Pesantren adalah lembaga
pendidikan tertua di bangsa ini, ia hadir sejak ratusan tahun silam, tumbuh dan
berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Pesantren berasal
dari akar kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat
tinggal para santri. Menurut Zamakhsari, kata tersebut berasal dari bahasa
Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara istilah pondok berasal dari istilah fundug yang dalam bahasa arab berarti
hotel atau asrama.
Pondok Pesantren adalah tempat tinggal para santri untuk belajar ilmu-ilmu keagamaan dibawah bimbingan guru dan kyai. Ahlak dan sikap tawadhu menjadi tujuan utama pengatahuan dan
pengamalan hidup mereka, sehingga dengan demikian, ilmu pengetahuan pesantren
tidak hanya sebatas teori, melainkan juga menjadi aplikasi sosial dan basis
peradaban kemanusiaan dimana pesantren tersebut berada.
Secara
sederhana, ada empat hal yang menjadi ciri khas pesantren tradisional, yaitu; Pertama; Desa, Desa ini menjadi tempat
dimana para santri dan kyainya berinteraksi dengan masyarakat luar pesantren,
desa juga menjadi identitas dan sekaligus menjadi tempat dimana pesantren
tersebut didirikan. Kedua, kitab
Kuning, kitab kuning menjadi sumber refrensi dan landasan pengetahuan agama
bagi para santri dibawah bimbingan seorang guru, ustad atau kyai.
Ketiga, Mesjid, Mesjid di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat
ibadah, melainkan juga menjadi tempat untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu
agama, baik melalui wejangan kyai maupun melalui kitab kuning yang lebih
dikenal dengan istilah pengajian kitab selama bertahun-tahun lamanya. Keempat, pondok atau asrama, selain menjadi tempat tinggal, juga menjadi arena
interaksi bagi para santri, guna mengasah kemandirian dan kedawasaan hidup
mereka.
Dari
empat hal tersebutlah kalangan pesantren mengenal seluk-beluk kehidupan dengan
membentuk satu komunitas yang mandiri, berkepribadian religius dan senantiasa
menjadikan moralitas dan ketawadhuan
sebagai keteladanan hidup dalam berinteraksi. Ke empat hal ini pula yang
menjadikan pesantren bisa bertahan hidup di tegah kemoderenan zaman.
Pergulatan Zaman
Jika
dibandingkan dengan pendidikan moderen, dimana sarana pembelejaran seperti ruang
kelas yang dilengkapi dengan fasilitas mewah serta kurikulum yang sejalan
dengan pekembangan zaman, maka pola dan sistem pendidikan yang diterapkan di
pesantren boleh dibilang cukup sederhana
dan tradisional. Disebut demikian, karena pesantren disatu sisi masih teguh
dalam mempertahankan tradisinya, baik dalam hal pendidikan agama, budaya dan interaksi
sosial.
Dengan
adanya fasilitas yang cukup sederhana tersebut, bukan menjadi halangan bagi
seorang guru atau kyai dalam mengajar, sebab apalah artinya sarana pembelajaran
yang mewah jika hasilnya tidak mampu menciptakan manusia yang bermoral. Olehnya
itu, kalangan pesantren senantiasa mengedepankan ke-ihlasan dalam mengabdi,
hidup apa adanya (baca; bersyukur), serta jauh dari sikap elitis dan tetap
komitmen untuk mengedepankan nilai-nilai tawadhu dalam interaksi sosialnya.
Meski
demikian, bukan berarti pesantren tidak peduli degan perkembangna zaman,
apalagi harus pasrah dalam melihat zaman. Melaingkan tetap membaca perkembangan
zaman dengan kritis dan terbuka. Kalangan santri, baik yang sudah jadi alumni
maupun mereka yang masih nyantri di pondok pesantren tidak serta merta
menerimah keadaan zaman, apalagi jika hal tersebut bertentangan degan tradisi dan
budaya yang mereka pahami.
Kemoderenan
bagi kalangan pesantren bukanlah sesuatu hal yang menakutkan, apalagi harus
disikapi dengan penuh kecaman dan tindakan destrukrif. Melaingkan harus
diakomodasi dan didialogkan dengan tradisi yang sudah ada. Pola pikir tersebut
berangkat dari satu kaedah usul al-muhafazat ala--qadimi al-sholeh wa al-Akhdzu
bi Al-jadid Al-aslah, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; menjaga tradisi lama yang baik, dan
menagambil tradisi baru yang lebih baik. Kaedah ini menjadi landasan berpikir
yang cukup moderat dalam melihat perkembangn zaman, baik zaman yang dihembuskan
oleh medernisasi maupun globalisasi.
Demikian
juga, pola pikir ini tidak hanya berhenti pada gagasan yang sifatnya teoritis,
melainkan juga menjadi sikap hidup dalam upaya menapak zaman di mana mereka berada
dan dilahirkan. Intinya, menjadi orang
moderen tidak mesti harus kehilangan tradisi, apalagi kemoderenan sendiri lahir
dari proses pergulatan tradisi.
Membumikan Pradigma
Model
pemikiran tersebutlah yang hendak dibumikan oleh kalangan santri ditegah
kegalauan zaman, dimana saat sebahagian generasi muda bangsa ini terlelap dan terseret
oleh arus modernisasi dengan pola hidup
serta cara pandang liberal dan fundamental dalam menyikapi zaman. Cara pandang
liberalisme, tidak hanya menjadi sebatas pemikiran bagi kalangan muda bangsa
ini, melainkan telah menjadi gaya hidup baru,
dimana budaya individualis, rasional positivistic,
dan pola hidup bebas yang tidak lagi memperdulikan nilai-nilai agama dan
tradisi kebudayaannya.
Sementara
sikap hidup fundamentalisme dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi,
pun telah menajadi fenomena baru bagi sebahagian kalangan muda bangsa ini. Sikap
eklusif, merasa diri paling benar dalam beragama, serta lahirnya radikalisasi
tafsir agama dalam bentuk kekerasan menjadi ciri utama paham ini. Kedua pola
pikir dan gerakan ini adalah imbas dari pertarungan ideologi global.
Meminjam
analisis Samuel Huntington dalam
bukunya Clash Of Civilization, kedua ideologi tersebut dimaknai
sebagai pertarungan antara dua blok, yaitu blok Barat dan blok Timur Tengah. Dimana
corak keberagamaan dan cara pandang ala Barat lebih cenderung mengarah pada
liberalisme, sementara Timur Tengah cara pandang dan corak keberagamaannya
lebih cenderung ke wilayah fundamentalis. Akibatnya, identitas budaya dan
tradisi lokal bangsa ini pun semakin kabur dan tidak jelas arah dan fungsiya.
Sementara
disatu sisi, kosep ini sangat sulit untuk dibumikan dalam kenyataan hidup
masyarakat, karena struktur sosial masyarakat yang berbeda. Struktur dasar
masyarakat bangsa ini adalah apa yang lahir dari rahim budaya dan tradisinya sendiri, bukan apa yang datang dari luar. Oleh karenanya,
tidaklah berlebihan jika pesantren disebut sebagai benteng tradisi dan
pertahanan budaya masyarakat. Sebab selain tumbuh dan hidup bersama masyarakat,
pesantren juga menjadi perekat persatuan dan menjadi tamen imprealisme budaya,
baik yang diproduksi dari rahim liberal
ala Barat maupun Fundamentalisme agama ala Timur Tegah.
(Tribun Timur 8 Februari 2013)
0 komentar:
Posting Komentar