Islam
tidak hanya dipahami dan diyakini sebagai agama yang benar bagi penganutnya,
melainkan juga diyakini sebagai agama universal yang sejalan dengan prinsip
kemanusiaan serta berlaku untuk semua zaman dan konteks kehidupan sosial manusia.
Meski
demikian, dalam faktanya, pemahaman tentang universalisme Islam ini tidaklah
tunggal, melainkan sangat beragam. Dan bahkan ada sebagian kelompok Islam
merasa diri paling benar dalam memahami universalime Islam tersebut. Sehingga mereka pun merasa berkewajiban untuk menegakkan
Islam secara kaffah.
Sesuatu
yang tidak didasarkan pada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), entah dalam bentuk budaya, paham dan sistem sosial-politik
dengan mudah dicap sebagai perbuatan bid’ah,
musyrik, khurafat dan kafir. Akibatnya, corak keberagamaan pun menjadi kaku
karena tidak mampu berdamai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal.
Inilah
salah satu model praktik keberagamaan masyarakat moderen yang kering dari nilai
subtansi, karena dominannya penonjolan formalitas dan simbolitas keagamaan
dalam konteks kehidupan sosial dan kebangsaan kita.
Islamisasi Negara
Gerakan
berlabel agama yang dimotori oleh beberapa kalangan banyak bermuculan setelah reformasi
bergulir. Meski kelompok ini tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
RI, namun mereka mengklaim diri paling berhak untuk menentukan corak dan sistem
kenegaraan dengan mengatasnamakan keistimewaan paham agama dan ideologi yang
mereka anut. Serta tidak jarang pula, kelompok ini memaksakan kehendak untuk
mengislamkan Negara dengan cara menganti ideologi Pancasila dengan ideologi baru
bernama Islam.
Baginya,
Islam bukan hanya sekedar agama yang berkutat pada ranah spiritual semata, melainkan
juga sebagai ideologi yang harus terintegrasikan dalam sistem kehidupan
bernegara, dengan alasan bahwa sistem Pancasila dan demokrasi di Indonesia
adalah sistem kafir yang bertentangan
dengan ajaran Islam, sehingga perlu untuk diislamkan.
Mengislamkan
Negara adalah merupakan esensi dari nilai-nilai keislaman, yang menurut mereka
bersifat universal (kaffah). Mereka
sama sekali tidak menyadari bahwa sisi universalime Islam tidak terletak pada
simbolitas ideologi, melaikan pada nilai yang dikandungnya, seperti keadilan,
kemanusiaan dan toleransi sebagai fundamen dasar lahirnya kemaslahatan ummat
manusia.
Islam Indonesia
Penyebaran
Islam di bangsa ini tidak dominan dalam
bentuk politik, melainkan lebih bersifat kultural dengan menjadikan nilai-nilai
kebudayaan sebagai sarana penyebaran Islam. Perpaduan antara nilai-nilai Islam
dengan kebudayaan lokal tersebut menjadi ciri khas Islam Nusantara yang diprakarsai
oleh para Wali Songo sebagai penyebar Islam pada saat itu.
Mereka menghadirkan Islam tidak hanya
dalam bentuk simbolis semata, melainkan juga dengan visi kemanusiaan yang
universal. Atau dalam artian, Islam tidak diajarkan dan dipraktikkan dalam
konteks spiritual-teologis saja, melainkan juga menjadi sumber inspirasi bagi
kehidupan sosial kemanusiaan, dengan menjadikan nilai-nilai keadilan, kedamaian
dan toleransi sebagai fundamen utama ajaran Islam.
Dalam konteks ini, kehadiran Islam tidak
dimaksudkan untuk menggusur nilai-nilai lokal, melainkan mencoba untuk
berdialog serta berupaya untuk mencari titik temu, tanpa harus saling melukai.
Lokalitas menjadi pijakan utama dalam upaya untuk membumikan nilai-nilai keislaman,
sementara keuniversalan nilai-nilai Islam tidak tercederai hanya kerena mengakomodasi
budaya lokal tersebut.
Model seperti inilah yang diistilahkan
oleh Gus Dur sebagai model gerakan Pribumisasi Islam yang populer pada tahun
1980-an. Konsep ini menawarkan praktik keberislaman dengan melihat sisi terpenting
dari tradisi untuk senantiasa menjadi pijakan.
Sebab Islam yang tidak menjadikan tradisi sebagai pijakan, maka ia akan tumbuh
menjadi kering dan kaku.
Olehnya itu, esensi dari gerakan ini
tidak terletak pada artikulasi keislaman yang serba seragam, apalagi serba Arab.
Melainkan lokalisasi Islam dengan model keberislaman yang tetap kukuh pada
identitas lokalnya. Singkatnya, kita tetap berislam dengan benar, tanpa harus
tercerabut dari identitas kebudayaan lokal kita. (Abdulrahman Wahid,
1999).
0 komentar:
Posting Komentar