Sebagai warga negara, kita patut
berbangga atas karunia keanekaragaman agama di bangsa ini. Namun pada saat yang
sama, kita juga patut untuk cemas akan keberadaan keanekaragaman tersebut,
karena tidak jarang keanekaragaman ini menjadi penyebab lahirnya pertikaian dan
tindakan kekerasan.
Hal ini terjadi dikarenakan masih ada
sebagian diantara kita yang belum bisa menerima kenyataan bahwasanya dunia ini
sarat dengan perbedaan. Ketidak-dewasaan inilah yang kerap kali muncul dan memperkeruh
dinamika umat beragama di bangsa kita beberapa tahun terakhir.
Perayaan Natal bisa menjadi salah satu
contoh akan potret buram relasi kehidupan umat beragama di bangsa kita. Karena
seperti biasa, menjelang perayaan Natal, ribuan personil aparat keamanan
dikerahkan untuk melakukan pengamanan rumah ibadah (Gereja) dan nampaknya hal
ini seolah telah menjadi rutinitas tahunan yang tiada hentinya dilakukan di
bangsa kita beberapa tahun terakhir.
Hari raya Natal yang sejatinya menjadi
hari kebahagian bagi segenap umat Kristiani menjadi sebuah ironi karena
dirayakan di tegah ancaman dan rasa cemas. Demikian juga rumah ibadah yang sejatinya
menjadi mahkota spritual, tempat untuk menemukan dan merasakan kehangatan kasih
Tuhan seolah sirna akibat rasa cemas yang menyelimuti ruang batin umat yang
sedang beribadah.
Akhirnya, spirit Natal pun tidak mampu menemukan
ruang spritual yang sebenarnya akibat rasa cemas tersebut, dan dari sini pula
kita dapat melihat betapa posisi kaum minoritas bangsa ini belum sepenuhnya
aman dari ancaman kekerasan (teror) dan tentunya hal ini menjadi sebuah ironi
bagi negeri yang konon menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pertanyaanya kemudian kemudian adalah, mengapa
perayaan Natal harus dibarengi dengan pengamanan? Dan kenapa pula rasa aman
bagi sebahagian warga harus hilang pada saat hari raya keagamaan mereka? dan
bukankah kedamaian dalam beribadah adalah hak setiap umat manusia yang
beragama?
Kepedulian
Selama ancaman kekerasan masih dibiarkan
terjadi, maka selama itu itupulah ketenangan dalam beribadah akan sulit
ditemukan. Sebab ketenangan dan kekhusyuan
beribadah hanya mungkin ditemukan dalam suasana damai serta jauh dari ancaman
kekerasan dan teror.
Sulitnya kedamaian dan ketenaganan hidup
di wujudkan dikarenakan pembiaran terhadap tindakan kekerasan masih terus
terjadi, dan tidak menutup kemungkinan akan berlanjut hingga merusak ikatan kebersamaan yang telah lama
terbangun di bangsa ini.
Merayakan hari raya agama di tegah
ancaman tentulah akan melahirkan perasaan tidak tenang. Oleh karenanya, sederet
pertanyaan diatas tentunya harus menjadi perhatian dan kepedulian bersama.
Sebab kita tidak bisa membanyangkan seberapa banyak manusia yang terluka dan
tewas secara mengenaskan dalam rumah ibadah akibat ledakan bom. Kita juga tidak bisa mengukur seberapa dalam derita dan
trauma yang mereka alami atas ancaman serta tekanan yang datang kepada mereka
disaat mereka menjalangkan ritualitas agamanya.
Terkait persoalan ini, umat Islam
sebagai kaum mayoritas bangsa tentunya harus punya rasa tanggung jawab bersama
pemerintah untuk menciptakan suasana damai. Mereka tidak boleh tinggal diam
menyaksikan saudara sebangsanya hidup dalam ancaman dan tekanan. Semoga dengan
jalan ini, mereka merasa tidak sendiri serta tetap optimis untuk menjalangkan
ritual agama yang mereka yakini dengan penuh khidmat dan rasa khusyu’.
Demikian pula, rasa kebersamaan yang
lahir dari perasaan senasib sebagai bahagian dari sprit nasionalisme kebangsaan
kita tentunya harus mampu dijewantahkan dalam laku kehidupan sosial keberagamaan
sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang aman dan damai untuk
semua.
Oleh karenanya, peran pemerintah, selain
bertanggung jawab untuk mewujudkan rasa aman bagi segenap warganya, juga harus
mampu membangun fondasai kerukunan umat beragama dengan jalan mempertegas
komitmen kebersamaan diantara sesama anak bangsa, bahwasanya kebangsaan kita sarat
akan perbedaan yang tentunya harus dirawat dan dikelolah dengan baik dan penuh
kearifan.
Tribun Timur,
Kamis, 26 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar