Kamis, 26 Desember 2013

Merayakan Natal di Tengah Ancaman

Sebagai warga negara, kita patut berbangga atas karunia keanekaragaman agama di bangsa ini. Namun pada saat yang sama, kita juga patut untuk cemas akan keberadaan keanekaragaman tersebut, karena tidak jarang keanekaragaman ini menjadi penyebab lahirnya pertikaian dan tindakan kekerasan.

Hal ini terjadi dikarenakan masih ada sebagian diantara kita yang belum bisa menerima kenyataan bahwasanya dunia ini sarat dengan perbedaan. Ketidak-dewasaan inilah yang kerap kali muncul dan memperkeruh dinamika umat beragama di bangsa kita beberapa tahun terakhir.

Perayaan Natal bisa menjadi salah satu contoh akan potret buram relasi kehidupan umat beragama di bangsa kita. Karena seperti biasa, menjelang perayaan Natal, ribuan personil aparat keamanan dikerahkan untuk melakukan pengamanan rumah ibadah (Gereja) dan nampaknya hal ini seolah telah menjadi rutinitas tahunan yang tiada hentinya dilakukan di bangsa kita beberapa tahun terakhir. 

Hari raya Natal yang sejatinya menjadi hari kebahagian bagi segenap umat Kristiani menjadi sebuah ironi karena dirayakan di tegah ancaman dan rasa cemas. Demikian juga rumah ibadah yang sejatinya menjadi mahkota spritual, tempat untuk menemukan dan merasakan kehangatan kasih Tuhan seolah sirna akibat rasa cemas yang menyelimuti ruang batin umat yang sedang beribadah. 

Akhirnya, spirit Natal pun tidak mampu menemukan ruang spritual yang sebenarnya akibat rasa cemas tersebut, dan dari sini pula kita dapat melihat betapa posisi kaum minoritas bangsa ini belum sepenuhnya aman dari ancaman kekerasan (teror) dan tentunya hal ini menjadi sebuah ironi bagi negeri yang konon menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Pertanyaanya kemudian kemudian adalah, mengapa perayaan Natal harus dibarengi dengan pengamanan? Dan kenapa pula rasa aman bagi sebahagian warga harus hilang pada saat hari raya keagamaan mereka? dan bukankah kedamaian dalam beribadah adalah hak setiap umat manusia yang beragama?

Kepedulian
Selama ancaman kekerasan masih dibiarkan terjadi, maka selama itu itupulah ketenangan dalam beribadah akan sulit ditemukan. Sebab ketenangan dan kekhusyuan beribadah hanya mungkin ditemukan dalam suasana damai serta jauh dari ancaman kekerasan dan teror.

Sulitnya kedamaian dan ketenaganan hidup di wujudkan dikarenakan pembiaran terhadap tindakan kekerasan masih terus terjadi, dan tidak menutup kemungkinan akan berlanjut hingga  merusak ikatan kebersamaan yang telah lama terbangun di bangsa ini. 

Merayakan hari raya agama di tegah ancaman tentulah akan melahirkan perasaan tidak tenang. Oleh karenanya, sederet pertanyaan diatas tentunya harus menjadi perhatian dan kepedulian bersama. Sebab kita tidak bisa membanyangkan seberapa banyak manusia yang terluka dan tewas secara mengenaskan dalam rumah ibadah akibat ledakan bom. Kita juga  tidak bisa mengukur seberapa dalam derita dan trauma yang mereka alami atas ancaman serta tekanan yang datang kepada mereka disaat mereka menjalangkan ritualitas agamanya. 

Terkait persoalan ini, umat Islam sebagai kaum mayoritas bangsa tentunya harus punya rasa tanggung jawab bersama pemerintah untuk menciptakan suasana damai. Mereka tidak boleh tinggal diam menyaksikan saudara sebangsanya hidup dalam ancaman dan tekanan. Semoga dengan jalan ini, mereka merasa tidak sendiri serta tetap optimis untuk menjalangkan ritual agama yang mereka yakini dengan penuh khidmat dan rasa khusyu’.

Demikian pula, rasa kebersamaan yang lahir dari perasaan senasib sebagai bahagian dari sprit nasionalisme kebangsaan kita tentunya harus mampu dijewantahkan dalam laku kehidupan sosial keberagamaan sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang aman dan damai untuk semua.

Oleh karenanya, peran pemerintah, selain bertanggung jawab untuk mewujudkan rasa aman bagi segenap warganya, juga harus mampu membangun fondasai kerukunan umat beragama dengan jalan mempertegas komitmen kebersamaan diantara sesama anak bangsa, bahwasanya kebangsaan kita sarat akan perbedaan yang tentunya harus dirawat dan dikelolah dengan baik dan penuh kearifan.


Tribun Timur,
Kamis, 26 Desember 2013


0 komentar: