Idul Adha atau hari raya kurban sangat
erat kaitannya dengan peristiwa sejarah pengurbanan yang pernah dilalui oleh
Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya. Dimana saat itu, Allah SWT memerintahkan
kepadanya untuk mengurbankan putra kesayangannya bernama Ismail.
Allah SWT hendak menguji seberapa
besar kecintaan Ibrahim kepada Tuhannya, sehingga ia pun deperintahkan untuk
mengurbankan sesuatu yang sangat ia cintai, yaitu putra semata wayangnya yang
telah lama ia natikan kehadirannya.
Dengan penuh ketulusan dan kerelaan,
Ibrahim pun menyanggupi permintaan Tuhan tersebut, dengan terlebih dahulu
meminta kerelaan anaknya untuk dijadikan sebagai sembelihan, dan pada saat yang
sama, anaknya pun bersedia untuk memenuhi permitaan ayahnya, yang tiada lain
adalah perintah Allah SWT.
Peristiwa tersebut mengambarkan sisi
terdalam dari kearifan hidup keluarga Ibrahim yang lahir atas dasar ketulusan
hidup sebagai hamba Allah SWT. Bagi mereka, kematian dan kehidupan adalah milik
Allah yang dari-Nya manusia hanya bisa
mempasrakan diri. Hal ini sekaligus menjadi pelajaran bagi kita tentang
pentinganya untuk menyeimbangkan kehidupan dan kematian, agar kita tidak mudah
diperbudak oleh kehidupan dunia.
Ketulusan dan kerelaan, termasuk
isteri Ibrahim (Siti Hajar) untuk menjadikan anak mereka sebagai kurban menjadi
bukti kebijaksanaan hidup yang lahir proses kecintaan mereka kepada Tuhannya,
dan akhirnya pertistiwa tersebut pun menjadi salah satu syiar Islam yang diabadikan
dalam perayaan hari raya idul Adha.
Tradisi
Pengurbanan
Pada mulanya tradisi pengurbanan
manusia adalah merupakan praktek kebudayaan masyarakat sebelum hadirnya Nabi
Ibrahim pada Abad ke 18 SM. Pengurbanan manusia untuk kepentingan Tuhan atau
dewa-dewa telah lazim terjadi pada pada masa itu.
Menurut Husain Muhammad, tradisi
tersebut adalah merupakan tradisi masyarakat paganisme. Demi meraih kebahagiaan
diri, para tokoh agama dengan mengatasnamakan Tuhan melakukan pembunuhan
manusia sebagai bentuk pengorbanan kepada-Nya. (Husein Muhammad; 2013).
Demikian juga, dalam beberapa sumber sejarah,
kita dapat menemukan praktik pengurbanan manusia. Misalnya di Mesir, gadis
cantik di persembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Di Kanaan, Irak, bayi-bayi yang
tak berdosa dipersembahkan kepada Dewa Baal. Demikian pula dengan Suku Aztec di
Meksiko, meyerahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. (Qurash
Shihab, 1994).
Demikian gambaran kehidupan masa
lampau, sebuah kehidupan yang sangat tidak manusiawi. Sehingga atas dasar itulah,
Allah SWT mengutus Ibrahim untuk menghentikan kebiasaan mengurbankan manusia
dengan mengatasnamakan Tuhan tersebut, tanpa harus menghilangkan tradisi
pengurbanan didalamnya.
Melalui Ibrahim, Allah meyerukan praktik
pengorbanan manusia diganti dengan menyembeli hewan tenak yang dapat memberi
mamfaat kepada sesama manusia. Hal ini bermula saat sembelihan Ibrahim diganti oleh
Allah dengan seekor Domba jantang.
Menurut sebahagian Ulama, digantinya mengambarkan
sisi kasih sayang Allah SWT terhadap manusia, akan tertapi didalamnya juga
tersirat makna untuk senantiasa mengurbankan sifat-sifat kebinatangan kita,
seperti sifat serakah, egois dan menindas.
Kerena ke empat sifat tersebutlah yang
kerap kali menjadi penyebab lahirnya masalah dan melahirkan kesensaraan hidup
bagi sebahagianummat manusia, serta meredupkan nilai-nilai kasih sayang dan
cinta damai diantara sesame manusia dan anak bangsa.
Kecintaan
Ibrahim
Kecintaan Ibrahim kepada anak semata
wayangnya tidaklah sama sekali mengalahkan kecintaanya kepada Tuhan. Kerelaan
keluarga Ibrahim untuk berkurban sangat patut untuk kita teladani disaat
sekarang ini, dimana saat relasi kemanusiaan kita tidak lagi didasarkan atas
kecintaan kepada Tuhan, melainkan atas dasar keegoisan dan nafsu serakah.
Cinta menjadi kekuatan yang cukup
penting dalam merajut kehidupan, karena dengan cinta kita dapat menyatu,
membangun kebersamaan serta mengukir prestasi. Olehnya itu, relasi kehidupan
yang tidak disarkan kepada kecinta kepada Tuhan, hanya akan melahirkan cinta
semu, dan boleh jadi atas nama itu manusia menjadi objek penindasan.
Tegok saja beberapa kasus yang pernah
terjadi dibangsa ini. Dimana sebahagian kelompok rela melakukan tindakan destruktif
terhadap kelompok lain yang mereka anggap sesat. Hal ini boleh jadi disebabkan
karena manusia lebih mencintai agama ketimbang Tuhan.
Demikian pula, kasus yang dialami oleh
Susan Jasmine yang ditolak oleh sebahagian warga, menjadi Lurah Lenteng Agung
hanya kerena persoalan ia beragama Nasrani. Padahal sebagai warga Negara, ia
juga berhak untuk mengabdi, berkarya dan berkurban untuk kemajuan bangsanya.
Hal ini sekaligus menjadi sebuah
penanda betapa kecintaan kita kepada manusia perlahan mulai redup. Cinta seolah
tak mampu lagi menyatukan dua pribadi yang berbeda, mendamaikan perbedaan
menjadi sebuah keindahan melainkan atas nama cinta manusia saling membunuh dan
menindas.
Olehnya itu, memahami relasi kehidupan
tentunya tidak hanya diukur dari sejauh mana kesetiaan itu di pertahankan,
melaikan juga sejauh mana pengorbanan dilaksanakan. Model kecintaan itulah yang
menjadi esensi pokok dari praktik pengorbanan nabi Ibarahim, sebab tidak ada
kehidupan yang manusiawi tanpa dilandasi oleh semangat kecintaan kepada Tuhan
sebagai sumber segala kasih sayang.
0 komentar:
Posting Komentar