Oleh; Suaib Amin Prawono[2]
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya
krisis yang terjadi dibangsa ini adalah buah dari krisis ekonomi dan kepemimpinan.
Kedua krisis ini menjadi salahsatu peyebab berbagai persoalan bangsa terjadi
dan semakin menumpuk dari tahun ke tahun dan tidak mampu diselesaikan dalam
setiap pergantian episode kepemimpinan. Olehnya itu, pepatah lama yang
mengatakan bahwa “hanya keledai yang bisa jatuh pada lubang yang sama” nampaknya
menjadi istilah yang pas untuk kita disematkan terhadap sistem kepemimpinan
bangsa ini.
Persoalan yang cukup akut, yang
terkait dengan sistem kepemimimpinan adalah persoalan mental, dimana sebahagian
pemimpin di bangsa ini tidak punya kepedulian serta sikap yang tegas terhadap
berbagai persoalan yang terjadi. Justru bangunan sistem kepemimpinan di bangsa
ini seolah menjadi “moster” yang menakutkan dan melumat habis semua sistem dan
struktur kenegaraan kita. Sehingga sturuktur dan sistem kenegaraan pun menjadi
lumpuh, semerawut dan berbuah penderitaan yang tiada akhir bagi rakyat kecil
bangsa ini.
Akibat dari semua itu, dalam
pentas dunia, bangsa kita kehilangan martabat dan harga diri. Rakyat kitapun
seenaknya saja diperlakukan secara semena-mena oleh bangsa lain. Lihat saja
beberapa kasus yang pernah terjadi, seperti kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi dan Malasia, pahlawan devisa
negara ini diperlakukan secara semena-mena oleh majikannya, tempat mereka
bekerja dan mengabdi. Mereka diperlakukan tidak obahnya seperti binatan, disiksa,
distrika, di usir, tidak diberi upa, dan bahkan ada yang sampai diperkosa dan dibunuh.
Dan lagi-lagi persoalan ini tidak pernah mendapat respon dari pihak pemerintah.
Demikin juga dengan kekayaan
alam yang melimpah di bangsa ini, hampir semuanya dijarah oleh korporasi global
yang dimotori oleh bangsa Asing, dan mengakibatkan sebahagian generasi bangsa
Indonesia menjadi buru di negeri sendiri. Sungguh ironis kehidupan bangsa kita,
bangsa yang seharusnya mampu memamfaatkan kekayaan sumber daya alamnya untuk kesejahteraan
rakyat, mala diserahkan kepada bangsa lain untuk dikelolah. Menurut Gusdur, hal
ini disebabkan karena pemimpin bangsa ini penakut dan lebih suka melayani
bangsa asing ketimbang melayani rakyat sendiri. Akibatnya, nasionalisme yang
nota bene menjadi ideologi kebangsaan kita nyaris hilang, karena tergadai oleh berbagai
kepentingan materi, politik, kelompok dan faksionalisasi modal asing.
Selain itu, pencurian dan
perampokan aset kekayaan negara secara berjamaah juga tidak pernah mendapat
respon serius dan tegas dari pemimpin bangsa ini. Bahkan seolah hal tersebut
dibiarkan begitu saja terjadi tanpa ada upaya sedikitpun untuk
menyelesaikannya. Fenomena ini juga sekaligus menjadi salah satu bukti betapa
pemimpin bangsa ini mengalami keterpurukan moral yang pada akhirya melahirkan
kekecewaan dan ketidak percayaan rakyat bangsa ini terhadap pemimpinnya. Lalu
apa arti sebuah negara dan seorang pemimpin jika kepercayaan rakyatnya sudah
mulai memudar? tidakkah untuk membangun bangsa yang bermartabat ditentukan oleh
sikap dan kepatuhan rakyat terhadap pemimpinnya?
Olehnya itu, tidaklah
mengherangkan jika isu kudeta menjadi senjata yang ampuh ditelorkan oleh beberapa
kalangan, khususnya mereka yang merasa dirugikan. Tapi masalahnya kemudian,
apakah persoalan bangsa ini akan selesai dengan kudeta? Dan sudah berapa kali
bangsa ini gonta ganti pemimpin, namun hasilnya tetap sama dan bahkan pada
aspek tertentu malah semakin mengalami kemunduran?
Tentunya tulisan ini tidak
bermaksud untuk menyoroti secara tuntas persoalan kepemimpinan bangsa, apalagi
untuk menawarkan solusi dari persoalan tersebut. Tulisan ini hanya sekedar pengantar
dan sekaligus sebagai bentuk refleksi akan cara pangdang kita terhadap sebuah
fakta sosial yang terkait dengan persoalan kepemimpinan. Dan dari refleksi
tersebut kita akan mampu memahami persoalan besar yang tentunya dilahirkan dari
persoalan kecil yang terkadang dianggap sepele oleh sebahagian orang.
Membaca Mentalitas Kepemimpinan
KPM-PM
Kesatuan Pelajar Mahasiswa Polewali
Mandar (KPM-PM) adalah organisasi daerah yang sifatnya legal, bisa diibaratkan
sebagai negara kecil yang tidak pernah sunyi dari barbagai masalah. Stagnasi
kepemimpinan dalam kubu KPM-PM sejak dari dulu sudah menjadi persoalan yang
akut dan mentradisi dalam setiap episode kepengurusan. Ketidak jelasan struktur
kepengurusan, mulai dari tingkatan cabang sampai kepegurus pusat, serta
orientasi gerakan yang tidak jelas adalah merupakan fenomena yang lazim terjadi
dan nyaris tidak mampu diselesaikan dalam setiap pergantian episode
kepengurusan.
Tentunya hal ini tidak lepas dari persoalan
mentalitas kepemimpinan di KPM-PM yang notabene telah mentradisi dari tahun ke-tahun,
dimana setiap fase kepemimipinan tidak mampu mengayomi dan mengarahkan
bawahannya untuk bersikap lebih progresif dalam menata gerak dan dinamika
organisasi. Dan yang lebih memiriskan lagi, persoalan ini ibarat kumbangan masalah
yang tidak pernah selesai dan terus mewarnai dinamika KPM-PM dalam setiap
pergantian kepengurusan. Sehingga yang terus dibicarakan lebih lanjut adalah
persoalan yang sudah menahun dan tidak pernah dipikirkan solusianya.
Tentunya persoalan mental
kepemimipinan tidak hanya terpaut dengan keberanian dan keteguhan dalam
menghadapi berbagai gelombang masalah yang menghadang, melaingkan juga sikap
cerdas dan tegas dalam membaca persoalan serta mencari solusi dari berbagai
persoalan yang terjadi. Jika tidak seperti itu, maka nasib KPM-PM bisa di
ibaratkan seperti kapal yang karam di tegah lautan sebelum berlabuh ditepih
pantai.
Olehnya itu, sebagai pemimpin
atau nahkoda kapal dibutuhkan mentalitas yang kuat dalam menapak setiap
gelombang masalah dan mampu melihat masalah secara optimis serta nalar berpikir
yang tidak terkuci pada persoalan, melaingkan lebih pada upaya untuk mencari
solusi dari masalah yang terjadi. Olehnya itu, sikap keterbukaan, musyawarah (berdialog
baik secara kultur dan struktur) dan kejujuran seorang pemimpin menjadi hal
yang sangat penting untuk diaktualisasikan dalam sistem kepemimpinan organisasi.
Dan tentunya hal tersebut tidak akan berjalan secara efektif jika tidak dikordinasi
dengan baik oleh pemimipin KPM-PM dengan melibatkan beberapa elemen pendukung
seperti Badan Pertimbangan Organisasi (BPO), Dewan Pembina Prganisasi (DPO) dan
senior-senior KPM-PM lainnya.
Tantangan Mentalitas Kepemimpinan
“Jika engkau akan menaklukkan sebuah wilayah, maka taklukkan dulu mental
penghuninya,
sebab jika mental mereka sudah rapuh, maka mereka akan kehilangan kepercayaan diri, dan
kalau kepercayaan diri mereka sudah hilang, maka yakinlah negara atau daerah tersebut tidak akan
bisa bangkit untuk melakukan perlawanan” (Prawono, 2012)
Kutipan ini segaja kami hadirkan
sebagai bahan renungkan kita bersama, bahwasanya betapa mentalitas itu sangat
penting, sebab bukan hanya terkait pada persoalan harkat dan martabat diri kita
dan bangsa kita, melaingkan juga kepercayaan diri untuk bisa bangkit menjadi
bangsa yang bermartabat. Dalam arti yang lebih kontekstual, mental menjadi
salah satu penentu dan prasyarat kemajuan organisasi, degradasi mentalitas akan
melahirkan sistem dan struktur kepemimpinan yang rapuh.
Terkait dengan persoalan
mentalitas kepemimpinan ini, menurut hemat kami, ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab terdegradsinya mentalitas kepemimpinan kita, yaitu: pertama,
teror. Era sekarang teror atau ancaman menjadi senjata yang ampuh
dihebuskan oleh beberapa pihak yang tiada lain sebagai upaya untuk melemahkan lawan
politiknya. Kerena itu, teror sudah lazim dihadapi oleh setiap pemimpin. Namun,
bagi mereka pemimpin yang bermental kerupuk bisa saja akan menciutkan nyali
kepemimpinannya dan jika ini yang terjadi maka bisa mengakibatkan stagnasi organisasi
serta akan berakibat seperti karamnya
kapal ditegah perjalanannya sebelum menepih.
Kedua; Giuran materi. Hal ini
menjadi penyakit yang akut dalam setiap lembaga, entah ia dalam bentuk negara
maupun struktur organisasi. Kita bisa menyaksikan barapa banyak organisasi
terpecah dan bahkan ada yang sampai gulung tikar akibat persoalan materi (baca;
uang) yang salah urus. Olehnya itu, pemimpin yang betul-betul seorang pemimpin
adalah mereka yang tidak menjadikan materi sebagai tujuan, melainkan menjadikan
materi sebagai sarana untuk menggapai kesuksesan. Kekayaan materi bukanlah
jaminan kesuksesan organisasi, justru yang menjadi jaminan adalah gagasan. Gagasan
yang brillian dan progresif akan menghadirkan materi. Sehingga dengan demikian,
organisasi kita bukanlah organisasi yang menghamba dan di perbudak oleh modal/materi,
melaingkan organisasi yang mampu memperbudak materi/modal sebagai sarana menuju
kesuksesan.
Ketiga;
bersikap masa bodoh dan tidak bertanggung jawab, sikap seperti ini yang
biasanya menimbulkan kekecewaan terhadap seorang pemimpin. Pemimipin yang
bermasa bodoh dan tidak bertanggung jawab akan mengundang berbagai persoalan
yang bisa jadi menambah beban kepengurusan, dimana persoalan lama belum selesai
ditambah lagi denngan persoalan yang baru. Meskipun bersikap masa bodoh pada
hal-hal tertentu dibutuhkan, namun perlu kehati-hatian untuk menerapkan sikap
seperti ini, sebab tidak semua konteks bisa diterapkan. Disinilah pentingnya
kelihaian seorang pemimpin untuk membaca konteks dimana sikap tersebut mampu
dioperasikan dengan baik.
Tentunya ketiga hal diatas adalah
sebuah tantangan yang mutlak untuk dihadapi bagi setiap pemimpin. Sehingga (sekali
lagi) mentalitas menjadi penting untuk disemangatkan. Kenapa mentalitas ini
penting? oleh karena maju mundurnya organisasi sangat tergantung pada persoalan
mental pemimpin dan pengurusnya.
Menjadi seorang pemimpin
tentunya bukan perkara yang mudah sebab selain dibutuhkan keuletan berpikir dan
bekerja, juga harus disiapkan mental yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah
yang terjadi. Sebab masalah akan selalu hadir dan terkadang membuat kita
pesimis. Meski demikian, kita harus mampu memahami bahwasanya dimana-mana
seorang pemimpin akan diperhadapakan dengan berbagai masalah, dan sudah menjadi
kodratnya untuk seperti itu. Dan bukanlah seorang pemimpin yang sejati dan kesatria
jika ia lari dari masalah, sebab karakter seperti itu tidak bertanggung jawab.
Olehnya itu, sebesar apapun masalah yang dihadapi oleh seorang pemimpin
bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari, melainkan harus dihadapi dan
diselesaikan dengan baik.
Harus dipahami secara bersama,
bahwasanya seorang pemimpin dilahirkan untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk
menambah masalah yang telah ada. Menghadapi dan menyelesaikan masalah adalah
sebuah proses pendewasaan diri dan juga menjadi tolak ukur mentalitas
kepemimpinan kita. Kehebatan seseorang pemimpin tidak hanya diukur dari seberapa
banyak ia menghindari masalah, melaingkan juga dilihat dan diukur dari seberapa banyak masalah yang telah ia selesaikan selama menjadi pemimpin.
Seorang pemimpin yang berjiwa visioner adalah mereka yang mampu berpikir solusi
bukan berpikir masalah, sebab baginya masalah harus lebih dahulu diselesaikan
sebelum menggapai kesuksesan. Dan tentunya untuk menyelesaikan masalah tersebut
dibutuhkan kesabaran sebab kesabaran adalah kunci kesuksesan hidup.
Kesabaran adalah mentalitas yang wajib
dimiliki oleh setiap pemimpin. Kesabaran adalah cerminan dari kepribadian diri
manusia yang cerdas dan bijak, dan hanya dengan kesabaran pula kita mampu
menyelasaikan semua persoalan yang ada serta mampu mengantarkan kita menjadi
manusia yang besar, sebagaimana ungkapan bijak yang mengatakan bahwa tidak ada
pelaut yang ulung dan besar lahir dari badai yang kecil melaingkan lahir dari
badai yang besar, dan tidak ada manusia besar di dunia ini tanpa berhadapan
dengan persoalan besar.
Pemimipin Sebagai Pelopor
“Janganlah engakau menjadi pelapor, tapi jadilah
sebagai pelopor, yang bukan hanya mampu merebut gagasan, tapi juga mampu menjadikan
gagasan sebagai pelopor perubahan”
(Mandar Julia, PC PMII Jember)
Dalam konteks budaya Mandar, kepemimpinan bukan hanya sekedar amanat teologis
yang bersifat Ilahiah, melainkan juga dimaknai sebagai harga diri (siri)
yang senantiasa harus mampu disadari dan melekat pada diri seorang pemimpin. Seorang
pemimipin harus merasa malu jika ia tidak mampu berbuat baik terhadap mereka
yang dipimpinya. Pada masa lalu, Siri’ di tanah Mandar tidak hanya
sekedar menjadi wacana kebudayaan, akan tetapi juga menjadi semacam power kekuasaan
bagi seorang pemimpin. Dengan power siri tersebutlah seorang pemimpin di
Mandar mampu menjadi pelopor kehidupan rakyatnya. Sehingga tercipta tutur kata
kepemimpinan yang malaq’bi dan sekaligus menjadi amanat kepemimpinan yang
mentradisi secara turun temurun di daerah Mandar.
Hal tersebut, sebagaimana yang
ditulis oleh Muh. Idham Kholid Bodhi dalam bukunya yang berjudul Lokal Wiasdom,
Untaian Mutiara Hikmah dari Mandar Sulawesi Barat. “Naiyya mara’dia
tammatindo dibongi Tarrarei di allo, namandandang mata dimamatanna daung ayu,
dimalimbonganna rura, dimadinginna lita’, diajarianna banne tau, diattepuanna
agama” (seorang pemimpin tidak boleh tidur nyenyak diwaktu malam dan tidak
boleh berdiam diri diwaktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan
hijau suburnya daun kayu, dalam dangkalnya tebat, aman tentramnya negara,
berkembang biaknya manusia, serta terjadinya kemantapan hidup beragama)
Terjadinya ketidak puasan oleh
beberapa pihak terkait dengan sistem kepemimpinan di KPM-PM belakangan ini dan
berakibat pada lahirnya dualisme kepemimpinan, tentunya adalah sesuatu hal yang
sangat disayangkan terjadi. Padahal harus dipahami bahwa ketidak beresan sistem
kepengurusan KPM-PM saat ini adalah hasil produksi masa lalu yang terwariskan
secara turun temurun yang takkunjung terselesaikan dalam setiap pergantian
regenerasi. Menghakimi dan Mempersalahkan kepengurusan KPM-PM periode hari ini
tertulah bukan sikap yang bijak, justeru yang harus dilakukan adalah menjadi
pelopor perubahan dan merekontruksi ulang tradisi kepemimpinan yang dianggap
buruk tersebut.
Olehnya itu, implementasi dari
makna siri ini tidak hanya mesti terkontruksi dalam sistem kepemimpinan
struktural negara atau daerah, melaingkan juga harus mampu dibumikan dalam
sistem kepemimpinan organisasi KPM-PM. Siri harus mampu kita rumuskan
secara bersama-sama dengan melibatkan BPO, Pegurus dan senior-senior lainnya
demi untuk kemajuan organisasi KPM-PM. Demikian juga, siri harus mampu kita
rumuskan untuk menjadi mentalitas kepemimpinan, sebab hanya dengan jalan itu
semangat kepedulian dan jiwa kepeloporan kita akan tercipta dengan baik.
Tentunya kutipan di atas adalah
sebuah refleksi yang cukup cerdas dan bijak dimana kita dianjurkan untuk menjadi
seorang pelopor, buka menjadi pelapor. Sebab menjadi pelopor adalah perbuatan
“pecundang” yang seoalah pasrah dengan keadaan. Demikian juga, kita harus
hati-hati menerima informasi dari seorang pelapor, sebab kabayakan orang yang bekerja
sebagai pelapor adalah provokator.
Pada akhirnya, hanya
kebersamaanlah harapan dan dambaan kita semua untuk kembali merebut gagasan
pencerahan sebagai langka awal menjadi pelopor perubahan, khususnya dalam
internal KPM-PM dan Polewali Mandar pada umumnya. Sehingga dengan itu pula tercipata
kembali kejayaan KPM-PM sebagaimana yang pernah terjadi pada masa awal
berdirinya organisasi tercinta ini. Sekian, dan salam damai untuk semua……
[1] Tulisan ini disampaikan dalam acara pelatihan
kepemimpinan yang diadakan oleh KPM-PM di Benteng Somba Opu pada hari sabtu, 04
februari 2012.
[2] Suaib Amin Prawono Adalah aktivis Yayasan Pengkajian
Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) dan sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Umum
Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB) Kota Makassar, Perioede
2011-2014.