Di bangsa ini, diskriminasi kerap kali
dialami oleh kalangan minoritas dan itu
tidak hanya dalam bentuk cara pandang, melainkan juga
dalam bentuk sikap dan prilaku kita terhadap mereka. Lihat saja kasus yang
menimpa Susan Jasmine Zulkifli, Lurah Lenteng Agung yang baru-baru ini ditolak
oleh sebahagian warga Jakarta Selatan
hanya karena persoalan perbedaan agama.
Prilaku tersebut adalah merupakan cerminan dari sikap intoleransi dan diskriminasi yang menjadikan agama sebagai kedok dan hal ini tentunya bertentangan dengan asas kehidupan kebangsaan kita. Sebab untuk menjadi pemimpin di bangsa ini tidak mesti harus beragama Islam yang notabene menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia.
Apalagi konstitusi Negara ini tidak didasarkan pada agama melainkan Pancasila sebagai asas kehidupan bersama. Selain itu, fakta dari fenomena tersebut sekaligus mengambarkan betapa prilaku intoleran oleh sebahagian kelompok masih menjadi warna dominan dalam laku kehidupan sosial kebangsaan kita.
Ketidakrelaan untuk dimpimpin oleh orang yang berbeda agama adalah merupakan bahagian dari sikap arogansi dan cara berpikir yang kurang dewasa dalam melihat perbedaan dan hak-hak setiap warga Negara, dan tentunya ini akan menjadi citra buruk bagi kehidupan kebangsaan kita yang telah ditakdirkan untuk hidup dalam dunia yang plural dan multikultur.
Dominasi
Fanatisme agama tidaklah lahir karena
warisan tradisi, melainkan lebih pada penghayatan agama sebagai doktrin, dimana
orientasi keagamaan tidak hanya sebagai gerakan moralitas, melainkan juga
sebagai sarana untuk menguasai ruang publik.
Penguasaan terhadap ruang publik ini
kadang dilakukan dengan jalan meminggirkan komunitas lain yang berbeda dengan
kelompoknya. Demikian juga, membiarkan cara pandang agama dalam mendominasi
struktur kenegaraan tidak hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap agama dan
kelompok tertentu, melainkan juga sangat berpotentensi untuk melahirkan
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Padahal Negara ini tidaklah dihuni
oleh satu komunitas agama, melainkan berbagai macam agama. Fenomena yang
dialami oleh Susan Jamine boleh jadi hanya sebahagian kecil dari sekian banyak
kasus diskriminasi atas nama agama yang pernah terjadi di bangsa ini, dan tentunya
fenomena tersebut semakin menambah citra buruk bangsa kita dimata dunia,
khususnya dalam hal perlindungan dan perhargaan terhadap hak-hak kaum minoritas
bangsa.
Keanekaragaman
Keanekaragaman yang ada di bangsa ini
bukan hanya menjadi bahagian dari fakta kehidupan sosial, akan tetapi ia juga
menjadi bahagian dari sunnatullah yang tidak mungkin bisa dipungkiri
keberadaannya oleh siapa-pun.
Oleh karenanya, persoalan mayoritas
dan minoritas adalah merupakan ketentuan Tuhan (taqdir) yang sejatinya tidak perlu
untuk dipersoalkan, apalagi menjadi tolok ukur dalam melihat urusan kenegaraan,
karena ummat minoritas bangsa ini juga berhak untuk hidup, mengabdi dan
berkarya demi kemanjuan bangsanya.
Melarang seseorang untuk berkarya,
mengabdi dan hidup di bangsanya sendiri tentunya bukan hanya sebagai bentuk
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, melainkan juga sebagai bentuk
perlawanan terhadap sunnatullah.
Apalagi jika hal tersebut dikaitkan
pada persoalan agama yang sifatnya privat, dimana hak setiap individu merdeka
atasnya, sehingga tidak semestinya hanya karena perbedaan agama hak sebagai
warga negara harus hilang.
Oleh
karenanya, pemimpin bangsa ini harus
tegas terhadap setiap gerakan intoleran dan kalau perlu tidak boleh
diberi ruang karena kalau hal ini dibiarkan maka bisa merambah pada persoalan
lain yang bisa jadi nantinya Kepala Dinas tidak boleh diduduki oleh orang non Islam,
demikian pula dengan jabatan sebagai Camat, Lurah dan intansi lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar