Opini Tribun Timur 25 Desember 2012
Jenis
Kelamin Dalam Kontruksi Budaya Patriarki
Oleh;
Suaib Amin Prawono
Dewasa ini, fenomena kekerasan seperti diskiriminasi, eksploitasi
dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan kerap kali terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan sosial, baik dari segi
ekonomi, politik, agama dan budaya. Fenomena tersebut pun semakin memperkecil
ruang gerak kaum perempuan dalam dunia publik. Salah satu penyebabnya adalah
kerana dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir serta cara
pandang sebahagian masyarakat kita.
Budaya patriarki adalah sebuah cara pandang yang sifatnya klasik
dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-laki lebih
diutamakan ketimbang peran perempuan. Akibatnya, lahir pola relasi yang tidak
seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial dan bahkan sama
sekali tidak membawa dampak keberuntungan bagi kehidupan kaum perempuan, sebab budaya
patriarki ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melaikan juga telah
berhasil mengkontruksi sebuah kebijakan yang mana kebijakan tersebut berimbas
pada persoalan ekonomi kaum perempuan.
Hal ini kita bisa lihat secara jelas dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan, UU ini telah melahirkan legitimasi khusus bagi kaum laki-laki
dimana laki-laki diposisikan sebagai
kepala rumah tangga, sementara perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga. Penghargaan
terhadap eksisitensi kaum perempuan baik dari segi kebijakan maupun ekonomi
semakin menemukan ketidak-jelasannya saat sistem ekonomi kapitalis menguasai dunia
usaha.
Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal
atau perusahaan mempekerjakan buruh murah yang sebahagian besar adalah kaum perempuan. Buruh perempuan digaji
lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang
utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil,
melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan
malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung
jawab terkait persoalan hak cuti bagi buruh perempuan.
Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebab
perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, pemerkosaan
dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan
dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus
perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya
lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah
publik.
Selain itu, meningkatnaya anggka buta huruf bagi kaum perempuan,
kematian ibu saat melahirkan, perdagangan kaum perempuan dan pekerja rumah
tangga hampir tidak pernah mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah dan
para penentu kebijakan bangsa ini. Hal
ini disebabkan karena dua hal. Pertama; tidak terbukanya ruang partisipasi
serta minimnya keterlibatan kaum perempuan dalam hal pengambilan keputusan
sehingga berakibat pada lahirnya sebuah kebijakan yang tidak pro terhadap
kepentingan hidup mereka.
Kedua; adanya norma-norma budaya dan tafsir agama yang diskriminatif,
dimana perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin menjadi salah satu
penyebab sulitnya kaum perempuan mengambil peran dan posisi strategis untuk merumuskan
dan menentukan kebijakan politik terkait dengan kepentingan dan kemajuan kaum perempuan
dalam ranah sosial.
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin
masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan
dan laki-laki dan hal ini kemudian dikontruksi dalam pakem budaya patriarki
sehingga melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Padahal perbedaan
jenis kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah merupakan kodrat Ilahiah
yang tidak mungking bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapapun.
Dalam konsep analisis gender dijelaskan bahwa perbedaan tentang
sifat, peran, posisi serta tanggung jawab perempaun dan laki-laki yang
didasarkan pada jenis kelamin adalah sesuatu yang diciptakan oleh masayarakat
dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama,
politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu
yang lahir dari proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi
sosial masyarakat yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia.
Olehnya itu, sangat naif kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin
tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidak-adilan bagi kaum
perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan
berarti peran laki-laki dan perempuan dalam rana sosial harus pula dibeda-bedakan.
0 komentar:
Posting Komentar