Alam tidak hanya menjadi sumber penghidupan
ekonomi, melainkan juga sebagai tempat manusia berpijak dan melangsungkan
kehidupan. Kerusakan alam akan berakibat pada kehidupan manusia, karena alam
adalah fondasi kehidupan yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaannya dalam
mengsuplai kebutuhan hidup kita.
Meski demikian, ambisi dan keserakahan
sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengakibatkan alam tak mampu
lagi bersuai dengan kehidupan manusia. Bencana alam seperti banjir dan tanah
lonsor yang marak terjadi belakangan ini merupakan dampak buruk dari sifat
keserakahan dan prilaku hidup manusia yang tidak mampu bersahabat dengan alam.
Akibatnya, alam pun pada akhirnya akan
menyerah untuk melayani kebutuhan hidup manusia. Meminjam ungkapkan Mahatma
Ghandi, alam ini mampu memberikan apa
yang menjadi kebutuhan hidup manusia, tapi tidak dengan keserakahannya.
Kehidupan Moderen
Fenomena kehidupan tersebut di atas adalah
bahagian dari konsekuwensi kehidupan manusia moderen yang tidak hanya menggiring
kita pada zona kehidupan yang keras, picik dan fanatik, melainkan juga telah
membuat kita kehilangan kesadaran sebagai mahluk yang beradab.
Ungkapan ini didasarkan pada sebuah
fakta kehidupan kita saat ini, karena jangankan menghargai alam, menghargai kehidupan manusia saja seolah
menjadi hal yang tabu dalam laku kehidupan sosial kita. Model seperti ini,
tentunya tidak hanya menciptakan pola hidup sosial yang binal dan penuh
frustasi, melainkan juga telah mengakar sebagai cara pandang baru terhadap alam
yang sarat dengan eksploitatif.
Fenomena ini pun semakin diperparah
saat ambisi sebahagian penguasa untuk mempercantik daerah atau kota dengan bangunan
yang megah, tanpa sedikit pun sadar bahwasanya ia telah mengeklpoitasi alam. Dampak
buruk yang ditumpulkan dari gaya berpikir seperti ini akan berakibat pada pola
hidup sosial yang keras, penuh ancaman (bencana) serta minim kepedulian.
Demikian pula, kearifan lokal yang merupakan
warisan dari leluhur kita agar senantiasa hidup bersahabat degan alam,
memperlakukan layaknya sebagai pasangan hidup dan menghargai layaknya sebagai manusia
lambat laun makin menipis, tergantikan dengan cara berpikir yang eksploitatif, dengan menjadikan alam sebagai ladang
eksploitasi untuk memperkaya diri dan kelompok.
Prefektif Tradisional
Berbeda dengan Masyarakat moderen, masyarakat
tradisional memandang alam sarat dengan nilai. Mereka melihat alam tidak hanya
sekedar menjadi tempat untuk berpijak, melainkan juga menjadi sumber
penghidupan dan pengetahuan. Sehingga perlu untuk dikelolah secara manusiawi.
Salah satu komunitas yang dapat
dijadikan contoh dalam tulisan ini adalah masyarakat Tanah Toa Kajang. Komunitas ini melihat tanah atau alam tidak hanya sebagai sumber
penghidupan ekonomi semata, melainkan juga sebagai ruang ekspresi yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis yang sangat tinggi.
Syamsurijal Adhan (2010) dalam
tulisanya yang berjudul Tanah Toa di Bawah
Bayang-bayang Bencana, mengatakan bahwa tanah adalah Ibu (angrongta) bagi masyarakat Kajang. Padangan
ini didasarkan atas keyakinan bahwa asal muasal manusia berasal dari tanah, dan
harus dikelolah dengan penuh kearifan, karena ia adalah bahagian dari kosmologi
kehidupan manusia.
Mereka memperlakukan alam layaknya
sebagai manusia yang harus diberi perhatian dan penghargaan. Pola ini disebut dengan
istilah relasional epistemology sebuah
cara pandang dalam melihat alam bukan pada relasi penaklukan atau eksploitasi,
melainkan relasi persahabatan yang penuh harmonis, (Adhan, 2010).
Pentingnya mengelolah kelestarian
alam menjadi fundamen dalam kehidupan masyarakat tradisional, sebab kerusakan
alam adalah merupakan ancaman besar bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Demikian pula, mengelola alam dengan tidak disertai dengan kearifan akan
mengakibatkan lahirnya bencana sosial, kemiskinan dan ketidaknyamanan hidup.
Kosmologi masyarakat tradisional,
sebagaimana yang menjadi praktik hidup masyarakat Kajang patutut untuk
diapresiasi, karena hanya dengan jalan itu kita akan menemukan suasana damai,
sejuk serta hidup penuh berkah dengan limpahan kekayaan alam kita, (Opini
Harian Fajar, 04 Desember 2013).
0 komentar:
Posting Komentar