Oleh;
Suaib Amin Prawono
Dewasa ini, fenomena kekerasan, diskiriminasi, eksploitasi dan
ketidak-adilan terhadap kaum perempuan kerap kali terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan sosial kita, baik dari segi
ekonomi, politik, agama dan budaya. Sehingga hal tersebut mengakibatkan
terbatasnya ruang ekspresi perempuan dalam arena publik. Salah satu penyebab
dari semua itu adalah dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir
dan cara pandang sebahagian masyarakat kita.
Dalam budaya patriarki peran laki-laki lebih diutamakan ketimbang peran
perempuan. Sehingga berakibat pada lahirnnya pola relasi yang tidak seimbang
diantara keduanya dan bahkan sama sekali
tidak membawa dampak keberuntungan dalam lini kehidupan kaum perempuan sebab budaya
patriarki ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melaikan juga telah
berhasil mengkontruksi sebuah kebijakan yang mana kebijakan tersebut berimbas
pada persoalan ekonomi kaum perempuan.
Hal ini kita bisa lihat secara jelas dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan, UU ini telah melahirkan legitimasi khusus bagi kaum
laki-laki dimana laki-laki diposisikan
sebagai kepala rumah tangga, sementara perempuan diposisikan sebagai ibu
rumah tangga. Penghargaan terhadap eksisitensi kaum perempuan baik dari segi kebijakan
maupun ekonomi semakin menemukan ketidak-jelasannya saat sistem ekonomi
kapitalis menguasai dunia usaha.
Demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal
atau perusahaan mempekerjakan buruh murah yang sebahagian besar adalah kaum perempuan. Buruh perempuan digaji
lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang
utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil,
melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan
malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung
jawab terkait persoalan hak cuti bagi buru perempuan.
Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki, sebab
perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, perkosaan
dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan
dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus
perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya
lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah
publik.
Selain itu, meningkatnaya anggka buta huruf bagi kaum perempuan,
kematian ibu saat melahirkan, perdagangan kaum perempuan dan pekerja rumah
tangga hampir tidak pernah mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah dan
para penentu kebijakan. Hal ini disebabkan
karena dua hal. Pertama; tidak terbukanya ruang partisipasi kaum
perempuan dalam pengambilan keputusan. Minimnya partisipasi perempuan dalam hal
pengambilan keputusan ini mengakibatkan lahirnya kebijakan yang tidak pro
terhadap kepentingan hidup kaum perempuan.
Kedua; lahirnya norma-norma budaya dan tafsir agama yang diskriminatif
dimana perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin menjadi salah satu
penyebab sulitnya kaum perempuan mengambil peran dan posisi strategis untuk merumuskan
dan menentukan kebijakan politik terkait dengan kepentingan dan kemajuan
perempuan dalam ranah sosial.
Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin
masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan
dan laki-laki dan hal ini kemudian dikontruksi dalam budaya patriarki sehingga
melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Padahal perbedaan jenis
kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah merupakan kodrat Ilahiah
yang tidak mungking bisa dipungkiri keberadaannya oleh siapapun.
Dalam konsep analisis gender dijelaskan bahwa perbedaan tentang
sifat, peran, posisi dan tanggung jawab perempaun dan laki-laki yang didasarkan
pada jenis kelamin adalah sesuatu yang diciptakan oleh masayarakat dan dipengaruhi
oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum
yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari
proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat
yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia.
Olehnya itu, sangat naif kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin
tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidak-adilan bagi kaum
perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan
berarti peran laki-laki dan perempuan dalam rana sosial harus pula dibeda-bedakan.
0 komentar:
Posting Komentar