Selasa, 26 November 2013

Islam Indonesia



Islam tidak hanya dipahami dan diyakini sebagai agama yang benar bagi penganutnya, melainkan juga diyakini sebagai agama universal yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan serta berlaku untuk semua zaman dan konteks kehidupan sosial manusia.
Meski demikian, dalam faktanya, pemahaman tentang universalisme Islam ini tidaklah tunggal, melainkan sangat beragam. Dan bahkan ada sebagian kelompok Islam merasa diri paling benar dalam memahami universalime Islam tersebut.  Sehingga mereka pun merasa berkewajiban untuk menegakkan Islam secara kaffah.
Sesuatu yang tidak didasarkan pada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), entah dalam bentuk budaya, paham dan sistem sosial-politik dengan mudah dicap sebagai perbuatan bid’ah, musyrik, khurafat dan kafir. Akibatnya, corak keberagamaan pun menjadi kaku karena tidak mampu berdamai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal.
Inilah salah satu model praktik keberagamaan masyarakat moderen yang kering dari nilai subtansi, karena dominannya penonjolan formalitas dan simbolitas keagamaan dalam konteks kehidupan sosial dan kebangsaan kita.
Islamisasi Negara
Gerakan berlabel agama yang dimotori oleh beberapa kalangan banyak bermuculan setelah reformasi bergulir. Meski kelompok ini tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan RI, namun mereka mengklaim diri paling berhak untuk menentukan corak dan sistem kenegaraan dengan mengatasnamakan keistimewaan paham agama dan ideologi yang mereka anut. Serta tidak jarang pula, kelompok ini memaksakan kehendak untuk mengislamkan Negara dengan cara menganti ideologi Pancasila dengan ideologi baru bernama Islam.
Baginya, Islam bukan hanya sekedar agama yang berkutat pada ranah spiritual semata, melainkan juga sebagai ideologi yang harus terintegrasikan dalam sistem kehidupan bernegara, dengan alasan bahwa sistem Pancasila dan demokrasi di Indonesia adalah sistem kafir yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga perlu untuk diislamkan.
Mengislamkan Negara adalah merupakan esensi dari nilai-nilai keislaman, yang menurut mereka bersifat universal (kaffah). Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa sisi universalime Islam tidak terletak pada simbolitas ideologi, melaikan pada nilai yang dikandungnya, seperti keadilan, kemanusiaan dan toleransi sebagai fundamen dasar lahirnya kemaslahatan ummat manusia.
Islam Indonesia
Penyebaran Islam  di bangsa ini tidak dominan dalam bentuk politik, melainkan lebih bersifat kultural dengan menjadikan nilai-nilai kebudayaan sebagai sarana penyebaran Islam. Perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan kebudayaan lokal tersebut menjadi ciri khas Islam Nusantara yang diprakarsai oleh para Wali Songo sebagai penyebar Islam pada saat itu.
Mereka menghadirkan Islam tidak hanya dalam bentuk simbolis semata, melainkan juga dengan visi kemanusiaan yang universal. Atau dalam artian, Islam tidak diajarkan dan dipraktikkan dalam konteks spiritual-teologis saja, melainkan juga menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan sosial kemanusiaan, dengan menjadikan nilai-nilai keadilan, kedamaian dan toleransi sebagai fundamen utama ajaran Islam.

Dalam konteks ini, kehadiran Islam tidak dimaksudkan untuk menggusur nilai-nilai lokal, melainkan mencoba untuk berdialog serta berupaya untuk mencari titik temu, tanpa harus saling melukai. Lokalitas menjadi pijakan utama dalam upaya untuk membumikan nilai-nilai keislaman, sementara keuniversalan nilai-nilai Islam tidak tercederai hanya kerena mengakomodasi budaya lokal tersebut.

Model seperti inilah yang diistilahkan oleh Gus Dur sebagai model gerakan Pribumisasi Islam yang populer pada tahun 1980-an. Konsep ini menawarkan praktik keberislaman dengan melihat sisi terpenting dari tradisi untuk senantiasa menjadi  pijakan. Sebab Islam yang tidak menjadikan tradisi sebagai pijakan, maka ia akan tumbuh menjadi kering dan kaku.

Olehnya itu, esensi dari gerakan ini tidak terletak pada artikulasi keislaman yang serba seragam, apalagi serba Arab. Melainkan lokalisasi Islam dengan model keberislaman yang tetap kukuh pada identitas lokalnya. Singkatnya, kita tetap berislam dengan benar, tanpa harus tercerabut dari identitas kebudayaan lokal kita. (Abdulrahman Wahid, 1999). 

0 komentar: