Jumat, 03 Januari 2014

Pandanglah Kami Sebagai Manusia

Sesaat setelah gerimis turun, di sore yang agak mendung itu, seorang lelaki separuh baya bernama Asraf (nama samaran) duduk termenung. Matanya menatap jauh kedepan, menyaksikan mesjid yang tak bisa lagi difungsikan sebagai tempat untuk beribadah.


Masih segar dalam ingatannya saat sekolompok massa berseragam putih dengan mengatasnamakan diri sebagai Front Pembela Islam (FPI), menyerbu markas Ahmadia yang beralamat di jalan Anuang Makassar tersebut. Kejadian ini terjadi pada tanggal 28 Januari 2011 silam.

Mereka menuntut untuk segera menghentikan kegiatan jalasah salana (pertemuan tahunan) yang gelar pada saat itu. Kelompok ini tidak hanya berorasi dengan mengumpat kata-kata kafir dan sesat, tapi juga merusak kran air, merobohkan plang Jamaat yang bertuliskan dua kalimat syahadat dan menyegel rumah ibadah milik Ahmadia. 

Bagi Asraf, hidup sebagai kaum minoritas di Negara yang berasaskan Pancasila seolah hidup tanpa Negara. Ia pun kembali berpikir dan bertanya-tanya, kenapa di bangsa ini kami tidak bisa hidup bebas untuk menjalangkan keyakinan yang sejak kecil kami yakini? Dan kenapa pula kami tidak diperlakukan secara adil oleh Negara? 

Sungguh pertanyaan yang menyimpan sebuah ironis bagi Negeri yang konon menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dan memang sudah lazim terjadi, di bangsa ini hak-hak kaum minoritas kerap kali diabaikan dan tidak jarang diperlakukan kasar oleh sebangsanya sendiri, dianiayah dan bahkan diantara mereka ada yang dibunuh karena dianggap melawan.

Disaat Negara tak mampu melindungi hak-hak mereka, budaya siri yang lahir dari kearifan lokal masyarakatnya pun tak mampu lagi dijadikan sebagai tumpuan harapan hidup. Kearifan tersebut tak mampu menjadi pelindung penderitaannya, mala seolah hanya berkicau ditegah kebisuan yang terlanjur terbakar amarah yang terbiarkan.

Dalam kebisuan lamunannya itu, ia hanya bisa berucap: Wahai Tuhanku, lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini, mereka tak mau kala dengan kaum beragama di negeri lain, demi mendapatkan ridha-Mu, mereka rela mengorbankan saudara-saudari mereka. Untuk merebut tempat terdekat disisi-Mu, mereka relah menyodong dan menikam hamba-hamba-Mu sendiri. 

Demi memperoleh rahmat-Mu, mereka memaafkan kesalahan dan mendiamkan kemungkaran. untuk membuktikan keluhuran budi pekerti mereka, terhadap setan pun mereka tak pernah berburuk sangka,  (Puisi K.H. Mustafa Bisri, 2012). 

Asraf sadar bahwa insiden yang menimpah kelompoknya itu bukan atas dasar takdir Tuhan, melainkan ketidakpahaman mereka terhadap paham yang diyakininya. Linangan air mata disertai dengan rintihan pedih kerap kali ia lantungkan dalam hati. Karena baginya, hanya Tuhanlah yang tahu rintihan hati hambanya, meski tak terucap dengan lantang.

Tuhan, maafkan kami jika harus mengeluh kepada-Mu, kami hanya manusia biasa yang tak kuasa dengan derita akibat ketidak-adilan oleh sebahagian kelompok terhadap kami. 

Tuhan, kepada siapa kami mengadu, jika pada kenyataannya aparat kepolisian bangsa ini hanya bisa membiarkan tindakan anarkis, tanpa ada upaya pencegahan sedikit pun. Dan bahkan diantara mereka ada yang turut serta merusak spanduk-spanduk yang terpajang dalam masjid, serta masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu.

Sungguh ini sebuah tindakan yang tidak bermoral, hingga akal sehat pun tak mampu menerima kenyataan itu. Rumah ibadah yang kami anggap suci dimasuki dengan tanpa melepas sepatu. Tuhan, kami tidak kuasa menahan sedih, dan kami pun hanya bisa mempasrakan diri kepada-Mu, karena Negara yang kami diami ini tidak berpihak kepada kami.

Wahai Tuhan kami yang maha adil dan bijaksana, dengarkanlah rintihan dan keluhan hati  kami ini. Kami tidak berdaya menghadapi tindakan kekerasan kecuali hanya bersikap pasra pada keadaan, kami tak berdaya menghadapi orang-orang yang mengatasnamakan nama-Mu menghancurkan rumah ibadah dan masa depan anak-anak kami.

Kami tidak memperdulikan, penjarahan dompet yang berisi kartu ATM, uang, kartu identitas, HP, dan camera digital serta arsip dan puluhan video kegiatan kami saat evakuasi berlangsung  di lantai dasar tempat ibu-ibu dan anak kami bertahan. Tapi yang kami peduli adalah masa depan anak-anak kami yang trauma akibat insenden tersebut.

Kami juga tidak mempersoalkan kelompok FPI yang beraksi brutal dengan merusak kran air,  merobohkan plang Jamaat kami yang bertuliskan dua kalimat syahadat itu, tapi yang kami pertanyakan kenapa kami tidak bisa kembali beribadah dan beraktifitas di tempat kami, yang telah kami bangun dengan susah payah.  Olehnya itu, kami hanya bisa berharap, suatu saat nanti kami bisa hidup berdampingan secara damai, diperlakukan secara adil dan hak kami dilindungi. 

Seiring perjalanan waktu, tak terasa sudah 2 Tahun  mereka berada ditempat pengunsian, dan sudah 2 Tahun pula ia tidak bisa menempati kantor dan rumah ibadah yang telah meraka bangun dengan susah payah. Sudah 2 Tahun pula pertanyaan anak-anak mereka terulang “Ayah kapan kita bisa pulang kerumah? dan kapan kami bisa bersekolah lagi?” 

Asraf tak kuasa mendegar pertanyaan anak-anaknya itu, ia pun kembali mengatungkan harapannya kepada Tuhan. Dalam hatinya bergumam, jika memangnya mereka tetap mengangap paham yang kami yakini sesat, maka gerakkan lah hati mereka Tuhan untuk memandang kami sebagai manusia yang punya hak untuk berkeyakinan. 

Ditulis di Makassar pada tanggal 30 Januari 2011.



0 komentar: