Selasa, 01 Oktober 2013

Badik Dalam Philosofi Kebudayaan Bugis-Makassar


Badik bukanlah istilah asing bagi sebahagian masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), sebab badik tidak hanya sekedar menjadi penanda identitas yang lahir dari warisan kultural masyarakat, melainkan juga kadang difungsikan sebagai alat kekerasan dengan jalan melukai dan menghabisi nyawa manusia. Meski demikian, badik juga kadang difungsikan sebagai landasan philosofi hidup serta menjadi penopan harga diri (siri’) yang melekat pada diri setiap orang.

Harga diri (siri’) adalah merupakan puncak tertinggi dari nilai kebudayaan masyarakat Sulsel yang senantiasa harus dijaga dan diperjuangkan, karena hanya dengan siri’lah eksistensi diri sebagai manusia akan ditemukan. Sehingga, tidaklah mengherangkan jika sebahagian orang-orang Sulsel (Bugis-Makassar) relah bersimbah darah dan bahkan tidak gentar dengan kematian demi untuk menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dalam presfektif lain, badik juga sering dimaknai sebagai ikon kebudayaan dan sekaligus menjadi penanda identitas keberanian serta prinsip hidup seseorang. Oleh karenanya, mereka yang bepergian (merantau) pada masa lampau tanpa dibarengi dengan sebila badik, maka sama halnya ia bepergian tanpa prinsip, karena badik adalah bahagian akhir dari sadaran “keselamatan hidup” saat berada di negeri rantauan.

Dalam konteks ini, badik telah menjadi bahagian dari philosofi hidup yang tidak bisa dipisahkan dari ruang kehidupan sosio-kultural masyarakat Bugis-Makassar. Philosofi hidup tersebut dikenal dengan istilah Tallu Cappa’, yang artinya tiga ujung yang harus senantiasa difungsikan jika ingin selamat di negeri rantauan, yaitu; Pertama; ujung lidah, sebagai alat komunikasi dengan tutur kata yang jujur dan sopan. Kedua; ujung kelamin, difungsikan untuk mengawini penduduk setempat (pribumi) sebagai bentuk pelanggengan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan serta menjadi bahagian dari kehidupan masyarakat setempat. Ketiga; ujung badik, badik menjadi jalan terakhir ketika segala persoalan yang dihadapi tidak bisa lagi diselesaikan dengan tutur kata yang santun, bijak dan penuh kekeluargaan.

Dari ketiga poin philosofi tersebut, kita dapat melihat posisi badik berada dibahagian akhir, itu menandakan bahwasanya badik menjadi penopan akhir dari episode kehidupan ketika sebuah persoalan tidak mampu lagi diselesaikan dengan jalan bijak dan beradab, atau dengan kata lain, badik bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan dan pelindung moral atau idealisme yang melekat pada diri setiap orang, serta menjadi sandaran hidup dalam upaya mempertahankan eksistensi diri sebagai manusia.

Meminjam pendapat Ishak Ngeljaratan, badik tidak hanya sekedar menjadi kata, tapi sudah menjadi istilah kultural bagi sebahagian masyarakat Sulawesi Selatan. Orang yang berbudaya badik akan malu berbuat kejahatan, melawan kejujuran (lempu) serta malu jika tidak sanggup menegakkan keadilan demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian (pacce/pesse) diantara sesama, khususnya dalam melindungi orang-orang yang teraniayah.

Oleh karenanya, menurut budayawan  Sulsel ini, fungsi badik adalah untuk menjaga harga diri  dengan memperjuangkan lempu/pessé melalui sikap, tutur kata dan tindakan nyata yang lebih bermoral dan beradab. Badik dicabut dengan tujuan untuk membelah kebenaran dan sekaligus menikam kejahatan yang melekat pada penjahat. Matinya penjahat bukanlah tujuan, melaingkan sebuah akibat, karena sesungguhnya kejahatanlah yang menjadi tujuan akhir dari tikaman badik tersebut.

Pendapat Ishak Ngeljaratan di atas mengambarkan eksistensi badik bukan lagi sesuatu yang kedengaran sangar di telinga, melainkan lebih pada upaya yang sangat manusiawi, dimana badik dilihat sebagai simbol ketegasan dan keberanian untuk melawanan kedzaliman serta dampak buruk yang ditibulkan dari  kedzaliman tersebut.  Prinsip hidup inilah yang sebenarnya harus mampu dipahami dan dibumikan dalam relasi kehidupan sosial manusia Bugis-Makassar dimanapun ia berada, sehingga dengan demikian akan tercipta pola hidup yang humanis, penuh khidmat dan keadilan.

Demikian juga, badik sebagai istilah yang boleh dikatakan klasik dalam kamus kehidupan masyarakat Bugis-Makassar hadir dalam ruang dan zaman yang berbeda dengan masanya, maka sejatinya harus mampu dimaknai ulang, dimana istilah badik tidak lagi menjadi inspirasi dari praktik kekerasan, melainkan menjadi prinsip hidup dalam upaya membagaun kehidupan yang lebih manusiawi. (Dimuat di Harian  Fajar, 2 Oktober 2013)





2 komentar:

Unknown mengatakan...

salam...
terima kasih atas ilmunya kaka,,,

Unknown mengatakan...

sama-sama pak Aras.. pokoknya harus belajar terus tidak boleh bosan