Rabu, 22 September 2010

Mebumikan Nilai-Nilai Toleransi Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Oleh: Suaib Amin Prawono

Hari Selasa kemarin, 21 September 2010 adalah peringatan Hari Perdamaian Sedunia. Melalui momentum tersebut berbagai wacana kebangsaan hadir dalam merespon kondisi kebangsaan kita, khususnya terkait dengan persoalan kerukunan antar umat beragama di Negara ini.

Masih hangat dalam ingatan kita akan sebuah Peristiwa menyakitkan dialami oleh saudara kita kalangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur. Sebuah peristiwa yang cukup memiriskan serta melukai tatanan pluralitas kehidupan bangsa ini, dan juga tindakan kekerasan tersebut menjadi indikator akan redupnya serta terancamnya tatanan kehidupan toleransi antar ummat beragama di Negara ini.

Sikap intoleran yang dilakukan oleh sebahagian kalangan mayoritas terhadap kalangan minoritas nampaknya masih sangat kuat dan sering terjadi, sehingga harapan kita akan terselenggaranya kehidupan beragama dalam bingkai kerukunan antar ummat beragama tidak kunjung terwujud. Justru yang muncul adalah kecaman, kekerasan, ketakutan dan kesengsaraan bagi kalangan minoritas, sebagaimana yang dialami oleh komunitas HKBP baru-baru ini.

Nikmat Tuhan berupa perbedaan agama yang tercurah ke bumi ini, sejatinya mampu menjadi perekat persaudaraan antar ummat beragama, namun di mata sebahagian kalangan nampaknya masih menjadi barang langka dan terkadang harus dibayar mahal dengan kucuran darah dan nyawa. Demikian juga jaminan kebebasan beragama, khususnya bagi kaum minoritas di Negara kita hanya sebatas mimpi yang tidak terwujud.

Toleransi sebagai syarat dan sekaligus sebagai pondasi kehidupan masyarakat majemuk (plural dan multikultur) seolah hanya menjadi wacana langit yang tidak membumi secara nyata dalam kehidupan ummat manusia, malah semuanya tergusur atas nama Tuhan, arogansi kelompok, dan ketidakdewasaan sebahagian kalangan dalam mengelola perbedaan.

Ironisnya lagi, Negara yang diharapkan sebagai penengah dalam masalah ini, nampaknya acuh dalam menyikapi persoalan tersebut, sehingga diktum kebebasan beragama menjadi liar serta dipenuhi oleh nuansa kekerasan.Di sisi lain, ketidaktegasan Negara atau para penentu kebijakan dalam memberikan jaminan kebebasan beribadah kepada kalangan minoritas di Negara ini menjadi bukti nyata bahwasanya pemerintah acuh dalam mengakomodasi kalangan minoritas dan diperparah lagi dengan lemahnya atau tidak leluasanya hukum pendirian rumah-rumah ibadah bagi kelompok minoritas, hal ini dapat dibuktikan dengan ketidaktegasan pemerintah dalam melaksanakan UU No. 11 tahun 2005 (mengenai hak-hak ekosob).

Kebencian

Kebencian menjadi barometer kehidupan bermasyarakat, Dikala kebencian menjadi penyakit social dalam kehidupan masyarakat, maka disaat itu pula cita-cita serta harapan sebahagian kalangan yang mendambakan kehidupan damai akan menjadi hampa. Demikian pula, tidak jarang penomena kekerasan terjadi dikarenakan kebencian, sehingga kebencian menjadi pemicu utama akan lahirnya konflik social.

Menurut sebahagian pengamat social,kekerasan yang terjadi di bangsa ini dapat dibagi dalam tiga hal, pertama; kekerasn fisik, model kekerasan ini terjadi karena dipicu oleh kebencian dan dendam yang terkadang mengatasnakan kepentingan politik, etnis, budaya dan agama. Kedua; kekerasan structural, kekerasan ini dipicu oleh ketidak adilan oleh Negara atau Negara itu sendiri sebagai prilaku kekerasan terhadap rakyatnya.

Ketiga, kekerasn kultural terkadang terjadi disebabpkan karena ketidak seimbangan serta produksi makna yang dominan dalam memproduksi makna kebenaran, sebagaiman yang pernah terjadi pada zaman orde baru.

Tapi benarkah bangsa kita adalah bangsa yang gandrung pada kekerasan atau bangsa yang sadis? Meskipun sebahagian sosiolog dan intelektual bangsa ini tidak yakin dengan pertanyaan tersebut tapi pada kenyataanya realitas yang terjadi dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini cukup memiriskan. Bangsa ini dicabik-cabik oleh oleh kekerasan yang terkadang hanya di picu persoalan sepeleh.Salahsatu diantarannya adalah kasus ledakan tabung gas dirumah-rumah warga di nilai sebagai bentuk kekerasan dan pembodohan penentu kebijakan kepada rakyatnya, kasusu teroris yang selalu hadir menghiasai media kaca TV, surat kabar dll.

Tentunya, kehidupan damai, aman dan tentram adalah dambaan bagi segenap manusia, olehnya itu salahsatu hal yang penting untuk diperhatikan adalah sikap toleransi. Toleransi tidak hanya dimaknai sebagai kepentingan teologis akan tetapi juga menjadi prilaku kepentingan social mebumikan toleransi.

Hemat kami, hal tersebut menjadi penting untuk kita sikapi bersama sebab hal ini dapat terkait dengan Konteks lokal kehidupan keberagamaan di Sulsel, dan tentunya sangat disayangkan jika sekiranya hal tersebut terjadi di daerah kita, sebab apapun modelnya memperjuangkan aspirasi dengan mengatasnamakan kekerasan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan

0 komentar: