Minggu, 15 September 2013

Al-Quran dan Peradaban Toleransi; Catatan Untuk Peringatan Nuzulu Al-Quran




Bulan Ramadan adalah bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa yang menyaksikan bulan tersebut maka hendaklah ia berpuasa (QS Al- Baqarah: 185)



Ayat tersebut diatas menjadi pijakan teologis akan keagungan bulan suci Ramadan karena di dalamnya Allah Swt menurungkan kitab suci-Nya untuk dijadikan sebagai petunjuk dan penerang bagi kehidupan ummat manusia di persada bumi ini, dan atas dasar itu pula sebahagian ulama mengistilahkan Ramadan sebagai “bulan kitab suci”.



Bulan Ramadan tidak bisa dilepaskan dari historisitas (turunnya) Al-Quran yang dalamnya tersimpan pesan-pesan moral seperti keadilan, kedamaian, toleransi dan kemanusian. Pesan tersebut juga sekaligus menjadi misi pencerahan Nabi Muhammad Saw. Sehingga kehadirannya pun senantiasa menjadi rahmat bagi seluruh isi alam semesta, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “tidaklah aku utus Engkau (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta” (QS Al-Anbiya’: 107).



Menurut KH. Kalimuddin Siregar, istilah rahmat dalam ayat tersebut identik dengan perdamaian, kelembutan dan kasih sayang. Ayat tersebut juga sekaligus menjadi tuntunan hidup bagi segenap ummat muslim untuk senantiasa dijadikan sebagai landasan utama dalam upaya membangun budaya toleransi.



Problematika Penafsiran



Meski beberapa ayat dalam Al-Quran secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa belaku adil, bersabar, bersikap ramah dan toleran terhadap perbedaan. Namun dalam faktanya tidaklah demikian. Fenomena intoleransi dan radikalisasi agama telah menyisakan berbagai persoalan serta menjadi penyebab lahirnya berbagai tindakan kekerasan, kebencian, teror serta penghakiman terhadap komunitas lain yang  dianggap sesat di bangsa ini.



Prilaku tersebut tidak jarang menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan. Sehingga keberadaan Al-Quran sebagai kitab suci yang sakral seolah menakutkan. Fenomena tersebut terjadi dikarenakan pembacaan atau tafsir terhadap teks kitab suci tidak didasarkan pada prinsip kerahmatan serta nilai-nilai kemanusiaan yang tersimpan di dalamnya. Sehingga tidak jarang pula kita menemukan prilaku sebahagian ummat beragama menjadi eksklusif, serta tidak toleran dikarenakan oleh penafsirannya.



Meski demikian, kitab suci tetaplah menjadi sesuatu hal yang sangat fundamen dalam setiap agama, sebab agama tanpa kitab suci sangatlah tidak mungkin, sebagaimana kitab suci tanpa pembaca atau penafsir juga amat tidak mungkin. Namun yang menjadi persoalan jika Al-Quran ditafsirkan tidak dalam konteks humanis, toleran dan berkeadilan, maka pesan-pesan Al-Quran tersebut tidak akan menjadi rahmat bagi kehidupan dan bahkan bisa menjadi beban dan sumber “penghambat” peradaban ummat manusia.



Teks Al-Quran memang selalu menyisakan ruang yang cukup problematik dalam dunia tafsir ketika ia tidak mampu dipahami dengan baik. Sebab Al-Quran adalah kumpulan huruf-huruf yang diam, ia hanya bisa berbunyi ketika dibunyikan oleh pembaca atau penafsirnya. Ali Bin Abi Thalib, sebagaimana yang dikutif oleh Ibnu Jarir Al-Thabari dalam kitabnya Tarikh Al-Umam Wa Al-Muluk mengatakan bahwa “Sesungguhnya Al-Quran adalah tulisan yang diantarai oleh dua pinggir bingkai. Ia tidak bisa berbicara apa-apa, kehendak manusialah yang membuatnya berbicara”.



Lebih lanjut, Khaled Abou el-Fadl mempertegas pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa Al-Quran sangat tergantung pada moralitas pembacanya. Ketika Al-Quran dibaca atau ditafsirkan secara intoleran, maka besar kemungkinan ayat-ayat Al-Quran akan melahirkan pesan-pesan intoleran seperti dendam, kebencian dan teror.



Peradaban Toleransi



Al-Quran merupakan sumber ajaran Islam yang terangkum dalam 30 just, serta terdiri dari 6666 ayat, terdapat 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Sementara ayat yang biasa dijadikan sebagai tolok ukur tindakan kekerasan atau intoleransi oleh beberapa kelompok radikal hanya 176 ayat, dan itupun sangat terkait dengan kondisi sosial tertentu dimana ayat tersebut diturunkan. Jika ayat-ayat Al-Quran ini diperas atau disederhakan, maka akan ditemukan rangkumannya dalam surah Al-Fatihah, dan ketika surah Al-Fatihah disederhanakan lagi, maka rangkumannya akan ditemukan dalam bacaan Basmalah (Bismilahirahmanirhohim) (Zuhairi Misrawi; 2009).



Olehnya itu, beberapa ayat dalam Al-Quran dimulai dengan bacaan Basamalah, hal tersebut menandakan bahwasanya betapa kasih sayang adalah merupakan sifat Allah yang dituangkan dalam teks Al-Quran yang harus senantiasa dibumikan dan menjadi pembuka segala kehidupan. Oleh karenanya, terkait dengan perayaan Nuzulu Al-Quran, kiranya pesan–pesan moral seperti toleransi, kasih sayang dan kedamaian sebagaimana yang terdapat didalamnya dapat dijadikan sebagai momentum pencerahan peradaban ummat manusia dan bangsanya.



Meminjam pendapat Ibnu Khaldum, bangsa yang tercerahkan dan berperadaban maju adalah bangsa yang senantiasa mampu membangun dan merawat budaya toleransi. Sebab toleransi merupakan fitra kemanusiaan serta realitas kehidupan masyarakat pluralis dan multikultur yang tidak bisa diabaikan keberadaannya oleh siapapun. Demikian juga, toleransi merupakan keniscayaan hidup dalam sejarah peradaban ummat manusia karena tidak ada peradaban yang langgeng dan tegak diatas kedzaliman serta sikap arogansi yang mengabaikan prilaku toleransi.


0 komentar: