Kamis, 01 Januari 2015

Makassar Kota Kriminal




Kota dalam sejarah perkembangannya tidak pernah lepas dari berbagai macam kepentingan, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Keterlibatan dari berbagai macam kepentingan ini, tentunya tidak hanya membuat kehidupan Kota semakin hetrogen dan dinamis, melainkan juga menjadi penyebab terjadinya polarisasi kehidupan dalam bentuk kelompok atau geng. Pola kehidupan berkelompok inilah yang belakangan banyak mendominasi ruang publik perkotaan.  

Dalam konteks Negara demokrasi, kehadiran berbagai macam kelompok di ruang publik, tentunya tidaklah menjadi masalah, selama ia tidak menganggu hak dan kehidupan orang lain. Meski demikian, sangat disayangkan karena kehidupan berkolompok belakangan ini, tidak hanya tumbuh dan berkembang secara liar, melainkan juga hadir dan berkembang tidak disertai dengan kesadaran akan hak-hak orang lain. Sehingga tindakan kriminal, seperti tawuran antar kelompok, aksi brutal gen motor dan pengrusakan fasilitas umum menjadi fenomena tragis dalam dinamika kehidupan perkotaan kita belakangan ini, dan akhirnya suasana Kota pun semakin menakutkan. 


Dengan kondisi kehidupan Kota seperti ini, tentunya secara pisikologis, akan berefek pada ketidaknyamanan kehidupan penghuninya, khususnya bagi mereka yang kesehariannya beraktivitas di ruang publik. Suasana kehidupan Kota yang mencekam dan menakutkan ini, lambat laun akan menjadi citra buruk, dan kelak bisa saja menjadi “identitas baru” bagi sebuah Kota. 

Kota Makassar
Dalam konteks itulah, Kota Makassar sangat layak menjadi sorotan. Kota dimana prilaku kriminalitas seolah tiada hentinya terjadi. Di Kota ini, selain pembunuhan, tawuran dan penjambretan, aksi perampokan yang dilakukan oleh kawanan geng motor juga marak terjadi. Aksi perampokan yang menyasar minimarket seperti Indomaret dan Alfamart ini, tidak hanya dengan ancaman senjata tajam, berupa parang, badik dan busur, melainkan juga mereka tidak segan untuk melukai dan membunuh, jika pihak yang dirampok melakukan perlawanan.

Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Kota dan pihak keamanan untuk menyelesaikan persoalan yang meresahkan warga ini, namun hasilnya tetap nihil, sebab ulah mereka kerap kali terulang, alias tidak pernah merasa jerah. Dan bahkan tidak jarang pihak keamanan merasa kecolongan akan aksi brutal mereka. 

Atas insiden tersebut, citra Kota Makassar sebagai Kota moderen yang menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, seperti sipakatau, sipakalaqbi dan sipakainga ikut tercoreng oleh ulah kawanan geng motor. Apalagi kasus ini, tidak hanya menjadi perbincangan warga Kota Makassar, melainkan telah melebar, dan bahkan menjadi keprihatinan orang-orang di luar Makassar. 

Keprihatinan tersebut tentunya sangat wajar, karena laku kriminalitas yang terjadi di Kota ini sudah diambang batas kewajaran, karena efeknya tidak hanya pada kerugian material semata, melainkan juga, terkadang mengakibatkan terjadinya korban jiwa. Pada konteks ini, slogan Kota Makassar menuju Kota dunia yang berlandaskan kearifan lokal, nampaknya hanya sekedar menjadi mimpi, di tengah kehidupan kota yang mencekam.

 Orientasi Pembangunan
Maraknya prilaku kriminalitas yang terjadi di Kota Makassar belakangan ini, boleh jadi disebabkan karena orientasi pembagunan lebih diutamakan pada aspek fisik, dan melupakan aspek pembangunan manusianya. Paulus Hariyanto (2007: 89), dalam bukunya yang berjudul Sosilogi Kota Untuk Arsitek menyatakan bahwa; Kota tidak hanya dilihat dari aspek pembangunan infrastrukturnya yang serba moderen, melainkan juga, perlu untuk memperhatikan pembangunan manusia atau masyarakatnya sebagai pemilik sah sebuah Kota. 

Lebih lanjut, Paulus Hariyanto mengatakan bahwa Kota memiliki aspek kebudayaan dan masyarakat. Kedua aspek inilah yang menjadi jiwa dan krakter sebuah Kota, sementara aspek fisik menjadi raganya. Oleh karenanya, pria kelahiran Samarinda ini menegaskan, bahwa membagun Kota pada dasarnya membangun jiwa masyarakatnya. Apabila jiwa masyarakat rapuh, maka Kota tersebut lambat laun  akan rapuh, seperti Kota Romawi yang dulunya dikenal sebagai Kota moderen dengan simbol bangunannya yang megah, pelahan mengalami kehancuran karena ketidak-pedulian pemimpinnya terhadap kedzaliman sosial yang terjadi di masyarakatnya.

Pertanyaannya kemudian, akan kah Kota Makassar akan kehilangan citra atau mengalami kehancuran karena ulah segelintir orang-orang kecil bernama geng motor? Tentunya sangat disayangkan jika hal ini yang terjadi. Oleh karenanya, gagasan kearifan lokal yang dilekatkan sebagai slogan dari orientasi pembangunan Kota Makassar menuju Kota dunia, sejatinya tidak hanya sekedar menjadi slogan kebanggaan yang sifatnya elitis, tapi juga harus mampu ditrasformasikan dalam kehidupan sosial masyarakat kota, guna meminimalisir segala tindakan kedzaliman yang terjadi.   

Dimuat Di Tribun Timur, 31 Desember 2014

0 komentar: