Minggu, 01 November 2009

MENGUJI KETANGGUHAN IMAN DITENGAH PROBLEMA KEMANUSIAAN
Iman adalah merupakan pondasi bagi setiap agama dan demikian pula halnya dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan ummat manusia yang semestinya harus dijawab oleh semua agama yang notabene menjadikan iman sebagai rujukan utama dalam menata dan menjawab sistem kehidupan manusia.
Dalam agama, Iman juga sering dipahami sebagai doktrin yang bersipat mutlak adanya, dengan iman manusia akan selamat baik di Dunia maupun akhirat. Iman adalah cahaya kehidupan, iman adalah harga mati yang senantiasa harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Masihkah iman diperlukan? Atau masihkah agama dibutuhkan dalam dunia modern sekarang ini? petanyaan ini hadir dalam ruang kemajuan tehnologi dan ilmu sains yang semakin pesat, yang juga telah berefek pada revolusi kehidupan manusia yang semakin cepat, serta demikian pula halnya dengan kehadiran tehnologi tersebut, ruang bathin dan ruang sakralitas kehidupan manusia tidak lagi menjadi penting, atau mungkin dianggap sebagai sesuatu yang sipatnya tahayyul, tidak rasional dan ketinggalan zaman.
Namun pada ruang lain, iman yang merupakan pondasi serta doktrin bagi setiap agama ternyata tidak sunyi dari kritikan. Menurut Sam Haris iman tidak pernah memberikan bukti nyata dalam menyelesaikan pelbagai persoalan sosial, akan tetapi iman telah menjadi penyebab kekisruhan sosial seperti perang, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Menurut Sam Haris, tidak ada bukti nyata bahwasanya iman berhasil menghentikan perang, narkotika, kerusakan lingkungan dst, justru sebaliknya atas nama iman orang saling membunuh, menjadi salah satau penyebab terjadinya perang dan bunuh diri. Dan juga tidak ada bukti nyata bahwasanya penyebab bom bunuh diri adalah merupakan efek dari kemiskinan, akan tetapi ia adalah pengaruh iman, oleh karenaya, tidak mengherangkan jika Haris menganjurkan untuk menigalkan iman menuju konsef pemahaman diri melalui meditasi.
Kritikan Sam Haris ini jika dipahami secara simbolik maka bisa melahirkan “kecurigaan” yang berlebihan dan dianggap sebagai gugatan terhadap agama dan juga bisa jadi dianggap sebagai pelecehan terhadap agama itu sendiri.
Hemat kami, Konsef keimanan, yang oleh sebagaian kalangan pemikir menjadi objek kritikan dikarenkan problema yang di timbulkan oleh “keimanan” manusia bersebrangan dengan esensi kehidupan manusia itu sendiri seperti perdamaian, penindasan dan keselamatan hidup. Iman telah menjadi “malapetaka” baru dalam kehidupan ummat manusia, Alih-alih dengan iman kemaslahatan dan kedamaian hidup semakin tercerahkan, tapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru mala semakin “beriman” seseorang dunia sosial semakin mencekam. Hal ini juga di karenakan karna konsef keimanan hanyalah sekedar buaian para pemuka agama yang berujung pada surga masa depan, dan melupakan pijakan realitas diamana iman itu berada dan dibangun.
Oleh karenanya merumuskan konsef keimanan ditengan kehidupan ummat manusia menjadi sebuah keniscayaan. Tolak ukur akan kemantapan iman itu di tentukan oleh realitasnya sendiri. Singkatnya, biarkan realitas menjadi penguji dan sekaligus menjadi saksi sejarah keimanan seseorang.
Tolak Ukur Keimanan
Ketika realitas menjadi tolak ukur dari keimanan seseorang, maka sudah pasti pijakan keimanan adalah realitas itu sendiri. Dalam Islam, kualitas keimanan seorang muslim tidaklah di ukur dari sejaumana manusia mengabdikan diri kepada Allah saja, akan tetapi, lebih dari pada itu, sejauhmana ummat muslim mampu mengimplementisikan nilai-nilia keimanan dalam realitas kehidupan keseharian ummat manusia.
Atas dasar pijakan itupulahlah yang menjadi penyebab lahirnya gagasan tentang teologi pembebasan di Amerika Latin yang di gagas oleh Gustav Guiterez, ia lahir dari ruang keagamaan Kristen yang diprakarsai oleh para fastor yang pro terhadap realitas kehidupan ummat manusia yang tersengsarakan. Mereka menghadirkan dan menerjemahkan nilai-nilai keagamaan (iman) dalam kehidupan nyata, guna membebaskan ummat manusia dari berbagai macam belenggu kehidupan dan kemelaratan hidup.
Bagi mereka, iman dalam agama tidak hanya sekedar untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan yang sudah teguh di atas singgasanaya melaui dzikir, pujian dan doa. Akan tetapi mereka mencoba mentrasformasikan pesan-pesan teologis dalam ranah kehidupan sosial. Oleh karenya, tidak ada gunanya mengagungkan Tuhan di tengah-tengah kemelaratan hidup ummat manusia, sama dengan tidak bergunanya pujian terhadap penguasa di tengah-tengah kehidupan rakyat yang melarat, miskin dan bodoh.
Hal yang sama juga perna di sampaikan oleh Rumadi dalam bukunya “Renungan Santri, dari jihad hingga kritik wacana agama” menurut Rumadi, “agidah (iman) tidak untuk di simpan dalam hati saja akan tetapi sejauh mana keimanan yang kita miliki mampu terkoneksi dengan realitas kehidupan sosial ummat manusia” (Rumadi, 2006)
Iman yang Terwariskan
Iman secara bahasa berasal dari akar kata amana, yu’minu, imanan yang berarti aman, damai dan percaya. Almarhum Nucholis Madjid dalam salah satu karyanya Islam dan Doktrin Perdaban, beliau berpendapat, bahwasanya pemaknaan iman yang berarti percaya atau yakin kurang tepat, sebab jika makna tersebut yang menjadi arti iman maka Syaitanpun percaya dan yakin akan adanya Tuhan, justru atas dasar keyakinanlah (baca; percaya) sehingga Syaitan melakukan penghiatan kepada Tuhan.
Olehnya itu, keyakinan yang harus dipahami dan dilakoni oleh manusia tentunya keyakinan yang bukan hanya sebatas percaya atau yakin akan adanya Tuhan akan tetapi juga harus mampu memberi danpak nyata dalam kehidupan sosial manusia. Tentunya keimanan yang mampu menciptakan tatanan kehidupan yang damai, aman, dan amanah untuk sesama ummat manusia. Sehingga secara umum defenisi keimanan menurut Jalaluddin Rakmat adalah: iman adalah enggkau tidak melukai atau menyakiti saudaramu sesama manusia baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Dalam kehidupan keberagamaan kita, sebagian masyarakat masih memahami bahwasanya keimanan yang mereka yakini adalah sesuatu yang terwariskan dari kehidupan masa lalu. Masa lalu dalam artian adalah nilai-nilai atau paham yang diwarisan oleh nenek moyang mereka tanpa ada upaya resev dalam menerimahnya. Ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab sehubungan dengan hal ini, yaitu, apakah kita akan menerima begitu saja warisan orang-orang terdahulu kita atas dasar kesetiaan terhadap pendahulu kita? Apakah dengan mewariskan doktrin keimanan yang muaranya kepada sikap eksklusif akan menjadikan mereka semakin berperadaban? Pertanyaan ini kita harus mampu jawab secara tuntas.
Sejatinya keimanan yang kita warisi dari orang terdahulu kita haruslah di uji cobakan dengan problema sosial masyarakat kita, sebab keimanan sangat ditentukan oleh sejauah mana implementasi nilai-nilai keimanan kita dalam tindak prilaku kehidupan sosial. Mampukah nilai-nilai keimanan kita di perhadapkan pada realitas kemiskinan, penindasan dan konflik sosial?
Problema kemanusiaan seperti kemiskinan, konflik sosial dan ekploitasi kemanusiaan adalah merupakan tindakan yang bersebrangan dengan nilai-nilai agama. Konsep keimana yang ditawarkan oleh setiap agama haruslah mampu berdialektika dengan realitasnya serta mampu melahirkan solusi cerdas guna melahirkan konsep dan paraksis pembebasab untuk segenap ummat manusia,,, semoga saja. Wallahul a’lam.

0 komentar: