Kamis, 02 Januari 2014

Filosofi Kemanusiaan Gus Dur “Catatan Untuk Mengenang 4 Tahun Kepergian Gus Dur”


Di penghujung akhir tahun, 30 Desember 2009, bangsa ini dikagetkan dengan kepulangan salah seorang tokoh karismatik bangsa bernama K.H. Abd Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur.

Kepergiannya untuk menghadap Ilahi tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga dan sahabatnya, melainkan juga dunia ikut berduka atas kepulangannya. Kepulangannya pun semakin memperjelas bahwasanya ia adalah sosok manusia yang luar biasa, tidak hanya karena ribuan pelayat dan jutaan rakyat Indonesia berduka atas kepulanganya, melainkan juga karena didoakan oleh beragam agama, kelompok dan aliran.

Sepanjang sejarah bangsa ini, tak ada orang yang kematiannya diantarkan dengan penuh kehormatan dan didoakan oleh beragam agama dalam jumlah yang begitu masif kecuali Gus Dur. Komitmen dan sikap Gus Dur yang senantiasa menghargai manusia dan agama yang melekat pada orang lain dengan penuh rasa cinta serta tidak membeda-bedakannya bisa menjadi salah satu jawaban dari penyataan tersebut.

Mengahargai Manusia
Pentingnya mengahargai manusia bukan hanya karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Melainkan Tuhan juga sangat memuliakan manusia, meski manusia itu terkadang durhaka kepada-Nya. Oleh karenanya, kecintaan kepada Tuhan sejatinya mampu diinplementasikan menjadi sebuah nilai kemanusiaan.

Semboyang tentang cinta dan kasih sayang antara sesama, bagi Gus Dur tidak hanya sekedar menjadi pemanis bibir saja, tapi betul-betul menjadi praktik hidup yang mampu melampui batas wilayah, warna kulit, latar belakang agama, budaya, etnis dan ras. Sehingga ia pun dikenal sebagai tokoh lintas agama dan kelompok.

Menurut  K.H. Husein Muhammad (2012), Gus Dur lebih banyak memberi teladan tentang praktik hidup humanis ketimbang membicarakannya secara teoritis. Dan itu bukan hanya karena dorongan Teologis semata, melainkan juga menjadi sebuah esensi dari Filosofi kehidupannya. Karena jangankan manusia, binatang saja kita dianjurkan untuk berlaku ramah dan sayang kepadanya, apatah lagi manusia sebagai ciptaan-Nya.  

Oleh karena itu, Gus Dur menitipkan pesan bahwa dalam berinteraksi dengan manusia agar senantiasa mengedepankan sikap rendah hati, karena prilaku yang arogan dan melampaui batas akan mengundang kebencian dan pertikaian yang pada akhirnya akan berujung pada pudarnya relasi persaudaraan serta eksistensi kita sebagai mahluk kultural-teologis.

 Kearifan Lokal
Dalam konteks kearifan lokal masyarakat Sulsel dikenal istilah tau, istilah yang sering dipakai untuk menunjukkan manusia sebagai mahluk paripurna, mahluk yang mampu memahami esksistensi dirinya sebagai manusia beradab. Konsep tau ini adalah inplementasi dari makna siri’ (harga diri) sebagai bahagian dari filosofis hidup masayarakat Sulsel pada umumnya.

Olehnya itu, menurut Gus Dur (2010) mereka (masyarakat Sulsel) yang berprofesi sebagai pelaut pada masa lalu, tidak akan merasa cemas dan khawatir jika ia meninggalkan anak isteri mereka selama berbulan-bulan lamanya untuk mencari nafkah, sebab keluarganya akan senantiasa aman karena dilindungi oleh budaya siri’.

Meski demikian, dalam konteks lain, juga dikenal istilah tau-tau yang merupakan kebalikan dari makna tau, yang artinya manusia hanya utuh secara fisik, namun secara sikap dan prilaku tak ubahnya seperti binatang. Inilah manusia yang kehilangan siri’, manusia tidak lagi berposisi layaknya sebagai manusia, melainkan sebagai binatang yang hanya mementikan diri sendiri dan kelompoknya.

Manusia seperti inilah yang kerap kali merusak tatanan kehidupan sosial manusia lainnya, melakukan kekerasan, penindasan dan pembunuhan terhadap sesamanya. Sebuah praktik hidup yang hanya ada pada mahluk yang tidak punya nurani dan akal (binatang). 

Atas dasar itulah sehingga Gus Dur sangat mengapresiasi dan menyarankan untuk banyak mengkaji kearifan lokal, karena ia merupakan bahagian dari tulang punggung etika sosial masyarakat yang kaya akan makna dan nilai kemanusiaan.

Kearifan lokal juga banyak menginspirasi gagasan perdamaian Gus Dur yang dirajut diatas semangat persaudaraan yang tidak tersekat pada perbedaan identitas, ras, agama dan strata sosial, sebab hal tersebut tidak layak dijadikan sebagai tolok ukur, apalagi untuk dibanggakan, karena ia hanyalah taqdir Tuhan dimana manusia tak kuasa untuk menolaknya. 

Paradigma inilah yang oleh Gus dur dijadikan sebagai patokan dalam melihat eksistensi manusia serta mampu memahami bahwasanya persaudaraan tidaklah selamnya lahir atas dasar kesamaan identitas dan ras, melainkan lahir dari ruang perbedaan sebagai karunia Tuhan. 

Opini Tribun Timur, 31 Desember 2013
   

0 komentar: