Minggu, 27 Oktober 2013

Fundamentalisme dan Ilusi Negara Agama

Tribun Timur, Jumat, 25 Oktober 2013
 
Paham fundamentalisme dalam Islam bukanlah barang baru, melainkan telah ada dalam sejarah, tepatnya pada masa khulafaurasyidin. Sekolompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai kaum Khawarij yang sebelumnya juga dikenal sebagai pengikut setia Imam Ali, menjadi tonggak awal lahirnya kelompok fundamentalisme dalam Islam.

Kelompok ini berpandangann bahwa hukum Islam wajib ditegakkan, dan barang siapa yang tidak menegakkan hukum tersebut maka ia telah kafir dan halal darahnya (dibunuh). Atas dasar itulah, sehingga kelompok ini kemudian dikenal sebagai kelompok garis keras dalam Islam karena tidak jarang mengatasnamakan agama untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas atau kelompok yang tidak sejalan dengan mereka.

Seiring perjalanan waktu, secara simbolis kelompok ini memang sudah punah, tapi karakter dan cara berpikir mereka masih terus belanjut, dan nampaknya sebahagian dari paham mereka diwarisi oleh kalangan kelompok “Islam fundamentalisme modern”, yang salah satu cita-citanya adalah berupaya untuk mendirikan Negara Islam.

Baginya, Islam bukan hanya sekedar agama, tapi juga sebagai ideologi yang harus ditegakkan dalam kehidupan bernegara, karena sistem demokrasi yang diadopsi oleh sebahagian Negara yang mayoritas beragama Islam, tak terkecuali Indonesia adalah produk hukum kafir yang lahir dari rahim peradaban Barat, sehingga perlu untuk diislamkan.

Ruang Publik
Dalam upaya mengislamkan Negara, mereka terlebih dahulu merebut ruang publik, seperti masjid, musholah, lembaga pendidikan dan media informasi. Lewat ruang inilah mereka menyebarkan paham dan doktrinnya. Akibatnya, ruang publik pun tidak lagi menjadi ruang yang netral, melainkan telah menjadi arena dominasi dari ideogi tertentu.

Masjid adalah sarana yang paling efektif untuk menyebarkan paham mereka, karena disamping biayanya murah, juga banyak diakses oleh masyarakat umum. Selain itu, tidak jarang pula mimbar pengajian dan khutbah jumat kerap kali menjadi tempat pengkafiran serta sumpah serapah terhadap kelompok yang tidak sepaham dengan mereka.   

Paham demokrasi, Pancasila, libaralisme dan telebih lagi sekularisme dihujat habis-habisan, tanpa sedikitpun melihat sisi manfaat dari paham tersebut. Baginya, paham tersebutlah yang harus terlebih dahulu disingkirkan jika ingin memuluskan penegakan Negara Islam di bangsa ini.

Sebagaimana yang menjadi karkter paham fundamentalime, corak keberagamaan mereka pun sangat tekstualis dan ekslusif. Mereka menolak penafsiran terhadap teks-teks keagamaan yang bersifat dinamis dan kontekstual. Sehingga tidak mengherankan jika produksi tafsir mereka cenderung hitam-putih dalam melihat setiap persoalan.

Olehnya itu, membanyangkan adanya ruang dialog  yang terbuka atas berbagai penafsiran yang berbeda, khususnya yang terkait urusan agama dan sosial menjadi hal yang mustahil adanya. Padahal dalam kenyataannya, Islam adalah agama yang terbuka dan sangat menghargai dialog sebagai bahagian dari nilai-nilai demokrasi.

Sebuah Ilusi
Secara sederhana, paham fundementalisme ini dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu; Pertama, mereka yang berpaham eksklusif dan anti Barat. Meski kelompok ini, dalam melakukan gerakan sosialnya tidak cenderung destruktif. Namun dari segi gagasan mereka sangat revolusioner, khususnya dalam hal penegakan Negara Islam.

Padahal jika kita ingin mencermati lebih jauh, hakekat dan tujuan ber-negara adalah upaya untuk menciptakan kemaslahatan ummat, dan itu sangat tergantung dari cara seperti apa kemaslahatan tersebut dicapai. Menurut hemat kami, Negara Islam sebenarnya bukanlah tujuan, apalagi sebuah kewajiban, melainkan ia adalah sebuah cara untuk mencapai tujuan.

Kedua; kelompok yang berpaham radikal dan keras. Kelompok ini tidak hanya eksklusif dalam bersikap, melainkan juga sangat keras dalam menyikapi setiap persoalan, khususnya yang terkait masalah akidah. Selain itu, dalam konteks sosial, semangat mencegah kemungkaran tidak jarang dilakukan dengan jalan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan.

Demikian pula, apapun yang menjadi perintah dalam al-Quran harus ditegakkan dengan berbagai cara, dan kalau perlu dengan jalan kekerasan. Dari kelompok inilah lahir gerakan terorisme yang juga tidak jarang memakai istilah agama, seperti kata-kata jihad untuk melakukan aksi teror. Padahal jika ingin berjihad (perang) yang sebenarnya, mestinya tidak di negara ini, melainkan di negara-negara Islam yang terdzalimi, seperti Palestina dan lainnya.

Selain untuk mengacaukan kehidupan kebangsaan, gerakan terorisme ini juga sangat berpotensi merusak hubungan persaudaraan antar ummat beragama di bangsa ini. Sebab imbas dari gerakan mereka akan bermuara pada lahirnya dendam, kebencian dan kecurigaan diantara sesama anak bangsa. Sehingga bisa berakibat pada buyarnya eksistensi NKRI.  

Oleh karenanya, tantangan terberat yang dihadapi oleh Islam Indonesia dewasa ini bukanya hanya pada persoalan sosial seperti kemiskinan dan penganguran, melainkan juga kekerasan atas nama agama serta perdebatan tentang sistem Negara yang tidak berkesudahan dan semakin memperpanjang derita rakyat bangsa ini.

Pada akhirnya, sistem negara agama hanya akan menjadi ilusi di tengah kemelaratan hidup rakyat bangsa ini. Karena yang terpenting bagi mereka bukanlah sistem negara baru, melainkan kehidupan yang layak, sekolah yang murah, harga sembako yang terjangkau, serta akses kesehatan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan tanpa terkecuali.(*)

0 komentar: