Di penghujung akhir tahun, tepatnya, 30 Desember 2009, penghuni
bangsa ini dikejutkan dengan berpulangnya salah seorang tokoh kharismatik
bangsa. Kepulangannya untuk menghap sang Ilahi semakin memperjelas bahwasanya
ia adalah sosok manusia yang luar biasa, dibuktikan dengan ribuan pelayat dan
jutaan rakyat Indonesia turut berduka atas kepulangannya.
Dialah KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih
dikenal dengan nama Gus Dur, sosok manusia yang sulit ditemukan duanya di
bangsa ini. Selain dikenal sebagai ulama besar, ia juga di kenal sebagai
budayawan, nasionalis sejati dan kritukus cerdas.
Semasa hidupnya, Gus
Dur tidak hanya dikenal sebagai manusia humoris dan penuh dengan
kontroversi, namun ia juga dikenal sebagai sosok manusia humanis, tokoh lintas
kelompok, agama dan budaya. Persahabatan dan gagasannya mampu melampaui batas
zaman, perbedaan agama, ideologi, politik dan strata sosial.
Kecerdasan serta
ketulusannya dalam berjuang menjadi perhatian dunia internasiaonal. Sehingga
tidak kurang dari 8 Universitas di dunia
memberinya gelar penghargaan Doctor Honoris Causa, serta
beberapa penghargaan lainnya dari Negara Asing. Hal ini tentunya tidak lepas
dari komitmen perjuangan beliau tentang demokrasi, hak-hak kaum minoritas,
serta pentingnya untuk membumikan nilai-nilai pluralisme dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pejuang Kemanusiaan
Meski secara kultur dan
ideologi, Gus Dur dilahirkan dari rahim Nahdhalatul Ulama (NU),
namun bukan berarti Gus Dur adalah milik orang-orang NU, akan tetapi ia
adalah milik semua kalangan, khususnya bagi mereka yang terdzolimi. Gus Dur dilahirkan
untuk merajut zaman, dan meluruskan cara pandang sebagian umat manusia yang
“alergi” terhadap perbedaan, baik dalam bentuk agama, budaya, ideologi maupun sikap
dan pilihan politik.
Di tengah
keanekaragaman ini, Gus Dur mampu memposisikan diri sebagai penegah dengan
tetap komitmen dan kritis dalam menyuarakan keadilan, khususnya hak-hak
keadilan bagi orang-orang yang terdiskriminasi dan terdzalimi, baik yang
dilakukan oleh penguasa dengan mengatasnamakan Negara, maupun yang kerap di
lakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di bangsa ini.
Gagasan tentang
demokrasi, NKRI, serta pembumian nilai-nilai toleransi dalam
kehidupan masyarakat yang plural dan
multikultur, ia bangun diatas nilai-nilai
kemanusiaan dengan penuh ketulusan. Sehingga ia pun di dikenal sebagai
pengayom, pelayan dan sekaligus negarawan sejati.
Olehnya itu, tidaklah
berlebihan jika dalam sambutannya, mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
saat upacara pemakaman Gus Dur di Maqarabah Ponpes Tebuireng Jombang menyatakan
bahwa “Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah bapak pluralisme dan
multikulturalisme bangsa” (Harian Fajar 1/1/2009).
Kiprah
perjuangan Gus Dur telah menorehkan sejarah besar untuk bangsa ini, dan
tentunya akan terus dikenang sepanjang masa dari generasi ke genarasi.
Cita-cita perjuangannya untuk mempersatukan semua kalangan dari berbagai latar
belakang agama dan etnis yang berbeda-beda adalah wujud dari visi kemanusiaan
beliau yang patut diteladani dan dilanjutkan.
Demikian pula dengan
sikapnya yang tidak pernah membedah-bedakan kelompok, agama, budaya, ras, dan
bahkan politik sekalipun yang di dalamnya sarat dengan pertarungan kepentingan
disikapi dengan penuh kedewasaan. Karena baginya, nilai-nilai persaudaraan
lebih utama dari pada pertikaian.
Gagasan Ke-Islaman
Kemampuan Gus Dur
untuk menerjemahkan nilai-nilai ke-Islaman yang sejalan dengan visi kebangsaan
tentunya tidak bisa dilepaskan dari kedalaman pengetahuan beliau terhadap Islam
sebagai agama yang terbuka, penuh kasih sayang dan anti kekerasan. Nilai-nilai
ini tidak hanya diprioritaskan untuk kalangan umat Islam saja, melainkan
segenap alam semesta beserta isinya.
Inilah yang
dimaksudkannya sebagai Islam rahmatan lilalamin. Sebuah konsepsi
ke-Islaman yang dipraktikkan oleh Gus Dur
dalam kesehariannya. Karena bagi Gus Dur, Islam harus hadir sebagai
agama yang sejuk dan menyejukkan untuk semua kalangan umat manusia. Sehingga atas
dasar itulah, Gus Dur tidak sepakat dengan kelompok-kelompok garis keras yang
kerap kali melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
Pada akhirnya, meski
Gus Dur telah menunaikan takdir kesempurnaan hidupnya dengan menghadapkan jiwa
dan raganya kepada Sang Pemilik kehidupan. Komiten dan perjuangannya akan terus
berlanjut. Jiwa dan raganya boleh tiada, tapi semangat hidup serta cita-cita
perjuangannya akan senantiasa berlanjut dan hidup akan senantiasa hidup dalam
hati sanubari murid-murid dan para pengagumnya.
0 komentar:
Posting Komentar