Selasa, 15 Oktober 2013

Pesan Humanis Dari Ibadah Kurban

Idul Adha adalah hari raya yang erat kaitannya dengan sejarah kehidupan dan pengurbanan Nabi Ibrahim As. Pengurbanan Ibrahim ini telah menjadi ritual keagamaan yang setiap tahunnya diperingati secara serentak oleh ummat Islam di seluruh penjuru dunia, khususnya bagi mereka yang berkecukupan, senantiasa melaksanakan ritual penyembelihan hewan kurban demi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sekaitan dengan itu, ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa pengurbanan Nabi Ibrahim, yaitu; Pertama, Allah SWT hendak memperlihatkan kasih sayang dan kemahakuasaan-Nya, dimana saat Ismail akan disembeli oleh ayahnya dalam sebuah altar penyembelihan, tiba-tiba Ismail diganti dengan seekor Domba.

Bisa dibayangkan, andaikan Allah SWT tidak memperlihatkan kasih sayang dan kemahakuasaa-Nya pada saat itu, maka besar kemungkinan sejarah pengurbanan tersebut akan terus berlanjut, dan mungkin saja akan menjadi ritual keagamaan kita saat ini, dimana setiap perayaan idul adha kita akan menyaksiakan parade penyembelihan manusia atas manusia untuk kepentingan ibadah.

Kedua; Dijadikannya Domba sebagai pengganti sembelihan Ibrahim menjadi sebuah penanda bahwasanya Allah SWT tidak membenarkan pengurbanan nyawa manusia, meskipun untuk kepentingan agama atau Tuhan. Peristiwa tersebut juga sekaligus sebagai bentuk penghargaan Tuhan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang paling mulia disisi-Nya.
Ketiga; Perintah untuk berkurban sekaligus menjadi ujian keimanan  bagi keluarga  Ibrahim. Allah SWT hendak menguji sebarapa besar ketulusan dan kecintaan mereka kepada Tuhannya, sehingga ia pun diperintahkan untuk mengorbankan sesuatu yang sangat ia cintai, yaitu putra semata wayangnya yang telah lama dinantikan kehadirannya.

Hal itu sekaligus mengambarkan bahwa betapa ketulusan dalam berkorban akan menjadi berarti di hadapan Allah jika yang dikorbankan adalah sesuatu yang sangat kita cintai dan sayangi, agar pengurbanan tersebut layak disebut sebagai ibadah, ketaqwaan dan keimanan kita kepada-Nya.

Merayakan Kehidupan

Dalam konteks lain, ibadah kurban bukan hanya sekedar ibadah individual, melainkan juga sebagai ibadah sosial dalam upaya untuk merayakan kehidupan. Meminjam pendapat Yongki Karman, merayakan kehidupan berlawanan dengan cara hidup yang menjadikan kematian sebagai jalan dan tujuan perjuangan. Demikian juga, merayakan kehidupan tentunya berlawanan dengan tindakan kekerasan yang akan melahirkan serta memperpanjang daftar penderitaan dan kematian bagi ummat manusia.

Selain itu, Imam Al-Ghazali dalam salah satu karyanya yang berjudul Al-Ihya Ulumuddin menegaskan pentingnya untuk merayakan kehidupan dengan jalan menghargai jiwa yang melekat pada diri setiap manusia, karena jiwa adalah milik Tuhan dan hanya Tuhanlah yang berhak atasnya.

Oleh karenanya, menurut Imam Al-Ghasali, jiwa adalah salah satu bahagian dari lima prinsip dasar kehidupan yang harus dijaga, disamping pentingnya menjaga harta, akal, keturunan dan agama. Kelima prinsip inilah yang sejatinya bisa menjadi fundamen kehidupan sosial kita di tegah maraknya aksi kekerasan, baik yang mengatasnamakan kelompok, agama dan telebih untuk kepentingan Tuhan.

Sejarah pengurbanan Nabi Ibrahim pada hakekatnya adalah sejarah pengurbanan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan mengorbankan manusia dengan mengatasnamakan kepentingan ibadah, agama dan terlebih lagi untuk kepentingan Tuhan. Karena tidak mungkin Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang rela menerima persembahan atau pengurbanan manusia dengan cara menyakiti manusia.

Pada akhirnya, pesan humanis yang terdapat dalam ibadah kurban adalah upaya untuk memutus tradisi pembunuhan manusia demi “kepentingan Tuhan dan kelompok”. Membunuh manusia hanya dibenarkan dalam kerangka untuk kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar, artinya tidak dibenarkan mengorbankan manusia dengan dalih yang manipulatif, sekalipun diklaim demi kepentingan Tuhan (Husain Muhammad, 2005).

0 komentar: