Minggu, 20 Oktober 2013

Belajar Arti Cinta dari Nabi Ibrhim



Idul Adha atau hari raya kurban sangat erat kaitannya dengan peristiwa sejarah pengurbanan yang pernah dilalui oleh Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya. Dimana saat itu, Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk mengurbankan putra kesayangannya bernama Ismail.

Allah SWT hendak menguji seberapa besar kecintaan Ibrahim kepada Tuhannya, sehingga ia pun deperintahkan untuk mengurbankan sesuatu yang sangat ia cintai, yaitu putra semata wayangnya yang telah lama ia natikan kehadirannya.

Dengan penuh ketulusan dan kerelaan, Ibrahim pun menyanggupi permintaan Tuhan tersebut, dengan terlebih dahulu meminta kerelaan anaknya untuk dijadikan sebagai sembelihan, dan pada saat yang sama, anaknya pun bersedia untuk memenuhi permitaan ayahnya, yang tiada lain adalah perintah Allah SWT.

Peristiwa tersebut mengambarkan sisi terdalam dari kearifan hidup keluarga Ibrahim yang lahir atas dasar ketulusan hidup sebagai hamba Allah SWT. Bagi mereka, kematian dan kehidupan adalah milik Allah yang dari-Nya  manusia hanya bisa mempasrakan diri. Hal ini sekaligus menjadi pelajaran bagi kita tentang pentinganya untuk menyeimbangkan kehidupan dan kematian, agar kita tidak mudah diperbudak oleh kehidupan dunia.

Ketulusan dan kerelaan, termasuk isteri Ibrahim (Siti Hajar) untuk menjadikan anak mereka sebagai kurban menjadi bukti kebijaksanaan hidup yang lahir proses kecintaan mereka kepada Tuhannya, dan akhirnya pertistiwa tersebut pun menjadi salah satu syiar Islam yang diabadikan dalam perayaan hari raya idul  Adha.

Tradisi Pengurbanan

Pada mulanya tradisi pengurbanan manusia adalah merupakan praktek kebudayaan masyarakat sebelum hadirnya Nabi Ibrahim pada Abad ke 18 SM. Pengurbanan manusia untuk kepentingan Tuhan atau dewa-dewa telah lazim terjadi pada pada masa itu.

Menurut Husain Muhammad, tradisi tersebut adalah merupakan tradisi masyarakat paganisme. Demi meraih kebahagiaan diri, para tokoh agama dengan mengatasnamakan Tuhan melakukan pembunuhan manusia sebagai bentuk pengorbanan kepada-Nya. (Husein Muhammad; 2013).

Demikian juga, dalam beberapa sumber sejarah, kita dapat menemukan praktik pengurbanan manusia. Misalnya di Mesir, gadis cantik di persembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Di Kanaan, Irak, bayi-bayi yang tak berdosa dipersembahkan kepada Dewa Baal. Demikian pula dengan Suku Aztec di Meksiko, meyerahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. (Qurash Shihab, 1994).

Demikian gambaran kehidupan masa lampau, sebuah kehidupan yang sangat tidak manusiawi. Sehingga atas dasar itulah, Allah SWT mengutus Ibrahim untuk menghentikan kebiasaan mengurbankan manusia dengan mengatasnamakan Tuhan tersebut, tanpa harus menghilangkan tradisi pengurbanan didalamnya.

Melalui Ibrahim, Allah meyerukan praktik pengorbanan manusia diganti dengan menyembeli hewan tenak yang dapat memberi mamfaat kepada sesama manusia. Hal ini bermula saat sembelihan Ibrahim diganti oleh Allah dengan seekor Domba jantang.

Menurut sebahagian Ulama, digantinya mengambarkan sisi kasih sayang Allah SWT terhadap manusia, akan tertapi didalamnya juga tersirat makna untuk senantiasa mengurbankan sifat-sifat kebinatangan kita, seperti sifat serakah, egois dan menindas.

Kerena ke empat sifat tersebutlah yang kerap kali menjadi penyebab lahirnya masalah dan melahirkan kesensaraan hidup bagi sebahagianummat manusia, serta meredupkan nilai-nilai kasih sayang dan cinta damai diantara sesame manusia dan anak bangsa.

Kecintaan Ibrahim

Kecintaan Ibrahim kepada anak semata wayangnya tidaklah sama sekali mengalahkan kecintaanya kepada Tuhan. Kerelaan keluarga Ibrahim untuk berkurban sangat patut untuk kita teladani disaat sekarang ini, dimana saat relasi kemanusiaan kita tidak lagi didasarkan atas kecintaan kepada Tuhan, melainkan atas dasar keegoisan dan nafsu serakah.

Cinta menjadi kekuatan yang cukup penting dalam merajut kehidupan, karena dengan cinta kita dapat menyatu, membangun kebersamaan serta mengukir prestasi. Olehnya itu, relasi kehidupan yang tidak disarkan kepada kecinta kepada Tuhan, hanya akan melahirkan cinta semu, dan boleh jadi atas nama itu manusia menjadi objek penindasan.

Tegok saja beberapa kasus yang pernah terjadi dibangsa ini. Dimana sebahagian kelompok rela melakukan tindakan destruktif terhadap kelompok lain yang mereka anggap sesat. Hal ini boleh jadi disebabkan karena manusia lebih mencintai agama ketimbang Tuhan.

Demikian pula, kasus yang dialami oleh Susan Jasmine yang ditolak oleh sebahagian warga, menjadi Lurah Lenteng Agung hanya kerena persoalan ia beragama Nasrani. Padahal sebagai warga Negara, ia juga berhak untuk mengabdi, berkarya dan berkurban untuk kemajuan bangsanya.

Hal ini sekaligus menjadi sebuah penanda betapa kecintaan kita kepada manusia perlahan mulai redup. Cinta seolah tak mampu lagi menyatukan dua pribadi yang berbeda, mendamaikan perbedaan menjadi sebuah keindahan melainkan atas nama cinta manusia saling membunuh dan menindas.

Olehnya itu, memahami relasi kehidupan tentunya tidak hanya diukur dari sejauh mana kesetiaan itu di pertahankan, melaikan juga sejauh mana pengorbanan dilaksanakan. Model kecintaan itulah yang menjadi esensi pokok dari praktik pengorbanan nabi Ibarahim, sebab tidak ada kehidupan yang manusiawi tanpa dilandasi oleh semangat kecintaan kepada Tuhan sebagai sumber segala kasih sayang.

0 komentar: