Minggu, 01 November 2009

LAILATUL QADAR DAN MASA DEPAN SOSIAL BANGSA KITA

Telah diketahui bersama, bahwasanya Ramadan adalah merupakan bulan yang paling mulia diantara sekian banyak bulan yang ada, dikarenakan dalam bulan Ramadan ibadah hamba Allah dilipatgandakan pahalanya, didalamnya diturunkan Alqur’an yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi segenap umat manusia yang ada di bumi ini, serta didalamya pula terwujud interaksi sosial yang membebaskan antara yang kaya dan miskin dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan hidup melalui zakat fitrah. Olehnya itu, Ramadan sering dimaknai sebagai bentuk ibadah yang bergerak pada dua ruang, yaitu ruang transcendental yang sipatnya indivisualistik dan ruang sosial yang ditandai dengan membangun pola hubungan yang humanis diantara sesama umat manusia.
Di sisi lain, keistimewaan bulan Ramadan, karena didalamya terdapat satu malam kemulian, yaitu malam lailatul qadar, malam yang lebih mulia dari pada 1000 bulan, sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an surah al-qadar ayat 3. Lailatul Qadar inilah yang dinanti-nantikan oleh segenap umat Islam di seluruh penjuruh dunia, bahkan mereka rela tidak tidur semalam suntuk hanya untuk beribadah dan menantikan kehadiran malaikat Jibril sebagai pembawa pesan-pesan kemulian lailatul qadar.
Lailatul Qadar yang menurut sebahagian pendapat ulama di sebutkan bahwa, Lailatul Qadar turun di 1/3 akhir bulan Ramadan dan biasanya turun pada malam-malam ganjil, dan pada malam itu jugalah di anjurkan untuk memperbayak ibadah, dzikir, ruku’ dan sujud kepada Allah.
Malikat jibril ditugaskan oleh Allah untuk turun ke Bumi manusia guna menebar salam kedamaian hingga terbit fajar, sebuah pesan kedamaian dan keberkahan bagi hamba Allah yang senantiasa bertaqarrub kepadanya di malam sepertiga terakhir bulan Ramadan. Beruntunglah bagi mereka yang mendapatkan malam keberkahan tersebut.
Sebahagian dari kita masih beranggapan bahwasanya mereka yang eksis beri’tikaf, berdzikir, ruku dan sujud di malam Qadar tersebut adalah mereka yang mendapatkan karunia dan keberkahan Lailatul Qadar. Padahal banyak keterangan dan hadist yang mengatakan bahwasanya malaikat juga datang kepada mereka yang melakukan kerja-kerja sosial di malam Qadar tersebut.
Lailatul Qadar yang hadir di bumi manusia untuk menebar salam keselamatan, tidak hanya diperuntukkan kepada mereka, orang-orang yang memperbanyak dzikir dan ibadah ritual pada malam qadar tersebut, akan tetapi juga kepada mereka yang eksis melakukan ibadah-ibadah sosial, seperti meringankan penderitaan orang lain dari belenggu kemiskinan, membebaskan manusia dari kedzaliman hidup serta orang yang berupaya untuk selalu menciptakan suasana kedamaian dalam kehidupan, mereka-mereka inilah yang juga disalami oleh malaikat yang di utus oleh Tuhan pada malam Qadar tersebut.
Sehubungan dengan itu, menarik kiranya untuk mengutip salah-satu hadist Nabi Muhammad Saw, yang artinya “bahwasanya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah seorang hamba Allah yang di dalammya terdapat Anjing”. Jika hadist ini dikaitkan dengan ritual I’tikaf yang rutin dilakukan oleh seorang hamba Allah pada malam Qadar maka kita akan menemukan makna social yang terkandung dalam ibadah I’tikaf.
Imam Al-Gazali memaknai hadist tersebut secara kontekstual. Beliau berpendapat bahwasanya “Anjing” yang di maksudkan dalam Hadist tersebut bukanlah Anjing dalam pemaknaan secara lahiriah, akan tetapi yang dimaksud adalah karakter kemanusiaan yang bertabiat seperti Anjing, sebagaimana di ketahui bahwasanya tabiat Anjing lebih cenderung kepada keserakahan dan ketamakan. Olehnya itu jika nilai keserakahan masih tertanam dalam hati manusia, maka selama itu pula malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah mereka untuk memberi dan menebar salam keberkahan.
Hemat kami, Hadist tersebut mencoba menggugat fenomena kehidupan umat manusia, khusunya umat Islam yang dihegemoni oleh sifat-sifat keserakahan dan ketamakan yang bisa berakibat pada pola interaksi sosial yang menindas dan mengeksploitasi aset-aset sosial demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Sifat tamak dan serakah adalah merupakan kanker ganas yang mengancam kehidupan kita. Imam Al-Gazali berpesan bahwa : “ketahuilah bahwasanya sumber segala penyakit adalah syahwat perut”, syahwat perutlah yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga dan dengan syahwat perut pula sehingga para koruptor dijebloswkan kedalam penjara. Dengan syahwat perut pulalah keresahan dan kemiskinan sosial terjadi dimana-mana dan bahkan telah mengancam eksistensi kelangsungan hidup bangsa ini.
Sehingga salah satu dari sekian banyak usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan rana kehidupan sosial bangsa ini adalah, Pertama, memperkuat peran serta independesi hukum untuk mengadili semua tindak kejahatan korupsi tanpa pandang bulu. Kedua, kesadaran diri masing-masing untuk mengedalikan diri dan hawa nafsu serta mampu mengikis habis dan membunuh sifat-sifat serakah dan ketamakan yang adad pada diri kita.
Ruang sosial kita telah terkoyak diakibatkan oleh sebuah keserakahan yang di lakoni oleh sekolompok umat manusia yang tidak peduli serta enggan bertanggung jawab akan masa depan bangsa ini. Jika dalam ayat Al-Qadar terdapat ayat yang bermakna “lailatul Qadar lebih mulia dari seribu bulan” maka tidak ada salahnya jika ayat ini kemudian dijadikan sebagai inspirasi kehidupan dalam menata kelangsungan kehidupan sosial Bangsa kita.
Ayat tersebut di maknai sebagai pesan moral serta inspirasi sosial bahwa memperbaiki kehidupan bangsa jauh lebih baik dari pada kita beribadah seribu bulan. Memperbaiki bangsa dalam artian menyelamatkan kehidupan bangsa ini agar terhindar dari kehancuran, kehidupan rakyat yang tidak melarat, dan bahkan bisa di warisi secara utuh oleh ribuan generasi atau lebih di masa-masa yang akan datang. Sudah cukuplah bangsa ini dari tiap masa dan periode kehidupan untuk mewariskan utang yang jumlahnya trilyunan rupiah kepada generasinya, serta kemiskinan dan kemelaratan yang berlapis.
Orang bijak pernah berpesan bahwasanya Negara beserta ruang sosial yang kita tempati hari ini bukanlah milik kita akan tetapi milik generasi kita di masa yang akan datang, Negara dan ruang sosialnya hanyalah sekedar amanat yang di titipkan Tuhan kepada kita dan yang pastinya akan kita wariskan kepada para penerus bangsa ini.
Pada akhirnya, inti dan makna dari Lailatul Qadar adalah pengsucian diri dari segala bentuk kehinaan dan mafsadat (kerusakan). Tuntunan untuk melakukan I’tikaf, ruku, sujud di malam Lailatul Qadar tiada lain adalah semata-mata untuk mensucikan diri kita dari segala bentuk penyakit dunia, seperti keangkuhan, kesombongan, keserakahan dan ketamakan dalam hidup. Hal tersebut menjadi penting untuk kita pahami bersama dikarenakan kesucian diri adalah merupakan modal dasar dalam mentrasformasikan diri dan kehidupan kita dalam dinamika social, karna Pada dasarnya pesan-pesan moral agama tiada lain adalah untuk kepentingan umat manusia bukan kepentingan Tuhan, Wallahul A’lam

0 komentar: