Senin, 20 September 2010

Idul Fitri, Menuju Pencerahan Kemanusiaan

Idul Fitri hadir untuk memuliakan manusia yang beriman serta membuka pintu kemenangan akan terbebasnya ia dari belenggu keegoisan, perbudakan dunia yang hedonistik dan konsumeris. Sehingga kitapun terlahir sebagai manusia-manusia yang tercerahkan. Manusia yang mampu menemukan kebenaran sejati serta mampu menjadikan kebenaran untuk mencerahkan kehidupan sosialnya

Setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa, dengan meninggalkan makan dan minum, memperbanyak amal ibadah serta semua kemaksiatan dihentikan total dengan harapan untuk mencapai keridhaan Allah SWT selama Ramadan, maka tibalah saatnya kita selaku umat Islam merayakan hari kemenagan yang juga dikenal sebagai hari raya Idul Fitri.

Hari lebaran atau Idul fitri dirayakan dan disambut dengan lantunan takbir dan tahmid berkumandang serta luapan kegembiraan yang menggelora sebagai bukti bahwa hari kemenangan telah tiba. Hari kemenangan yang dijanjikan kepada mereka yang berhasil melawan hawa nafsunya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

Di negara kita, setiap tahun lebaran dirayakan dengan penuh kegembiraan oleh segenap umat Islam. Kegembiraan lebaran terkadang diekspresikan dalam bentuk kemewahan yang serba baru, serba mewah, dan serba lezat.Lebaran hadir dalam relung kehidupan masyarakat kita adalah lebaran yang mahal dan bermodal. Sehingga tanpa disadari, esensi lebaran tergeser oleh kekuatan modal dan industrialisme. Faktor inipun dilihat sebagai varian dari makhluk konsumeristik yang secara tidak langsung memudarkan eksistensi kita sebagai mahkluk kultural.

Kultur konsumen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Indra Tranggono, mewajibkan masyarakat untuk merayakan lebaran dalam logika kapitalis demi penikmatan atas benda-benda, jasa, dan hiburan. Tanpa hal tersebut, seolah lebaran menjadi hampa.
Akibatnya, masyarakat kita pun terseret dalam arus pemaksaan diri untuk memenuhi segala keinginan atas konsumsi yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Di sinilah kehebatan modal dalam mengacaukan logika masyarakat kita, sehingga lambat laun masyarakat kita pun tidak dapat membedakan antara keinginan dan kebutuhan dalam berlebaran. (Kompas, 18 September 2009).

Di sisi lain, model seperti ini juga menjadikan lebaran semakin mahal bahkan sulit dijangkau oleh semua kalangan, khusus bagi mereka yang miskin, kaum dhuafa dan kaum-kaum yang termarginalkan secara ekonomi dan sosial.

Meskipun dalam salah satu hadist Nabi disebutkan bahwa, "Ada dua kegembiraan bagi orang bagi orang-orang yang berpuasa, yaitu kegembiraan disaat ia berbuka (lebaran) dan kergembiraan di saat ia menghadap kehadirat Ilahi Rabbi dengan amalan puasanya". Bukan berarti kita harus bergembira dengan merayakan lebaran yang serba mewah dan membutakan kesadaran kita akan realitas sosial yang ada.

Olehnya itu, takbir dan tahmid yang kita kumandangkan pada hari lebaran sejatinya mampu membuka kesadaran batin kita akan seberapa banyak manusia-manusia miskin di sekitar kita hidup dalam kemelaratan. Seberapa banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah dikarenakan orang tua mereka tidak mampu membiayai sekolah anaknya yang kian hari semakin mahal.

Apalah artinya takbir dan tahmid yang kita kumandangkan pada hari yang fitrah tersebut, jika kenyataanya tidak mampu membuka mata hati dan kesadaran kita kepada sanak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Lalu apa arti puasa yang kita kerjakan sebulan penuh jika kenyataanya kita termasuk orang yang apatis terhadap realitas sisoial? Di mana makna kembali kepada fitra kemanusiaan dari semua itu?.

Kembali Fitrah

Dalam diri manusia terdapat ego dan hasrat untuk selalu mendominasi. Dominasi ini adalah salah satu bentuk keserakahan kita terhadap dunia dan terkadang membuat kita lupa akan hak-hak orang lain.Meminjam pendapat Rodea Julia Hambali, cinta diri yang melebihi takaran selalu mengandung benih hasrat untuk selalu mendominasi yang lain, akar dari perilaku dominasi adalah kesombongan dan keangkuhan manusia (Kompas, 18 September 2009).

Meski demikian, manusia sebagai mahluk teologis, dalam dirinya terdapat hasrat ketuhanan yang selalu ingin kembali kepada-Nya, dan ini merupakan kerinduan terdalam akan jiwa seorang hamba kepada Tuhannya, serta kesadaran seseorang pendosa untuk bertaubat kepada Tuhannya adalah merupakan fitra kemanusiaan sejati, karena pada akhirnya semua manusia akan kembali ke pangkuan Ilahi sang pemilik kehidupan.
Lantunan takbir dan tahmid di hari lebaran yang menggema dalam singgasana kehidupan ummat muslim telah melunturkan segalah ke-egoisan berserta kesombongan kita sebagai manusia.

Takbir dan tahmid yang dikumandangkan di hari lebaran adalah ungkapan kesadaran manusia yang beriman, bahwasanya Allah maha besar dan juga dengan lantunan takbir tersebut hadir untuk membakar segala bentuk keangkuhan serta ketamakan kita sebagai manusia. Sehingga dengan ini predikat kembali ke-fitrah dapat kita raih.
Olehnya itu, idul fitri hadir untuk memuliakan manusia yang beriman serta membuka pintu kemenangan akan terbebasnya ia dari belenggu keegoisan, perbudakan dunia yang hedonistik dan konsumeris. Sehingga kitapun terlahir sebagai manusia-manusia yang tercerahkan.Manusia yang mampu menemukan kebenaran sejati serta mampu menjadikan kebenaran untuk mencerahkan kehidupan sosialnya.

Secara bahasa idul berarti kembali, sedangkan fitra yang seakar dengan kata fitri berarti kesucian atau asal dari penciptaan kesucian. Sehingga, secara umum Idul Fitri diterjemahkan dalam arti pengembalian manusia kepada asal kehidupannya yang suci.Sedangkan secara kontekstual, makna kembali ke-fitra adalah kembali kepada kesederhanaan hidup, kasih sayang, serta tegaknya kejujuran dalam diri setiap insan mu'min. Pemaknaan Idul Firi seperti inilah yang akan membawa kita kepada makna minal aidzin walfaizin yakni orang-orang yang kembali menemukan nurani, jati diri, dan kehangatan Ilahi, meraih ketenangan secara spiritual, kebahagiaan keluarga serta kedamaian dengan sesama manusia.

Menjaga Kesucian

Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadistnya pernah bersabda bahwa begitu banyak orang mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari ibadah puasanya kecuali lapar dan haus saja.Tentunya, hadist ini tidak hanya berla.ku dan dimaknai selama proses perjalanan ibadah puasa berlangsung, akan tetapi hadist tersebut, juga mengambarkan kehampaan ibadah puasa bagi mereka yang tidak mampu menerjemahkan pesan-pesan moral ibadah puasa dalam kehidupan selanjutnya pasca puasa).

Sesungguhnya keseriusan dalam menjalankan ibadah puasa tidak hanya dibuktikan ketika kita berada dalam bulan Ramadan saja, akan tetapi pasca-Ramadhan adalah saatnya bagi kita selaku ummat muslim untuk menerjemahkan atau mengaktualisasikan makna-makna ibadah puasa tersebut dalam dinamika kehidupan keseharian kita.

Puasa Ramadan yang kemudian disusul dengan lebaran idul fitri sejatinya mampu kita maknai sebagai simbol pembebasan diri kita dari belenggu kehidupan hedonis dan materialistik, agar kita dan kehidupan kita benar-benar dalam ke-fitrahan.

Mudah-mudahan setelah Ramadan kita dapat mengimplementasikan pesan-pesan moral Ramadan, serta kita dapat membuka lembaran baru kehidupan, sehingga makna subtansi dari kesucian tidak hanya sebatas pada hari raya saja, akan tetapi ia terus terproduksi secara berkesinambunagn dalam kehidupan sosial kita.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H mohon maaf lahir dan batin.***

Di posting dari www.tribuntimur.com

0 komentar: