Sejak dari dulu kota
Makassar dikenal sebagai kota terbuka. Keanekaragaman agama, budaya dan ras menjadi
penanda bahwasanya kota Makassar adalah kota multikultur, kota yang menjadi
area perjumpaan berbagai macam keanekaragaman yang berbarengan dengan kemajuan kemegahan
pembangunan fisik dari tahun-ketahun.
Meski demikian, dalam
faktanya, keindahan kota ini tidaklah berbanding lurus dengan tingkat kemajuan
dan akses pelayanan terhadap sebagian masyarakatnya. Keindahan dan Kemajuan pembangunan
fisik tersebut nampaknya masih hanya sebatas simbol kemegahan kota yang tidak
diiringi dengan prilaku “beradab” oleh sebahagian warganya.
Fenomena tawuran
antar lorong, aksi brutal geng motor yang seolah tiada hentinya menelan korban,
serta berbagai kasus kekerasan lainnya menjadi alasan yang cukup kuat untuk
mengatakan bahwa Makassar masih menjadi kota yang rawan akan tidakan kekerasan,
dan dari keyataan ini pula kita dapat melihat bahwa tidak selamanya keindahan bagunan
fisik itu sekaligus menjadi simbol keberadaban dan kemajuan masyarakatnya.
Fenomena lain yang
yang juga masih menjadi persoalan besar adalah masalah kemiskinan dan akses
pelayanan terhadap masyarakat. Meski berbagai program telah diupayakan untuk
meminimalisir persoalan tersebut, mulai dari program raskin hingga pencanangan
pendidikan dan kesehatan gratis yang notabene
menjadi visi-misi Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin pada periode awal
kepemimpinannya, ternyata belum dirasakan secara maksimal oleh sebahagian warga.
Keluhan Warga
Banyaknya keluhan
warga terkait pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis menjadi bukti bahwasa program
tersebut belum bisa memenuhi hak-hak sebagian warga. Bahkan disatu sisi,
terkadang pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis tersebut ternodai oleh
prilaku diskriminatif dan pelayanan asal-asalan terhadap mereka (pasien) miskin.
Sebagaimana yang
menjadi keluhan salah seorang warga Tamalate bernama Fausiah terkait pelayanan salah
satu rumah sakit di kota ini, karena yang kebetulan berobat adalah orang miskin
(gratis) pelayananya pun asal-asalan, termasuk fasilitas seperti WC dan air.
Padahal kedua fasilitas tersebut menurutnya sangat penting untuk menopan kesehatan
pasien yang sedang dirawat.
Selain itu, kelengkapan
administrasi pasien terkadang masih lebih diutamakan, ketimbang harus menolong (nyawa)
manusia yang sedang sakit. Padahal sejatinya, dengan adanya program gratis dari
pemerintah warga miskin semakin merasa nyaman karena terlayani dengan baik,
khususnya bagi mereka yang sedang sakit, sehingga beban mereka pun tidak
semakin berat.
Demikian pula, pelaksanaan
program gratis ini juga kerap kali dinodai dengan adanya pungutan liar oleh
salah satu intansi atau lembaga pemerintah dengan mengatasnamakan uang
administrasi, pembayaran LKS dan buku, uang jaminan, sumbangan serta beberapa
alasan lainnya untuk membenarkan pungutan liar tersebut, sehingga warga pun
semakin bingung dengan program gratis tersebut.
Audit Sosial
Salah satu upaya yang
sementara dilakukan oleh pemerintah kota Makassar untuk meminimalisir persoalan
tersebut adalah pelaksanaan program audit sosial dengan melibatkan warga sebagai
penerima mamfaat program sebagai tim auditor.
Audit sosial adalah sebuah
program dimana warga yang terkena dampak dari kebijakan program gratis
dilibatkan dalam mengevaluasi pelaksanaan program pemerintahan, sebagai upaya
untuk membuka tabir yang sesunguhnya agar masyarakat dan pemerintah dapat
mengetahui fenomena yang sebenarnya terjadi di lapangan, khususnya yang terkait
masalah kesehatan dan pendidikan gratis.
Program ini cukup
berhasil membongkar tabir ketidak-sinergian pemerintah kota dengan beberapa
intansinya dalam pelaksanaan program gratis tersebut. Banyaknya warga mengeluhkann
pungutan liar menjadi salah satu bukti akan hal itu. Dan nampaknya Keluhan
tersebut lebih banyak ditemukan ketimbang keberhasilan program gratis yang
menjadi andalan pemerintah ini.
Meski demikian kita
juga patut berbangga atas kesediaan Walikota Makassar untuk diaudit, ini adalah
merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas sebuah sistem pemerintahan,
karena sangat jarang kita temukan pemimpin seperti ini. Namun yang harus juga dipahami bahwa hasil dari program
audit sosial ini tidak hanya berhenti pada tataran transparansi dan
akuntabilitas pemerintahan, melainkan sejauh mana menindaklanjuti dan
menyelesaikan temuan-temuan audit sosial tersebut. (Tribun
Timur, 07 Desember 2013)
0 komentar:
Posting Komentar