Minggu, 15 September 2013

Penjajahan Belum Berakhir

Harian Fajar, 17 Agustus 2013

Penjajahan Belum Berakhir


Gerakan kolonialisme di bangsa ini berawal dari hasrat pemenuhan kebutuhan rempah-rempah yang saat itu mengalami kesulitan akibat jalur penutupan sutra oleh pasukan Islam saat perang salib (kapitalisme Awal) sedang berkecamuk serta intesnya bangsa portugis dan Spayol melakukan penjelajahan samudra.

Selain itu, kedatangan bangsa asing seperti Portugis, Spanyol dan Belanda ke Nunsantara merupakan bahagian dari persaingan dagang dan politik  antar Negara Eropa, salah satunya adalah persaingan antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bahagian dan Eropa sebagai titik sentral, sementara “bahagian Timur” dimiliki oleh Portugis dan “sebelah Barat” diserahkan kepada Spanyol.

Sejak zaman kekuasaan Singosari (1268-1292) yang saat itu dipimpin oleh raja terakhir Kartanegara, kesadaran akan bahaya kolonialisme sudah mulai muncul. Kartanegara mewaspadai pergerakan Kaisar Mongol Kubilai Khan yang mencoba menyebarkan pengaruh kekuasaannya ke wilayah Asia Tenggara pada tahun 1275. Kartanegara mengirim ekspedisi besar Pamalayu dan berhasil dituntaskan pada tahun 1286.

Fakta sejarah di atas membuktikan betapa kolonialisme adalah bahagian dari gerak global yang dibarengi dengan sifat keserakahan dan dominasi kekuasaan. Tantangan tersebut terus berlanjut hingga hari ini, dimana bangsa Indonesia diperhadapkan pada serbuan produk asing, penguasaan pasar dan hegomoni kultur.

Kesadaran Raja Singosari tersebut penting untuk direfleksikan kembali menjelang perayaan HUT  RI yang ke 68, sebab tantangan  bangsa kita  dewasa ini lebih kompleks dari pada sekedar ancaman bernuansa geopolitik seperti yang terjadi pada masa lampau. Demikian juga, ketiga serbuan tersebut cukup berpengaruh dan sangat berpotensi mengaburkan identitas kebangsaan dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat konsumtif dan hedonis.

Selain itu, fakta sejarah tersebut sekaligus memberikan sinyal bahwasanya tantangan bangsa kita kedepan akan semakin kompleks akibat pergumulan zaman yang menglobal. Pentas kehidupan global seolah memaksa setiap Negara-bangsa untuk mempersiapakan diri bergelut dengan berbagai macam produk global yang serba liar dan bebas. 

Sehingga fenomena ini pun  menjadi model penjajahan baru dan sangat berpotensi mematikan kreativitas dan menciptakan generasi bangsa bernalar instan. Efek negative yang timbulkan dari semua itu adalah homogenisasi kultur dalam tatanan masyarakat Indonesia yang pluralis dan multikultur.

Penjajahan Globalisasi
Dalam konteks kehidupan moderen, tatanan kehidupan di atas didesain dalam altar globalisasi yang corak kehidupannya dikendalikan oleh kepentingan ekonomi neoliberal (neolib) yang sasarannya adalah kaum elit  bangsa ini, sementara kalangan miskin hanya bisa menjadi penonton dan penikmat penderita dari hasil desain tersebut.

Perkawinan antara globalisasi dan neoliberalisme telah melahirkan dominasi yang luar biasa, khususnya bagi dunia ketiga, Neoliberalisme adalah kelanjutan dari paham liberalisme. Relasi antara neolib dan globalisasi saling menguatkan, sehingga sulit kiranya neolib berkembang tanpa ditopang oleh globalisasi.
Globalisasi dan Neolib adalah ideologi dominasi yang merupakan bahagian dari kelanjutan sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, hal ini dapat dilihat dalam tiga fase sejarah kebangsaan kita, yaitu:  Pertama; fase kolonialisme fisik yaitu penjajahan kolonial dalam bentuk fisik dan berlangsung selama berabad-abad lamanya oleh bangsa Portugis, Belanda dan Jepanag.

Kedua; fase penjajahan teori, fase ini tidak lagi dalam bentuk fisik, akan tetapi lebih kepada cara yang hegemonik melalui teori dan metodologi. Artinya pola atau sistem Negara yang yang baru merdeka harus mengikuti pola negara maju, salah satu contoh yang dapat kita lihat di Negara ini adalah pencanangan teori developmentalisme sebagai basis pengetahuan yang diprakarsai oleh orde baru yang imbasnya menjadikan  bangsa Indonesia yang dulunya lebih kental dengan kultur maritim bergeser menjadi agraris dan industrialis.
Ketiga; fase globalisasi kapitalisme, yang juga dikenal sebagai masa dominasi dan ekploitasi yang dilakukan secara massif, ekspansif dan mendunia dibawah satu sistem aturan main neoliberal.  Liberalisasi disegala bidang yang di-inisiasi oleh lembaga finansial global dan disepakati oleh rezim GATT dan WTO  menjadi bentuk dominasi atau penjajahan model baru untuk semua Negara-negara miskin dan tak terkecuali Indonesia.

Fenomena diatas semakin diperparah  dengan terceburnya sebahagian besar masyarakat bangsa ini dalam pola hidup individualistik serta semakin menipisnya kepedulian sosial diantara sesama (gotong royong). Akibatnya, kesenjangan sosial semakin mengaga ditandai dengan tingkat kemiskinan dan pengguran massal yang bertambah tiap tahun, hingga tindakan kriminal yang tidak terkendali dan menjadi problema yang cukup akut dalam dinamikan kehidupan bangsa kita saat ini.

Demikian pula halnya, rasa kemanusiaan dan kebangsaan pun semakin pudar akibat gilasan kehidupan sosial yang tidak berpihak kepada kepentingan kaum lemah yang pada akhirnya akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terkoyak. Meminjam ulasan Yonki Karman, Republik Indonesia dibangun diatas kebangsaan. Bangunan republik akan goyah disaat ikatan berbangsa lemah, oleh karenanya musuh bersama kita hari ini  bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan sergapan kemiskinan yang dalam jangka panjang akan mematikan kita. 

Sementara itu, kebangkitan agama di Negara ini belum memberikan dampak positif terhadap kehidupan kebangsaan, sebahagian agamawan kita lebih tertarik untuk membangun teologi yang menguatkan identitas kelompok dan doktrin teologi yang berkarkteristik aliran. Dari ummat untuk ummat, bangsa direduksi menjadi ummat, bukan dari ummat untuk bangsa, sehingga kebangkitan ummat tidak sertamerta menjadi kebangkitan bangsa.

Makna Kemerdekaan
Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi momentum bersejarah untuk segenap penghuni bangsa ini, dimana kemerdekaan Indonesia pada saat itu diproklamerkan oleh Soekarno dan Hatta. Pembacaan proklamasi kemerdekaan yang disampaikan  di depan ribuan rakyat saat itu mengundang decak kagum dan sekaligus “sinyal” akan berakhirnya kesengsaraan hidup rakyat Indonesia dari tindakan biadab  para kolonialis. Pertayaanya kemudian Benarkah bangsa ini sudah terlepas dari penjajahan……?

Saat kemiskinan, kemelaratan hidup serta marjinalisasi sosial, khususnya bagi kalangan minoritas bangsa ini belum menemukan ruang kebebasannya (kemerdekaan), maka pada saat itupula peringatan kemerdekaan hanya menjadi simbolitas dan ritual tahunan kenegaraan yang kering dari nilai-nilai kemerdekaan.  Apalah arti peringatan kemerdekaan jika pada kenyataannya rakyat sebagai pemilik kedaulatan masih terjajah di Negara sendiri?

Pada akhirnya, makna kemerdekaan tidak hanya cukup dimaknai sebagai bentuk kebebasan dari penjajahan fisik,  akan tetapi kemerdekaan yang terwujud dalam segala lini kehidupan rakyat kita, kebebasan dari dominasi ekonomi, politik, budaya dan berbagai belenggu kehidupan lainnya seperti kemiskinan, kemelaratan hidup, dan marjinalisasi sosial.



0 komentar: