Bulan Ramadan
adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang
bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia
berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)
Ayat
tersebut diatas menjadi pijakan teologis akan keagungan bulan suci Ramadan karena di dalamnya
Allah Swt menurungkan kitab suci-Nya untuk dijadikan sebagai petunjuk dan
penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini, dan atas dasar itu
pula sebahagian ulama mengistilahkan Ramadan sebagai “bulan kitab suci”.
Bulan
Ramadan tidak bisa dilepaskan dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang dalamnya
tersimpan pesan-pesan moral seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian.
Pesan tersebut juga sekaligus menjadi misi pencerahan Nabi Muhammad Saw. Sehingga
kehadirannya pun senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh isi alam semesta,
sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi
seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).
Menurut
KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan
perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi
tuntunan hidup bagi segenap ummat muslim untuk senantiasa dijadikan sebagai landasan
utama dalam upaya membangun budaya toleransi.
Problematika Penafsiran
Meski
beberapa ayat dalam Al-Quran secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin untuk
senantiasa belaku adil, bersabar, bersikap ramah dan toleran terhadap perbedaan.
Namun dalam faktanya tidaklah demikian. Fenomena intoleransi dan radikalisasi agama
telah menyisakan berbagai persoalan serta menjadi penyebab lahirnya berbagai tindakan
kekerasan, kebencian, teror serta penghakiman terhadap komunitas lain yang dianggap sesat di bangsa ini.
Prilaku
tersebut tidak jarang menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai justifikasi atas tindakan
kekerasan. Sehingga keberadaan Al-Quran sebagai kitab suci yang sakral seolah menakutkan.
Fenomena tersebut terjadi dikarenakan pembacaan atau tafsir terhadap teks kitab
suci tidak didasarkan pada prinsip kerahmatan serta nilai-nilai kemanusiaan
yang tersimpan di dalamnya. Sehingga tidak jarang pula kita menemukan prilaku sebahagian
ummat beragama menjadi eksklusif, serta tidak toleran dikarenakan oleh penafsirannya.
Meski
demikian, kitab suci tetaplah menjadi sesuatu hal yang sangat fundamen dalam
setiap agama, sebab agama tanpa kitab suci sangatlah tidak mungkin, sebagaimana
kitab suci tanpa pembaca atau penafsir juga amat tidak mungkin. Namun yang menjadi
persoalan jika Al-Quran ditafsirkan tidak dalam konteks humanis, toleran dan
berkeadilan, maka pesan-pesan Al-Quran tersebut tidak akan menjadi rahmat bagi
kehidupan dan bahkan bisa menjadi beban dan sumber “penghambat” peradaban ummat
manusia.
Teks
Al-Quran memang selalu menyisakan ruang yang cukup problematik dalam dunia
tafsir ketika ia tidak mampu dipahami dengan baik. Sebab Al-Quran adalah
kumpulan huruf-huruf yang diam, ia hanya bisa berbunyi ketika dibunyikan oleh
pembaca atau penafsirnya. Ali Bin Abi Thalib, sebagaimana yang dikutif oleh
Ibnu Jarir Al-Thabari dalam kitabnya Tarikh
Al-Umam Wa Al-Muluk mengatakan bahwa
“Sesungguhnya Al-Quran adalah tulisan yang diantarai oleh dua pinggir bingkai.
Ia tidak bisa berbicara apa-apa, kehendak manusialah yang membuatnya berbicara”.
Lebih
lanjut, Khaled Abou el-Fadl mempertegas pendapat tersebut dengan mengatakan
bahwa Al-Quran sangat tergantung pada moralitas pembacanya. Ketika Al-Quran
dibaca atau ditafsirkan secara intoleran, maka besar kemungkinan ayat-ayat Al-Quran
akan melahirkan pesan-pesan intoleran seperti dendam, kebencian dan teror.
Peradaban
Toleransi
Al-Quran
merupakan sumber ajaran Islam yang terangkum dalam 30 just, serta terdiri dari
6666 ayat, terdapat 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya
toleransi dan perdamaian. Sementara ayat yang biasa dijadikan sebagai tolok
ukur tindakan kekerasan atau intoleransi oleh beberapa kelompok radikal hanya
176 ayat, dan itupun sangat terkait dengan kondisi sosial tertentu dimana ayat
tersebut diturunkan. Jika ayat-ayat Al-Quran ini diperas atau disederhakan,
maka akan ditemukan rangkumannya dalam surah Al-Fatihah, dan ketika surah Al-Fatihah
disederhanakan lagi, maka rangkumannya akan ditemukan dalam bacaan Basmalah (Bismilahirahmanirhohim)
(Zuhairi Misrawi; 2009).
Olehnya
itu, beberapa ayat dalam Al-Quran dimulai dengan bacaan Basamalah, hal tersebut menandakan bahwasanya betapa kasih sayang
adalah merupakan sifat Allah yang dituangkan dalam teks Al-Quran yang harus
senantiasa dibumikan dan menjadi pembuka segala kehidupan. Oleh karenanya,
terkait dengan perayaan Nuzulu Al-Quran,
kiranya pesan–pesan moral seperti toleransi, kasih sayang dan kedamaian
sebagaimana yang terdapat didalamnya dapat dijadikan sebagai momentum
pencerahan peradaban ummat manusia dan bangsanya.
Meminjam
pendapat Ibnu Khaldum, bangsa yang tercerahkan dan berperadaban maju adalah bangsa
yang senantiasa mampu membangun dan merawat budaya toleransi. Sebab toleransi
merupakan fitra kemanusiaan serta realitas kehidupan masyarakat pluralis dan
multikultur yang tidak bisa diabaikan keberadaannya oleh siapapun. Demikian
juga, toleransi merupakan keniscayaan hidup dalam sejarah peradaban ummat
manusia karena tidak ada peradaban yang langgeng dan tegak diatas kedzaliman
serta sikap arogansi yang mengabaikan prilaku toleransi.
0 komentar:
Posting Komentar