Minggu, 15 September 2013

Membumikan Pradigma Pendidikan Pesantren


Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di bangsa ini, ia hadir sejak ratusan tahun silam, tumbuh dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut Zamakhsari, kata tersebut berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara istilah pondok berasal dari istilah fundug yang dalam bahasa arab berarti hotel atau asrama.

Pondok Pesantren adalah tempat tinggal para santri untuk belajar ilmu-ilmu keagamaan dibawah bimbingan guru dan kyai. Ahlak dan sikap tawadhu menjadi tujuan utama pengatahuan dan pengamalan hidup mereka, sehingga dengan demikian, ilmu pengetahuan pesantren tidak hanya sebatas teori, melainkan juga menjadi aplikasi sosial dan basis peradaban kemanusiaan dimana pesantren tersebut berada. 

Secara sederhana, ada empat hal yang menjadi ciri khas pesantren tradisional, yaitu; Pertama; Desa, Desa ini menjadi tempat dimana para santri dan kyainya berinteraksi dengan masyarakat luar pesantren, desa juga menjadi identitas dan sekaligus menjadi tempat dimana pesantren tersebut didirikan. Kedua, kitab Kuning, kitab kuning menjadi sumber refrensi dan landasan pengetahuan agama bagi para santri dibawah bimbingan seorang guru, ustad atau kyai.


Ketiga, Mesjid, Mesjid di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, melainkan juga menjadi tempat untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama, baik melalui wejangan kyai maupun melalui kitab kuning yang lebih dikenal dengan istilah pengajian kitab selama bertahun-tahun lamanya. Keempat,  pondok atau asrama,  selain menjadi tempat tinggal, juga menjadi arena interaksi bagi para santri, guna mengasah kemandirian dan kedawasaan hidup mereka.

Dari empat hal tersebutlah kalangan pesantren mengenal seluk-beluk kehidupan dengan membentuk satu komunitas yang mandiri, berkepribadian religius dan senantiasa menjadikan moralitas dan ketawadhuan sebagai keteladanan hidup dalam berinteraksi. Ke empat hal ini pula yang menjadikan pesantren bisa bertahan hidup di tegah kemoderenan zaman.


Pergulatan Zaman

Jika dibandingkan dengan pendidikan moderen, dimana sarana pembelejaran seperti ruang kelas yang dilengkapi dengan fasilitas mewah serta kurikulum yang sejalan dengan pekembangan zaman, maka pola dan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren boleh dibilang cukup  sederhana dan tradisional. Disebut demikian, karena pesantren disatu sisi masih teguh dalam mempertahankan tradisinya, baik dalam hal pendidikan agama, budaya dan interaksi sosial.

Dengan adanya fasilitas yang cukup sederhana tersebut, bukan menjadi halangan bagi seorang guru atau kyai dalam mengajar, sebab apalah artinya sarana pembelajaran yang mewah jika hasilnya tidak mampu menciptakan manusia yang bermoral. Olehnya itu, kalangan pesantren senantiasa mengedepankan ke-ihlasan dalam mengabdi, hidup apa adanya (baca; bersyukur), serta jauh dari sikap elitis dan tetap komitmen untuk mengedepankan nilai-nilai tawadhu dalam interaksi sosialnya.

Meski demikian, bukan berarti pesantren tidak peduli degan perkembangna zaman, apalagi harus pasrah dalam melihat zaman. Melaingkan tetap membaca perkembangan zaman dengan kritis dan terbuka. Kalangan santri, baik yang sudah jadi alumni maupun mereka yang masih nyantri di pondok pesantren tidak serta merta menerimah keadaan zaman, apalagi jika hal tersebut bertentangan degan tradisi dan budaya yang mereka pahami.

Kemoderenan bagi kalangan pesantren bukanlah sesuatu hal yang menakutkan, apalagi harus disikapi dengan penuh kecaman dan tindakan destrukrif. Melaingkan harus diakomodasi dan didialogkan dengan tradisi yang sudah ada. Pola pikir tersebut berangkat dari satu kaedah usul  al-muhafazat ala--qadimi al-sholeh wa al-Akhdzu bi Al-jadid Al-aslah, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; menjaga tradisi lama yang baik, dan menagambil tradisi baru yang lebih baik. Kaedah ini menjadi landasan berpikir yang cukup moderat dalam melihat perkembangn zaman, baik zaman yang dihembuskan oleh medernisasi maupun globalisasi.

Demikian juga, pola pikir ini tidak hanya berhenti pada gagasan yang sifatnya teoritis, melainkan juga menjadi sikap hidup dalam upaya menapak zaman di mana mereka berada dan dilahirkan.  Intinya, menjadi orang moderen tidak mesti harus kehilangan tradisi, apalagi kemoderenan sendiri lahir dari proses pergulatan tradisi. 

Membumikan Pradigma

Model pemikiran tersebutlah yang hendak dibumikan oleh kalangan santri ditegah kegalauan zaman, dimana saat sebahagian generasi muda bangsa ini terlelap dan terseret oleh arus  modernisasi dengan pola hidup serta cara pandang liberal dan fundamental dalam menyikapi zaman. Cara pandang liberalisme, tidak hanya menjadi sebatas pemikiran bagi kalangan muda bangsa ini, melainkan  telah menjadi gaya hidup baru, dimana budaya individualis, rasional positivistic, dan pola hidup bebas yang tidak lagi memperdulikan nilai-nilai agama dan tradisi kebudayaannya.

Sementara sikap hidup fundamentalisme dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi, pun telah menajadi fenomena baru bagi sebahagian kalangan muda bangsa ini. Sikap eklusif, merasa diri paling benar dalam beragama, serta lahirnya radikalisasi tafsir agama dalam bentuk kekerasan menjadi ciri utama paham ini. Kedua pola pikir dan gerakan ini adalah imbas dari pertarungan ideologi global.

Meminjam analisis Samuel Huntington dalam bukunya Clash Of Civilization, kedua ideologi tersebut dimaknai sebagai pertarungan antara dua blok, yaitu blok Barat dan blok Timur Tengah. Dimana corak keberagamaan dan cara pandang ala Barat lebih cenderung mengarah pada liberalisme, sementara Timur Tengah cara pandang dan corak keberagamaannya lebih cenderung ke wilayah fundamentalis. Akibatnya, identitas budaya dan tradisi lokal bangsa ini pun semakin kabur dan tidak jelas arah dan fungsiya.

Sementara disatu sisi, kosep ini sangat sulit untuk dibumikan dalam kenyataan hidup masyarakat, karena struktur sosial masyarakat yang berbeda. Struktur dasar masyarakat bangsa ini adalah apa yang lahir dari rahim budaya dan tradisinya sendiri, bukan apa yang datang dari luar. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jika pesantren disebut sebagai benteng tradisi dan pertahanan budaya masyarakat. Sebab selain tumbuh dan hidup bersama masyarakat, pesantren juga menjadi perekat persatuan dan menjadi tamen imprealisme budaya, baik yang diproduksi dari rahim  liberal ala Barat maupun Fundamentalisme agama ala Timur Tegah.

(Tribun Timur 8 Februari 2013)    




0 komentar: