Jumat, 05 Maret 2010

Konsep Piagam Madinah Dan Bhinneka Tunggal Ika
Oleh: Suaib Amin Prawono

Sejak dahulu Islam dikenal sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan kehadiran Rasululah SAW di Madinah dengan membawa konsep perdamaian dan persaudaraan diantara sesama manusia, konsep tersebut lebih dikenal dengan istilah piagam Madinah. Hingga hari ini, Piagam tersebut masih banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, dan bahkan tidak jarang diantara mereka berkesimpulan bahwa piagam Madinah adalah landasan dan sekaligus sumber kemaslahatan sosial.

Meskipun Nabi Muhammad beserta pengikutnya datang dari kalangan minoritas, bukan berarti, ruang gerak mereka dibatasi oleh masyarakat setempat untuk mendeklarasikan piagam perdamaian, malah mereka diberikan kebebasan untuk mendeklarasikan pesan-pesan kemanusiaan tersebut dan berujung dengan hasil yang memuaskan bagi semua pihak. Demikian pula halnya, dalam jangka waktu yang begitu singkat (beberapa tahun saja) beliau sudah mampu merangkul berbagai macam kelompok. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad juga dinobatkan sebagai pemimpin mereka di Madinah.

Menurut Zuhairi Misrawi, salah satu aspek utama dan terpenting dalam piagam tersebut adalah perubahan status sosial dari pertalian darah (an-nasab) menuju pertalian nilai (ummah) (Zuhairi, Al-Hanif. Edisi 39/26 Februari 2010). Lebih lanjut, Zuhairi Misrawi mengutip pendapat Abdul Husain Sya’ban dalam kitabnya Fiqh At-Tasamuh fi Al-Fikr Al-‘Arabi Al-Islami: Al-tsaqafah wa Al-Dawlah, bahwa piagam Madinah adalah kelanjutan kesepakatan perdamaian yang sudah dilaksanakan di Mekah yang dikenal dengan Hilf Al-Fudhul yang didalamnya berisi tentang penolakan terhadap berbagai macam bentuk penindasan dan kezaliman, (Zuhairi Misrawi 2010)

Kesepakatan tersebut dikeluarkan pada abad ke-6 M atau sekitar tahun 590 an, sedangkan piagam Madinah dideklarasikan sekitar tahun 622 M dan 624 M yang didalamnya menegaskan tentang pentingnya toleransi sebagai landasan utama akan tegaknya perdamaian. Pendeklarasian piagam Madinah tersebut, tidak begitu lama setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.

Upaya untuk mempersatukan masyarakat yang majemuk bukanlah perkara mudah, karena hal tersebut terkadang terkendala pada persoalan pluralitas yang meliputi etnis, agama, ideologi dan budaya, apalagi masyarakat Arab waktu itu sangat kental dengan persoalan kesukuan.

Namun, kendala tersebut tidaklah membuat Nabi Muhammad patah arang, malah ia terus berusaha keras untuk mewujudkan persatuan ummat manusia, tanpa mempersoalkan latar belakang pluralitas tadi. Dari hasil kerja keras itulah sehingga ia mampu mempersatukan masyarakat Madinah yang waktu itu sangat plural dan melahirkan satu gagasan atau konsep ummatan wahidah yaitu ummat yang satu.

Di sisi lain, Keaneka-ragaman agama dilihat sebagai sebuah kenyataan hidup yang cukup menyatu dengan kehidupan masyarakat Madinah waktu itu. Sehingga, bagi Nabi Muhammad, toleransi agama menjadi sebuah keniscayaan realitas. Toleransi antar ummat beragama harus dibumikan sebagai syarat utama untuk mencapai titik perdamaian dan persatuan ummat.

Olehnya itu, dalam piagam Madinah secara eksplisit menyebutkan, “bahwa orang yahudi dari bani Awf adalah ummat bersama orang-orang mukmin, orang yahudi hendaklah berpegang teguh kepada agama mereka, sebagaimana juga orang muslim berpegang teguh kepada agamanya”.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Muhammad Husain Haikal. Menurutnya, misi utama yang digelar oleh Nabi Muhammad selama berada di Madinah adalah memberikan jaminan utama kepada kelompok-kelompok agama dan suku Arab untuk memeluk agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Karena hanya dengan jalan kebebasanlah tatanan sosial akan menemukan kebajikan dan kemajuan.

Tentunya, Piagam Madinah tidaklah lahir dari ruang yang hampa akan tetapi ia lahir dari proses pergulatan sosial masyarakat madinah waktu itu. Menurut hemat kami, inti dari piagam Madinah adalah perwujudan kedamaian dalam bingkai pluralitas dan multikultural kehidupan. Karena pluralitas dan multikultural adalah sebuah keniscayaan realitas dan hak bagi setiap ummat manusia, sebab kedamaian adalah fitrah kemanusiaan serta dambaan bagi setiap manusia.

Demikian pula halnya dengan persaudaraan, ia adalah ikatan kemanusiaan yang terbangun atas dasar rasa kebersamaan tanpa harus terbebani dengan persolan perbedaan yang ada. Meminjam istilah Syafii Ma’arif “bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan”.

Minoritas
Meskipun Nabi Muhammad beserta pengikutnya datang dari kalangan minoritas bukan berarti masyarakat Madinah akan mendiskriminasikan mereka, akan tetapi kehadirannya malah disambut baik dengan hati yang terbuka dan lapang. Serta membolehkan kepada Rasululah untuk mennyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.

Itulah gambaran sosial masyarakat Madinah, betapa mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga, baginya minoritas bukanlah persoalan yang harus disikapi negan nalar negatif akan tetapi harus diakomodasi dengan penuh kebijaksaan.

Piagam Madinah telah menyatuh dalam kehidupan masyarakat madinah dan tentunya, didalamnya tersimpan pelajaran yang begitu berharga tentang sejarah kehidupan masyarakatnya dimana mereka mampu menghargai kaum minoritas yang hadir dalam komunitas mereka.

Meskipun piagam Madinah lahir dari gagasan Muhammad bukan berarti konsef tersebut belaku secara universal untuk semua masyarakat majemuk, piagam madinah harus didialogkan dengan ruang lokalitas dimana ia akan diatualaiasasikan. Hemat kami, visi akan nilai-nilai kemanusiaan yang harus diambil dari konsep piagam Madinah tersebut kemudian diolah dengan karakter dan khasanah kehidupan bangsa Indonesia.

Konteks Indonesia
Di dunia, Indonesia adalah Negara yang dikenal sangat plural, yang tentunya membutuhkan sikap akomodatif dari kalangan mayoritas. Meskipun dalam kenyataannya, budaya dan tradisi lokal kita tersimpan pesan-pesan kedamaian, tapi itu belum maksimal sebab hal itu masih dilihat hanya sebatas formalitas belaka dan belum lagi dengan terabaikan gagasan tersebut akibat penetrasi gagasan yang datang dari luar dan membuat kearifan lokal kita tergeser.

Gagasan tentang perdamaian untuk konteks Indonesia sejak abad ke 14 sudah di ikrarkan dan dideklasikan oleh Emputantular dan kemudian menjadi warisan yang cukup berharga bagi bangsa ini. Sehingga tidak mengherangkan jika persoalan perbedaan dimasa dulu tidak dianggap sebagai masalah, intinya gagasan tentang perbedaan bukanlah perkara baru untuk bangsa ini.



0 komentar: