Baru-baru ini dunia
dikagetkan dengan kepergian Nelson Mandela, seorang tokoh pejuang kulit
hitam yang anti penindasan rasial. Pria yang bernama lengkap Nelson
Rolihlahla Mandela ini lahir di Mvezo, Afrika Selatan pada tanggal 18
Juli 1918, dan wafat Kamis, 5 Desember 2013 dalam usia 95 tahun setelah
menjalani perawatan selama tiga bulan karena infeksi paru-paru.
Semasa
hidupnya, ia dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan hak-hak
kaum kulit hitam dengan memberantas isu rasisme. Sehingga ia pun dikenal
sebagai revolusioner sejati yang anti pemerintahan rasis (apartheid).
Keteguhannya untuk mengangkat derajat ras kulit hitam agar sejajar
dengan ras lain merupakan perjuangan yang tidak bisa dilupakan dan akan
senantiasa melegenda dalam kehidupan umat manusia.
Atas
komitmennya itulah, sehingga ia cukup dikagumi oleh bangsa-bangsa lain
dan menjadikannya sebagai tokoh dunia yang melegenda sepanjang masa, dan
atas dasar itu pula, tidak kurang dari 250 penghargaan, termasuk Hadiah
Perdamaian Nobel 1993, Medali Kebebasan Presiden Amerika Serikat, dan Order of Lenin dari Uni Soviet diterimanya.
Kepergian
Mandela tentunya tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga dan
pengagumnya, melainkan juga dunia ikut berduka atas kepergian sosok
manusia yang cukup langka ini. Apalagi beliau adalah mantan Presiden
pertama Afrika Selatan dari kalangan kulit hitam. Terpilih secara
demokratis dalam sebuah pemilu multi-ras pada tahun 1992.
Karir
Mandela tentunya tidaklah dicapai dengan mudah, melainkan melalui
perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan. Hanya kesabaran hiduplah
yang senantiasa meneguhkan keyakinan akan keberhasilan perjuangannya.
Sehingga ia pun rela sebagian hidupnya dijalani dalam penjara selama 27
tahun. Baginya, kesabaran adalah kunci kesuksesan hidup.
Teologi KemanusiaanSelain Nelson Mandela, di bangsa ini juga dikenal sosok pejuang kemanusiaan bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pejuang yang dikenal multi-talenta dan kontroversi. Meski kedua tokoh ini berbeda wilayah dan pengalaman, namun komitmennya untuk membela manusia dari tindakan kedzaliman dan diskrimasi sosial tidak bisa dinafikan keberadaanya.
Hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk kemanusiaan. Karena baginya, memperjuangkan hak-hak manusia, selain sebagai panggilan nurani, juga merupakan nilai terpenting dalam setiap agama. Keduanya mampu memahami bahwa esensi manusia di hadapan Tuhan tidak pada perbedaan warna kulit (hitam dan putih), melainkan pada kualitas keimanan dan ketaqwaanya.
Demikian pula, keduanya juga mampu memahami bahwa warna kulit tidaklah selayaknya untuk dibanggakan, karena ia adalah takdir Tuhan, dimana manusia tak kuasa untuk menolaknya. Olehnya itu, relasi manusia harus dibangun diatas landasan hidup yang saling memanusiakan, penuh damai dan kasih-sayang, bukan dengan kebencian apalagi dendam karena perbedaan ras.
Secara bijak Nelson Mandela mengatakan bahwa “tak seorang pun manusia dilahirkan untuk membenci orang lain hanya karena berbeda warna kulit dan agama. Jika manusia belajar untuk membenci, maka pada saat yang sama mereka juga bisa belajar untuk memberi kasih-sayang, karena menyayangi selalu datang secara alamiah, ketimbang rasa benci (Willy Kumurur; 2013)
Atas kebesaran jiwanya itulah, meski ia telah diperlakukan dengan tidak manusiawi, Ia mampu mengampuni kaum kulit putih sebelum seruan minta maaf datang kepadanya. Karena baginya, sikap pemaaf akan mengantarkan manusia pada suasana hidup yang tenang dan damai, sementara kebencian hanya akan menyisakan kesengsaraan hidup, sehingga batin pun menjadi tidak tenang.
Fondasi Peradaban
Implementasi kecintaan terhadap manusia seharusnya harus dirajut diatas nilai kasih-sayang yang tidak tersekat pada warna kulit, agama dan etnis. Meminjam istilah Gus Dur, tidak penting apa agama dan sukumu, jika enggkau berbuat baik untuk semua orang, maka orang tidak akan bertanya apa agama dan sukumu.
Cara berpikir seperti inilah yang mulai langka di bangsa kita saat ini, sehingga tidak mengherankan jika krisis kemanusiaan semakin meningkat setiap tahun di bangsa kita. GusDur dan Mandela telah meletakkan fondasi peradaban dengan menjadikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasinya. Jika manusia rusak, maka sudah pasti peradaban juga ikut rusak.
Olehnya itu, perjuangan kedua tokoh tersebut sungguh patut untuk diteladani, khususnya dalam hal kesebaran serta komitmennya dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan di tengah memudarnya rasa kemanusiaan serta maraknya praktik kekerasan yang mengatasnamakan ras, agama dan etnis.
0 komentar:
Posting Komentar