Di penghujung akhir tahun, 30
Desember 2009, bangsa ini dikagetkan dengan kepulangan salah seorang tokoh karismatik
bangsa bernama K.H. Abd Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus
Dur.
Kepergiannya untuk menghadap Ilahi
tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga dan sahabatnya, melainkan juga dunia ikut
berduka atas kepulangannya. Kepulangannya pun semakin memperjelas bahwasanya ia
adalah sosok manusia yang luar biasa, tidak hanya karena ribuan pelayat dan
jutaan rakyat Indonesia berduka atas kepulanganya, melainkan juga karena
didoakan oleh beragam agama, kelompok dan aliran.
Sepanjang sejarah bangsa ini, tak
ada orang yang kematiannya diantarkan dengan penuh kehormatan dan didoakan oleh
beragam agama dalam jumlah yang begitu masif kecuali Gus Dur. Komitmen dan
sikap Gus Dur yang senantiasa menghargai manusia dan agama yang melekat pada
orang lain dengan penuh rasa cinta serta tidak membeda-bedakannya bisa menjadi salah
satu jawaban dari penyataan tersebut.
Mengahargai Manusia
Pentingnya mengahargai
manusia bukan hanya karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Melainkan
Tuhan juga sangat memuliakan manusia, meski manusia itu terkadang durhaka
kepada-Nya. Oleh karenanya, kecintaan kepada Tuhan sejatinya mampu
diinplementasikan menjadi sebuah nilai kemanusiaan.
Semboyang
tentang cinta dan kasih sayang antara sesama, bagi Gus Dur tidak hanya sekedar menjadi
pemanis bibir saja, tapi betul-betul menjadi praktik hidup yang mampu melampui batas
wilayah, warna kulit, latar belakang agama, budaya, etnis dan ras. Sehingga ia
pun dikenal sebagai tokoh lintas agama dan kelompok.
Menurut K.H. Husein Muhammad (2012), Gus Dur lebih
banyak memberi teladan tentang praktik hidup humanis ketimbang membicarakannya
secara teoritis. Dan itu bukan hanya karena dorongan Teologis semata, melainkan
juga menjadi sebuah esensi dari Filosofi kehidupannya. Karena jangankan
manusia, binatang saja kita dianjurkan untuk berlaku ramah dan sayang
kepadanya, apatah lagi manusia sebagai ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, Gus
Dur menitipkan pesan bahwa dalam berinteraksi dengan manusia agar senantiasa mengedepankan
sikap rendah hati, karena prilaku yang arogan dan melampaui batas akan
mengundang kebencian dan pertikaian yang pada akhirnya akan berujung pada
pudarnya relasi persaudaraan serta eksistensi kita sebagai mahluk kultural-teologis.
Kearifan
Lokal
Dalam konteks kearifan
lokal masyarakat Sulsel dikenal istilah tau,
istilah yang sering dipakai untuk menunjukkan manusia sebagai mahluk paripurna,
mahluk yang mampu memahami esksistensi dirinya sebagai manusia beradab. Konsep tau ini adalah inplementasi dari makna siri’ (harga diri) sebagai bahagian dari
filosofis hidup masayarakat Sulsel pada umumnya.
Olehnya itu, menurut
Gus Dur (2010) mereka (masyarakat Sulsel) yang berprofesi sebagai pelaut pada
masa lalu, tidak akan merasa cemas dan khawatir jika ia meninggalkan anak
isteri mereka selama berbulan-bulan lamanya untuk mencari nafkah, sebab
keluarganya akan senantiasa aman karena dilindungi oleh budaya siri’.
Meski demikian, dalam
konteks lain, juga dikenal istilah tau-tau
yang merupakan kebalikan dari makna tau,
yang artinya manusia hanya utuh secara fisik, namun secara sikap dan prilaku
tak ubahnya seperti binatang. Inilah manusia yang kehilangan siri’, manusia tidak lagi berposisi
layaknya sebagai manusia, melainkan sebagai binatang yang hanya mementikan diri
sendiri dan kelompoknya.
Manusia seperti inilah
yang kerap kali merusak tatanan kehidupan sosial manusia lainnya, melakukan
kekerasan, penindasan dan pembunuhan terhadap sesamanya. Sebuah praktik hidup
yang hanya ada pada mahluk yang tidak punya nurani dan akal (binatang).
Atas dasar itulah sehingga
Gus Dur sangat mengapresiasi dan menyarankan untuk banyak mengkaji kearifan
lokal, karena ia merupakan bahagian dari tulang punggung etika sosial
masyarakat yang kaya akan makna dan nilai kemanusiaan.
Kearifan lokal juga banyak
menginspirasi gagasan perdamaian Gus Dur yang dirajut diatas semangat persaudaraan
yang tidak tersekat pada perbedaan identitas, ras, agama dan strata sosial, sebab
hal tersebut tidak layak dijadikan sebagai tolok ukur, apalagi untuk dibanggakan,
karena ia hanyalah taqdir Tuhan dimana manusia tak kuasa untuk menolaknya.
Paradigma inilah yang
oleh Gus dur dijadikan sebagai patokan dalam melihat eksistensi manusia serta mampu
memahami bahwasanya persaudaraan tidaklah selamnya lahir atas dasar kesamaan identitas
dan ras, melainkan lahir dari ruang perbedaan sebagai karunia Tuhan.
Opini Tribun Timur, 31
Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar