Harian Fajar, 17 Agustus 2013
Penjajahan Belum Berakhir
Gerakan
kolonialisme di bangsa ini berawal dari hasrat pemenuhan kebutuhan
rempah-rempah yang saat itu mengalami kesulitan akibat jalur penutupan sutra
oleh pasukan Islam saat perang salib (kapitalisme Awal) sedang berkecamuk serta
intesnya bangsa portugis dan Spayol melakukan penjelajahan samudra.
Selain
itu, kedatangan bangsa asing seperti Portugis, Spanyol dan Belanda ke Nunsantara
merupakan bahagian dari persaingan dagang dan politik antar Negara Eropa, salah satunya adalah
persaingan antara Portugis dan Spanyol yang melahirkan perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi
dua bahagian dan Eropa sebagai titik sentral, sementara “bahagian Timur”
dimiliki oleh Portugis dan “sebelah Barat” diserahkan kepada Spanyol.
Sejak
zaman kekuasaan Singosari (1268-1292) yang saat itu dipimpin oleh raja terakhir
Kartanegara, kesadaran akan bahaya kolonialisme sudah mulai muncul. Kartanegara
mewaspadai pergerakan Kaisar Mongol Kubilai Khan yang mencoba menyebarkan
pengaruh kekuasaannya ke wilayah Asia Tenggara pada tahun 1275. Kartanegara
mengirim ekspedisi besar Pamalayu dan berhasil dituntaskan pada tahun 1286.
Fakta
sejarah di atas membuktikan betapa kolonialisme adalah bahagian dari gerak
global yang dibarengi dengan sifat keserakahan dan dominasi kekuasaan.
Tantangan tersebut terus berlanjut hingga hari ini, dimana bangsa Indonesia
diperhadapkan pada serbuan produk asing, penguasaan pasar dan hegomoni kultur.
Kesadaran Raja Singosari
tersebut penting untuk direfleksikan kembali menjelang perayaan HUT RI yang ke 68, sebab tantangan bangsa kita dewasa ini lebih kompleks dari pada sekedar
ancaman bernuansa geopolitik seperti yang terjadi pada masa lampau. Demikian
juga, ketiga serbuan tersebut cukup berpengaruh dan sangat berpotensi mengaburkan
identitas kebangsaan dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat konsumtif
dan hedonis.
Selain itu, fakta
sejarah tersebut sekaligus memberikan sinyal bahwasanya tantangan bangsa kita
kedepan akan semakin kompleks akibat pergumulan zaman yang menglobal. Pentas kehidupan
global seolah memaksa setiap Negara-bangsa untuk mempersiapakan diri bergelut
dengan berbagai macam produk global yang serba liar dan bebas.
Sehingga fenomena ini
pun menjadi model penjajahan baru dan
sangat berpotensi mematikan kreativitas dan menciptakan generasi bangsa bernalar
instan. Efek negative yang timbulkan dari semua itu adalah homogenisasi kultur dalam
tatanan masyarakat Indonesia yang pluralis dan multikultur.
Penjajahan
Globalisasi
Dalam konteks kehidupan
moderen, tatanan kehidupan di atas didesain dalam altar globalisasi yang corak
kehidupannya dikendalikan oleh kepentingan ekonomi neoliberal (neolib) yang
sasarannya adalah kaum elit bangsa ini,
sementara kalangan miskin hanya bisa menjadi penonton dan penikmat penderita
dari hasil desain tersebut.
Perkawinan antara globalisasi dan neoliberalisme telah melahirkan dominasi yang luar biasa, khususnya
bagi dunia ketiga, Neoliberalisme adalah kelanjutan dari paham liberalisme. Relasi
antara neolib dan globalisasi saling menguatkan, sehingga sulit kiranya neolib
berkembang tanpa ditopang oleh globalisasi.
Globalisasi dan Neolib adalah
ideologi dominasi yang merupakan bahagian dari kelanjutan sejarah dominasi dan
eksploitasi manusia atas manusia yang lain, hal ini dapat dilihat dalam tiga fase
sejarah kebangsaan kita, yaitu: Pertama;
fase kolonialisme fisik yaitu penjajahan kolonial dalam bentuk fisik dan berlangsung
selama berabad-abad lamanya oleh bangsa Portugis, Belanda dan Jepanag.
Kedua;
fase penjajahan teori, fase ini tidak lagi dalam bentuk fisik, akan tetapi
lebih kepada cara yang hegemonik melalui teori dan metodologi. Artinya pola
atau sistem Negara yang yang baru merdeka harus mengikuti pola negara maju, salah
satu contoh yang dapat kita lihat di Negara ini adalah pencanangan teori developmentalisme
sebagai basis pengetahuan yang diprakarsai oleh orde baru yang imbasnya
menjadikan bangsa Indonesia yang dulunya
lebih kental dengan kultur maritim bergeser menjadi agraris dan industrialis.
Ketiga;
fase globalisasi kapitalisme, yang juga dikenal sebagai masa dominasi dan
ekploitasi yang dilakukan secara massif,
ekspansif dan mendunia dibawah satu sistem aturan main neoliberal. Liberalisasi disegala bidang yang di-inisiasi
oleh lembaga finansial global dan disepakati oleh rezim GATT dan WTO menjadi bentuk dominasi atau penjajahan model
baru untuk semua Negara-negara miskin dan tak terkecuali Indonesia.
Fenomena diatas semakin
diperparah dengan terceburnya sebahagian
besar masyarakat bangsa ini dalam pola hidup individualistik serta semakin menipisnya
kepedulian sosial diantara sesama (gotong royong). Akibatnya, kesenjangan sosial
semakin mengaga ditandai dengan tingkat kemiskinan dan pengguran massal yang bertambah
tiap tahun, hingga tindakan kriminal yang tidak terkendali dan menjadi problema
yang cukup akut dalam dinamikan kehidupan bangsa kita saat ini.
Demikian pula halnya, rasa
kemanusiaan dan kebangsaan pun semakin pudar akibat gilasan kehidupan sosial
yang tidak berpihak kepada kepentingan kaum lemah yang pada akhirnya akan
membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terkoyak. Meminjam ulasan Yonki
Karman, Republik Indonesia dibangun diatas kebangsaan. Bangunan republik akan
goyah disaat ikatan berbangsa lemah, oleh karenanya musuh bersama kita hari
ini bukan lagi penjajah bersenjata,
melainkan sergapan kemiskinan yang dalam jangka panjang akan mematikan
kita.
Sementara itu,
kebangkitan agama di Negara ini belum memberikan dampak positif terhadap
kehidupan kebangsaan, sebahagian agamawan kita lebih tertarik untuk membangun
teologi yang menguatkan identitas kelompok dan doktrin teologi yang berkarkteristik
aliran. Dari ummat untuk ummat, bangsa direduksi menjadi ummat, bukan dari
ummat untuk bangsa, sehingga kebangkitan ummat tidak sertamerta menjadi
kebangkitan bangsa.
Makna
Kemerdekaan
Tanggal 17 Agustus 1945
menjadi momentum bersejarah untuk segenap penghuni bangsa ini, dimana
kemerdekaan Indonesia pada saat itu diproklamerkan oleh Soekarno dan Hatta. Pembacaan
proklamasi kemerdekaan yang disampaikan
di depan ribuan rakyat saat itu mengundang decak kagum dan sekaligus “sinyal”
akan berakhirnya kesengsaraan hidup rakyat Indonesia dari tindakan biadab para kolonialis. Pertayaanya kemudian Benarkah bangsa ini sudah terlepas dari
penjajahan……?
Saat kemiskinan,
kemelaratan hidup serta marjinalisasi sosial, khususnya bagi kalangan minoritas
bangsa ini belum menemukan ruang kebebasannya (kemerdekaan), maka pada saat
itupula peringatan kemerdekaan hanya menjadi simbolitas dan ritual tahunan
kenegaraan yang kering dari nilai-nilai kemerdekaan. Apalah arti peringatan kemerdekaan jika pada
kenyataannya rakyat sebagai pemilik kedaulatan masih terjajah di Negara
sendiri?
Pada akhirnya, makna
kemerdekaan tidak hanya cukup dimaknai sebagai bentuk kebebasan dari penjajahan
fisik, akan tetapi kemerdekaan yang
terwujud dalam segala lini kehidupan rakyat kita, kebebasan dari dominasi
ekonomi, politik, budaya dan berbagai belenggu kehidupan lainnya seperti
kemiskinan, kemelaratan hidup, dan marjinalisasi sosial.
0 komentar:
Posting Komentar