Selasa, 15 Oktober 2013

Diskriminasi Berkedok Agama



Di bangsa ini, diskriminasi kerap kali dialami oleh kalangan  minoritas dan itu tidak hanya dalam bentuk cara pandang, melainkan  juga  dalam bentuk sikap dan prilaku kita terhadap mereka. Lihat saja kasus yang menimpa Susan Jasmine Zulkifli, Lurah Lenteng Agung yang baru-baru ini ditolak oleh sebahagian warga Jakarta Selatan hanya karena persoalan perbedaan agama.

Prilaku tersebut adalah merupakan cerminan dari sikap intoleransi dan diskriminasi yang menjadikan agama sebagai kedok dan hal ini tentunya bertentangan dengan asas kehidupan kebangsaan kita. Sebab untuk menjadi pemimpin di bangsa ini tidak mesti harus beragama Islam yang notabene menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia.

Apalagi konstitusi Negara ini tidak didasarkan pada agama melainkan Pancasila sebagai asas kehidupan bersama. Selain itu, fakta dari fenomena tersebut sekaligus mengambarkan betapa prilaku intoleran oleh sebahagian kelompok masih menjadi warna dominan dalam laku kehidupan sosial kebangsaan kita.

Ketidakrelaan untuk dimpimpin oleh orang yang berbeda agama adalah merupakan bahagian dari sikap arogansi dan cara berpikir yang kurang dewasa dalam melihat perbedaan dan hak-hak setiap warga Negara, dan tentunya ini akan menjadi citra buruk bagi kehidupan kebangsaan kita yang telah ditakdirkan untuk hidup dalam dunia yang plural dan multikultur.

Dominasi
Fanatisme agama tidaklah lahir karena warisan tradisi, melainkan lebih pada penghayatan agama sebagai doktrin, dimana orientasi keagamaan tidak hanya sebagai gerakan moralitas, melainkan juga sebagai sarana untuk menguasai ruang publik.

Penguasaan terhadap ruang publik ini kadang dilakukan dengan jalan meminggirkan komunitas lain yang berbeda dengan kelompoknya. Demikian juga, membiarkan cara pandang agama dalam mendominasi struktur kenegaraan tidak hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap agama dan kelompok tertentu, melainkan juga sangat berpotentensi untuk melahirkan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Padahal Negara ini tidaklah dihuni oleh satu komunitas agama, melainkan berbagai macam agama. Fenomena yang dialami oleh Susan Jamine boleh jadi hanya sebahagian kecil dari sekian banyak kasus diskriminasi atas nama agama yang pernah terjadi di bangsa ini, dan tentunya fenomena tersebut semakin menambah citra buruk bangsa kita dimata dunia, khususnya dalam hal perlindungan dan perhargaan terhadap hak-hak kaum minoritas bangsa.

Keanekaragaman
Keanekaragaman yang ada di bangsa ini bukan hanya menjadi bahagian dari fakta kehidupan sosial, akan tetapi ia juga menjadi bahagian dari sunnatullah yang tidak mungkin bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapa-pun.

Oleh karenanya, persoalan mayoritas dan minoritas adalah merupakan ketentuan Tuhan (taqdir) yang sejatinya tidak perlu untuk dipersoalkan, apalagi menjadi tolok ukur dalam melihat urusan kenegaraan, karena ummat minoritas bangsa ini juga berhak untuk hidup, mengabdi dan berkarya demi kemanjuan bangsanya.

Melarang seseorang untuk berkarya, mengabdi dan hidup di bangsanya sendiri tentunya bukan hanya sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, melainkan juga sebagai bentuk perlawanan terhadap sunnatullah.

Apalagi jika hal tersebut dikaitkan pada persoalan agama yang sifatnya privat, dimana hak setiap individu merdeka atasnya, sehingga tidak semestinya hanya karena perbedaan agama hak sebagai warga negara harus hilang.

Oleh  karenanya, pemimpin bangsa ini harus  tegas terhadap setiap gerakan intoleran dan kalau perlu tidak boleh diberi ruang karena kalau hal ini dibiarkan maka bisa merambah pada persoalan lain yang bisa jadi nantinya Kepala Dinas tidak boleh diduduki oleh orang non Islam, demikian pula dengan jabatan sebagai Camat, Lurah dan intansi lainnya.



0 komentar: