Kamis, 04 Desember 2014

Menyoal Eksistensi Agama Lokal

Istilah Agama lokal pertama kali penulis dengar saat mengikuti Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) yang dilaksanakan oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM pada tanggal 11-23 Februari 2013 di Yogyakarta. Dalam SPK ini dasajikan satu materi berjudul Agama Lokal. Materi ini cukup menarik karena mencoba melihat posisi agama lokal ditengah kehadiran agama global, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan belakangan Konghuchu.


 Agama lokal adalah kepercayaan atau keyakinan yang sifatnya lokal, tumbuh dan berkembang di Nusantara jauh sebelum kedatangan agama global. Tradisi keberagamaan mereka bersifat otoritatif dan berlaku secara turun temurun serta tidak universal karena hanya berlaku pada tataran lokalitas dimana mereka berpijak.

Praktik keberagamaan inilah yang belakangan dicap sebagai aliran kepercayaan atau penganut animisme dan lebih dominan dipahami bukan sebagai agama, melainkan sebagai kepercayaan yang tidak punya sandaran teologis-transendental seperti Nabi dan kitab suci.

Otoritas Kuasa Polarisasi antara agama bumi dan agama langit dalam term keberagamaan di bangsa ini semakin memperlebar jurang relasi antar agama, khususnya agama lokal dan global. Sehingga tidak hanya berujung pada menipisnya ruang akomodasi Negara dan masyarakat terhadapnya, melainkan keberadaannya pun sering dipersoalkan.

Selain itu, stigmatisasi negatif dengan sebutan sesat, musyrik, kolot dan kafir, kerapkali mereka alami dari pengunut agama global. Stigma ini tidak hanya mengakibatkan mereka terpingirkan secara struktur dan kultur, melainkan mereka juga tidak bisa menjadi tuan di negerinya sendiri.

 Kemalangan tersebut semakin menjadi saat otoritas kuasa dan pengetahuan dimapankan oleh negara lewat defenisi agama yang disandarkan pada surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang menyatakan bahwa agama yang diakui di negara ini hanya ada 6 agama. Dari sinilah bermula persoalan pengeloaan keberagaman agama di bangsa ini, karena yang sah disebut sebagai keyakinan atau agama adalah apa yang menjadi pengakuan Negara, bukan apa yang lahir dan menjadi keyakinan masyarakat.

 Akibatnnya, posisi agama lokal pun semakin terjepit, bukan hanya kerena penetrasi agama global, melainkan Negara juga ikut memainkan peran didalamnya. Dominasi Negara Meski agama lokal tumbuh dan berkembang jauh sebelum kedatangan agama global, namum tetap saja kepercayaan mereka tidak pernah diakui sebagai agama oleh Negara sampai saat ini.

Sehingga dalam hal tertentu, seperti urusan administrasi kependudukan (KTP) meraka kerap kali dipaksakan untuk mengikuti salah satu dari 6 agama yang telah dinyatakan resmi oleh Negara. Dalam konteks ini, KTP tidak hanya menjadi kartu identitas kewarganegaraan, melainkan juga menjadi bagian dari identitas keagamaan.

Diwajibkannya untuk mencantumkan kolom agama dalam KTP adalah bagian dari bentuk pengesahan Negara terhadap agama yang kemudian berdampak pada tereduksinya hak-hak kewarga-negaraan penganut agama lokal. Salah satu contoh yang bisa lihat adalah masyarakat Tolotang di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, mereka terpaksa mencantumkan agama Hindu dalam kolom agama di KTP mereka dikarenakan format komputer Kecamatan tidak mencantumkan agama Tolotang.

Hal yang sama juga dialami oleh komunitas Parmalim di Sumatera Utara, kolom agama dalam KTP mereka dikosongkan, hanya karena Parmalim tidak diakui sebagai agama resmi oleh Negara. Terkait hal tersebut, menarik apa yang pernah diucapkan oleh Efrial Silalahi (2013), salah seorang peneliti agama lokal Parmalim, ia mengatakan bahwa lebih baik kolom agama dalam KTP diganti saja dengan golongan darah atau nomor Hp/telepon, itu lebih bermaafaat ketimbang mencantungkan agama.

Apalagi dalam beberapa kasus, seringkali identitas agama yang terterah dalam KTP menjadi penyab terjadinya diskriminasi, khususnya bagi mereka yang beragama minoritas saat melamar pekerjaan atau PNS di wilayah yang beragama mayoritas.

Oleh karenanya, Negara tidak boleh terlalu jauh mencampuri urusan keyakinan manusia yang sifatnya privat. Apalagi membuat program tertentu yang bertujuan untuk mengembalikan penganut agama lokal kejalan yang “benar”, lagian Negara juga tidak punya hak untuk menentukan keselamatan seseorang, apalagi menggaransi penganut agama untuk masuk Surga. Tugas Negara adalah melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan sebagai bahagian dari hak asasi manusia.

Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Tribun Timur, Rabu, 22 Januari 2014



0 komentar: