Minggu, 15 September 2013

Jenis Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki



Opini Tribun Timur 25 Desember 2012

Jenis Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki
Oleh; Suaib Amin Prawono

Dewasa ini, fenomena kekerasan seperti diskiriminasi, eksploitasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan kerap kali terjadi  dalam  berbagai aspek kehidupan sosial, baik dari segi  ekonomi, politik, agama dan budaya.  Fenomena tersebut pun semakin memperkecil ruang gerak kaum perempuan dalam dunia publik. Salah satu penyebabnya adalah kerana dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir serta cara pandang sebahagian masyarakat kita.

Budaya patriarki adalah sebuah cara pandang yang sifatnya klasik dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan. Akibatnya, lahir pola relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial dan bahkan sama sekali tidak membawa dampak keberuntungan bagi kehidupan kaum perempuan, sebab budaya patriarki ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melaikan juga telah berhasil mengkontruksi sebuah kebijakan yang mana kebijakan tersebut berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan.

Hal ini kita bisa lihat secara jelas dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU ini telah melahirkan legitimasi khusus bagi kaum laki-laki dimana laki-laki  diposisikan sebagai kepala rumah tangga, sementara perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga. Penghargaan terhadap eksisitensi kaum perempuan baik dari segi kebijakan maupun ekonomi semakin menemukan ketidak-jelasannya saat sistem ekonomi kapitalis menguasai dunia usaha.

Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal atau perusahaan mempekerjakan buruh murah yang sebahagian besar  adalah kaum perempuan. Buruh perempuan digaji lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung jawab terkait persoalan hak cuti bagi buruh perempuan.

Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebab perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah publik.

Selain itu, meningkatnaya anggka buta huruf bagi kaum perempuan, kematian ibu saat melahirkan, perdagangan kaum perempuan dan pekerja rumah tangga hampir tidak pernah mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah dan para penentu kebijakan bangsa ini.  Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama; tidak terbukanya ruang partisipasi serta minimnya keterlibatan kaum perempuan dalam hal pengambilan keputusan sehingga berakibat pada lahirnya sebuah kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan hidup mereka.
Kedua; adanya norma-norma budaya dan tafsir agama yang diskriminatif, dimana perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin menjadi salah satu penyebab sulitnya kaum perempuan mengambil peran dan posisi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan politik terkait dengan kepentingan dan kemajuan kaum perempuan dalam ranah sosial.
  
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dan hal ini kemudian dikontruksi dalam pakem budaya patriarki sehingga melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Padahal perbedaan jenis kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah merupakan kodrat Ilahiah yang tidak mungking bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapapun.

Dalam konsep analisis gender dijelaskan bahwa perbedaan tentang sifat, peran, posisi serta tanggung jawab perempaun dan laki-laki yang didasarkan pada jenis kelamin adalah sesuatu yang diciptakan oleh masayarakat dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia.

Olehnya itu, sangat naif  kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidak-adilan bagi kaum perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan berarti peran laki-laki dan perempuan dalam rana sosial harus pula dibeda-bedakan.

0 komentar: