Kamis, 01 Januari 2015

Mengenang Kepergian Gus Dur



Di penghujung akhir tahun, tepatnya, 30 Desember 2009, penghuni bangsa ini dikejutkan dengan berpulangnya salah seorang tokoh kharismatik bangsa. Kepulangannya untuk menghap sang Ilahi semakin memperjelas bahwasanya ia adalah sosok manusia yang luar biasa, dibuktikan dengan ribuan pelayat dan jutaan rakyat Indonesia turut berduka atas kepulangannya.

Dialah KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, sosok manusia yang sulit ditemukan duanya di bangsa ini. Selain dikenal sebagai ulama besar, ia juga di kenal sebagai budayawan, nasionalis sejati dan kritukus cerdas.

Semasa hidupnya, Gus Dur  tidak hanya dikenal sebagai manusia humoris dan penuh dengan kontroversi, namun ia juga dikenal sebagai sosok manusia humanis, tokoh lintas kelompok, agama dan budaya. Persahabatan dan gagasannya mampu melampaui batas zaman, perbedaan agama, ideologi, politik dan strata sosial.

Kecerdasan serta ketulusannya dalam berjuang menjadi perhatian dunia internasiaonal. Sehingga tidak kurang dari 8 Universitas  di dunia memberinya gelar  penghargaan  Doctor Honoris Causa, serta beberapa penghargaan lainnya dari Negara Asing. Hal ini tentunya tidak lepas dari komitmen perjuangan beliau tentang demokrasi, hak-hak kaum minoritas, serta pentingnya untuk membumikan nilai-nilai pluralisme dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pejuang Kemanusiaan
Meski secara kultur dan ideologi, Gus Dur dilahirkan dari rahim Nahdhalatul Ulama (NU), namun bukan berarti Gus Dur adalah milik orang-orang NU, akan tetapi ia adalah milik semua kalangan, khususnya bagi mereka yang terdzolimi. Gus Dur dilahirkan untuk merajut zaman, dan meluruskan cara pandang sebagian umat manusia yang “alergi” terhadap perbedaan, baik dalam bentuk agama, budaya, ideologi maupun sikap dan pilihan politik. 

Di tengah keanekaragaman ini, Gus Dur mampu memposisikan diri sebagai penegah dengan tetap komitmen dan kritis dalam menyuarakan keadilan, khususnya hak-hak keadilan bagi orang-orang yang terdiskriminasi dan terdzalimi, baik yang dilakukan oleh penguasa dengan mengatasnamakan Negara, maupun yang kerap di lakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di bangsa ini.

Gagasan tentang demokrasi, NKRI, serta  pembumian nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat  yang plural dan multikultur,  ia bangun diatas nilai-nilai kemanusiaan dengan penuh ketulusan. Sehingga ia pun di dikenal sebagai pengayom, pelayan dan sekaligus negarawan sejati.

Olehnya itu, tidaklah berlebihan jika dalam sambutannya, mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat upacara pemakaman Gus Dur di Maqarabah Ponpes Tebuireng Jombang menyatakan bahwa “Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme bangsa” (Harian Fajar 1/1/2009).

 Kiprah perjuangan Gus Dur telah menorehkan sejarah besar untuk bangsa ini, dan tentunya akan terus dikenang sepanjang masa dari generasi ke genarasi. Cita-cita perjuangannya untuk mempersatukan semua kalangan dari berbagai latar belakang agama dan etnis yang berbeda-beda adalah wujud dari visi kemanusiaan beliau yang patut diteladani dan dilanjutkan.

Demikian pula dengan sikapnya yang tidak pernah membedah-bedakan kelompok, agama, budaya, ras, dan bahkan politik sekalipun yang di dalamnya sarat dengan pertarungan kepentingan disikapi dengan penuh kedewasaan. Karena baginya, nilai-nilai persaudaraan lebih utama dari pada pertikaian.  
   
Gagasan Ke-Islaman
Kemampuan Gus Dur untuk menerjemahkan nilai-nilai ke-Islaman yang sejalan dengan visi kebangsaan tentunya tidak bisa dilepaskan dari kedalaman pengetahuan beliau terhadap Islam sebagai agama yang terbuka, penuh kasih sayang dan anti kekerasan. Nilai-nilai ini tidak hanya diprioritaskan untuk kalangan umat Islam saja, melainkan segenap alam semesta beserta isinya.

Inilah yang dimaksudkannya sebagai Islam rahmatan lilalamin. Sebuah konsepsi ke-Islaman yang dipraktikkan oleh Gus Dur  dalam kesehariannya.  Karena bagi Gus Dur, Islam harus  hadir  sebagai agama yang sejuk dan menyejukkan untuk semua kalangan umat manusia. Sehingga atas dasar itulah, Gus Dur tidak sepakat dengan kelompok-kelompok garis keras yang kerap kali melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.

Pada akhirnya, meski Gus Dur telah menunaikan takdir kesempurnaan hidupnya dengan menghadapkan jiwa dan raganya kepada Sang Pemilik kehidupan. Komiten dan perjuangannya akan terus berlanjut. Jiwa dan raganya boleh tiada, tapi semangat hidup serta cita-cita perjuangannya akan senantiasa berlanjut dan hidup akan senantiasa hidup dalam hati sanubari murid-murid dan para pengagumnya.

0 komentar: