Minggu, 08 Desember 2013

Alam Dalam Kosmologi Masyarakat Tradisional


Alam tidak hanya menjadi sumber penghidupan ekonomi, melainkan juga sebagai tempat manusia berpijak dan melangsungkan kehidupan. Kerusakan alam akan berakibat pada kehidupan manusia, karena alam adalah fondasi kehidupan yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaannya dalam mengsuplai kebutuhan hidup kita.



Meski demikian, ambisi dan keserakahan sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengakibatkan alam tak mampu lagi bersuai dengan kehidupan manusia. Bencana alam seperti banjir dan tanah lonsor yang marak terjadi belakangan ini merupakan dampak buruk dari sifat keserakahan dan prilaku hidup manusia yang tidak mampu bersahabat dengan alam.



Akibatnya, alam pun pada akhirnya akan menyerah untuk melayani kebutuhan hidup manusia. Meminjam ungkapkan Mahatma Ghandi, alam ini mampu memberikan apa yang menjadi kebutuhan hidup manusia, tapi tidak dengan keserakahannya.



Kehidupan Moderen

Fenomena kehidupan tersebut di atas adalah bahagian dari konsekuwensi kehidupan manusia moderen yang tidak hanya menggiring kita pada zona kehidupan yang keras, picik dan fanatik, melainkan juga telah membuat kita kehilangan kesadaran sebagai mahluk yang beradab.



Ungkapan ini didasarkan pada sebuah fakta kehidupan kita saat ini, karena jangankan menghargai  alam, menghargai kehidupan manusia saja seolah menjadi hal yang tabu dalam laku kehidupan sosial kita. Model seperti ini, tentunya tidak hanya menciptakan pola hidup sosial yang binal dan penuh frustasi, melainkan juga telah mengakar sebagai cara pandang baru terhadap alam yang sarat dengan eksploitatif.



Fenomena ini pun semakin diperparah saat ambisi sebahagian penguasa untuk mempercantik daerah atau kota dengan bangunan yang megah, tanpa sedikit pun sadar bahwasanya ia telah mengeklpoitasi alam. Dampak buruk yang ditumpulkan dari gaya berpikir seperti ini akan berakibat pada pola hidup sosial yang keras, penuh ancaman (bencana) serta minim kepedulian.



Demikian pula, kearifan lokal yang merupakan warisan dari leluhur kita agar senantiasa hidup bersahabat degan alam, memperlakukan layaknya sebagai pasangan hidup dan menghargai layaknya sebagai manusia lambat laun makin menipis, tergantikan dengan cara berpikir yang  eksploitatif, dengan menjadikan alam sebagai ladang eksploitasi untuk memperkaya diri dan kelompok.





Prefektif Tradisional

Berbeda dengan Masyarakat moderen, masyarakat tradisional memandang alam sarat dengan nilai. Mereka melihat alam tidak hanya sekedar menjadi tempat untuk berpijak, melainkan juga menjadi sumber penghidupan dan pengetahuan. Sehingga perlu untuk dikelolah secara manusiawi.



Salah satu komunitas yang dapat dijadikan contoh dalam tulisan ini adalah masyarakat Tanah Toa Kajang.  Komunitas ini melihat  tanah atau alam tidak hanya sebagai sumber penghidupan ekonomi semata, melainkan juga sebagai ruang ekspresi yang sarat dengan nilai-nilai filosofis yang sangat tinggi.



Syamsurijal Adhan (2010) dalam tulisanya yang berjudul Tanah Toa di Bawah Bayang-bayang Bencana, mengatakan bahwa tanah adalah Ibu (angrongta) bagi masyarakat Kajang. Padangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa asal muasal manusia berasal dari tanah, dan harus dikelolah dengan penuh kearifan, karena ia adalah bahagian dari kosmologi kehidupan manusia.

  

Mereka memperlakukan alam layaknya sebagai manusia yang harus diberi perhatian dan penghargaan. Pola ini disebut dengan istilah relasional epistemology sebuah cara pandang dalam melihat alam bukan pada relasi penaklukan atau eksploitasi, melainkan relasi persahabatan yang penuh harmonis, (Adhan, 2010).  



Pentingnya mengelolah kelestarian alam menjadi fundamen dalam kehidupan masyarakat tradisional, sebab kerusakan alam adalah merupakan ancaman besar bagi kelangsungan kehidupan manusia. Demikian pula, mengelola alam dengan tidak disertai dengan kearifan akan mengakibatkan lahirnya bencana sosial, kemiskinan dan ketidaknyamanan hidup.



Kosmologi masyarakat tradisional, sebagaimana yang menjadi praktik hidup masyarakat Kajang patutut untuk diapresiasi, karena hanya dengan jalan itu kita akan menemukan suasana damai, sejuk serta hidup penuh berkah dengan limpahan kekayaan alam kita, (Opini Harian Fajar, 04 Desember 2013).






0 komentar: