga mereka
tidak segan untuk melukai dan membunuh, jika pihak yang dirampok melakukan
perlawanan.
Meski berbagai upaya telah dilakukan
oleh pemerintah Kota dan pihak keamanan untuk menyelesaikan persoalan yang
meresahkan warga ini, namun hasilnya tetap nihil, sebab ulah mereka kerap kali terulang,
alias tidak pernah merasa jerah. Dan bahkan tidak jarang pihak keamanan merasa kecolongan
akan aksi brutal mereka.
Atas insiden tersebut, citra Kota
Makassar sebagai Kota moderen yang menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal,
seperti sipakatau, sipakalaqbi dan
sipakainga ikut tercoreng oleh ulah kawanan geng motor. Apalagi kasus ini,
tidak hanya menjadi perbincangan warga Kota Makassar, melainkan telah melebar, dan
bahkan menjadi keprihatinan orang-orang di luar Makassar.
Keprihatinan tersebut tentunya sangat
wajar, karena laku kriminalitas yang terjadi di Kota ini sudah diambang batas kewajaran,
karena efeknya tidak hanya pada kerugian material semata, melainkan juga,
terkadang mengakibatkan terjadinya korban jiwa. Pada konteks ini, slogan Kota Makassar
menuju Kota dunia yang berlandaskan kearifan lokal, nampaknya hanya sekedar
menjadi mimpi, di tengah kehidupan kota yang mencekam.
Orientasi Pembangunan
Maraknya prilaku kriminalitas yang
terjadi di Kota Makassar belakangan ini, boleh jadi disebabkan karena orientasi
pembagunan lebih diutamakan pada aspek fisik, dan melupakan aspek pembangunan manusianya.
Paulus Hariyanto (2007: 89), dalam bukunya yang berjudul Sosilogi Kota Untuk
Arsitek menyatakan bahwa; Kota tidak hanya dilihat dari aspek pembangunan infrastrukturnya
yang serba moderen, melainkan juga, perlu untuk memperhatikan pembangunan
manusia atau masyarakatnya sebagai pemilik sah sebuah Kota.
Lebih lanjut, Paulus Hariyanto
mengatakan bahwa Kota memiliki aspek kebudayaan dan masyarakat. Kedua aspek
inilah yang menjadi jiwa dan krakter sebuah Kota, sementara aspek fisik menjadi
raganya. Oleh karenanya, pria kelahiran Samarinda ini menegaskan, bahwa membagun
Kota pada dasarnya membangun jiwa masyarakatnya. Apabila jiwa masyarakat rapuh,
maka Kota tersebut lambat laun akan
rapuh, seperti Kota Romawi yang dulunya dikenal sebagai Kota moderen dengan
simbol bangunannya yang megah, pelahan mengalami kehancuran karena ketidak-pedulian
pemimpinnya terhadap kedzaliman sosial yang terjadi di masyarakatnya.
Pertanyaannya kemudian, akan kah Kota Makassar
akan kehilangan citra atau mengalami kehancuran karena ulah segelintir orang-orang
kecil bernama geng motor? Tentunya sangat disayangkan jika hal ini yang
terjadi. Oleh karenanya, gagasan kearifan lokal yang dilekatkan sebagai slogan dari
orientasi pembangunan Kota Makassar menuju Kota dunia, sejatinya tidak hanya
sekedar menjadi slogan kebanggaan yang sifatnya elitis, tapi juga harus mampu
ditrasformasikan dalam kehidupan sosial masyarakat kota, guna meminimalisir segala
tindakan kedzaliman yang terjadi.
Dimuat Di Tribun Timur, 31 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar