Minggu, 01 November 2009

FARAG FOUDA DAN RUANG DIOLOG PEMIKIRAN ISLAM

Saya sempat terhentak kaget ketika membaca kolom (cacatan pinggir) Goenawan Muhammad di Majallah tempo, 9 maret 2008. Goenawan Muhammad menulis kronologis kematian Farag Fouda. Seorang intelektual kairo yang tewas secara mengenaskan pada tgl 8 juni 1992 di Kairo. Dua orang dengan mengenakan topeng menyerang Foudah dan Fouda seketika itu tewas, anak-anaknya luka parah dan pada waktu itu pula muncul pengakuan dari Jamaah Islamiayah dengan mengatakan “ Ya kami membunuhnya”.
Nalar kritis yang dimiliki oleh faoudah menyebabkan ia mendapat cemohan dan stigma murtad. Stigma murtad yang dialamatkan kepadanya telah mengatarkannya pada pintu kematian, sebahagian kelompok Islam mengatakan bahwa kematian Foudah adalah suatu kewajaran, sebab ia telah murtad dan hukum orang murtad adalah halal darahnya untuk dialirkan (dibunuh)
Sungguh ironis kehidupan Foudah, diusianya 46 tahun ternyata dia harus menghadap Tuhan dan menutup mata untuk selamaya. Usia yang boleh dikata masih cukup “belia” dan berkuwalitas dalam mengekplorasi dan mendinamisasikan pemikiran Islam. Kepergian Foudah meyimpan kenangan pahit dalam belantika pemikiran Islam. Fouda hidup pada zaman pemikiran yang diwarnai dan didominasi oleh pemikiran hegemonik nan tiranik. Sehingga nalar kritisnya harus dibayar mahal dengan nyawanya sendiri. Sungguh ironis kedengaranya. Islam sebagai agama rahmatan lilalamin ternyata “tidak menghargai” pemikiran seperti foudah, bahkan atas nama agama, faudah wajib untuk dibunuh. Benarkah Islam anti pemikiran kritis?
Nalar Kritis Foudah
Lima bulan sebelum Foudah meninggal ia sempat berdebat di pameran buku Kairo, Foudah berdebat di depan peserta, yang konon dihadiri sekitar 30.000 orang. Foudah berdebat degan ulama selevel dengan Muhammad Al-Gasali dalam hal hubungan antar agama dan Negara, politik, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah.
Faudah melakukan kritik tajam terhadap kaum Islamis sebagai mengusung gerekan penegakan syariat Islam waktu itu, gerakan Islamisme berkeinginan untuk mengembalikan peradaban kenabian sebagaimana yang perna terjadi dimasa sahabat nabi pada abad 7 hijriah. Kritik Faudah disini , menurut hemat kami bisa di kategorikan sebagai kritik nalar sejarah kaum Islamis.
Kaum Islamis merindukan priode salaf, suatu zaman keemasan Islam untuk kembali aktual dalam dunia kekiniaan dan mampu menyelesaiakan semua persoalan ummat manusia. Namun, bagi Faudah tidaklah demikian, justru Foudah melihat zaman tersebut sebagai zaman yang biasa-biasa saja dan tidak ada bedanya dengan zaman yang kita alami. Bahkan, lanjut Foudah “tidak ada yang istimewah pada waktu itu” malah ada jejak yang memalukan.
Kritik tajam Foudah ialah saat kejatuhan Khalifah Usman Bin Affan. Khalifah ke tiga yang terpilih setelah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Usman terpilih menjadi khalifah sekitar tahun 644 berdasarkan musyawarah terbatas yang dihadiri lima orang dan Usman hanya sempat memimpin kuarang lebih 12 tahun dan setelah itu ia dibunuh ketika usianya tepat 83 tahun oleh orang Islam sendiri (pemberontak)
Mereka tak hanya membunuh Usman, Menurut sejarawan Al-Thabari jenasanya terpaksa bertahan dua malam. ketika mayatnya disemayamkan jenasahnya tidak di sholati dan bahkan dilarang untuk disholati dan lebih parah lagi jenasahnya diludahi serta persendihannya dipatahkan, Ia dikuburkan di pemakaman yahudi. Bahkan lanjut foudah dalam mengutif Kitab al- Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Sa’ad yang menyebutkan satu data bahwasanya kahlifah itu bukanlah orang yang bebas dari keserakahan. Tatkalah Usman terbunuh ditemukan dalam berangkasnya 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
Inilah sekelumit kritik Foudah terhadap sejarah masa lalu yang nota bene menjadi rujukan utama kaum Islamisme dalam membangun peradaban, tepatnya peradaban Islam. Masa lalu bagi Foudah tidak selamanya Is the best dan aktual untuk terwujud dalam dunia kekinian kita. Justru kita musti kritis untuk melihat masa lalu sebab terkadang masa lalu banyak terekayasa, terlupakan yang kemudian terkonstruksi dalam sejarah tapi sejarah versi kuasa.
Islam dan Inklusifme Pemikiran
Islam adalah agama yang menghargai akal atau nalar. Dalam alquran seringkali didapati perintah untuk berpikir dan merenungkan sesuatu. Namun terkadang akal atau nalar manusia tidak berfungsi ketika ia bersentuhan dengan kekuasaan. Kehadiran kekuasaan dalam medang pemikiran terkadang menjadi eksekutor bagi nalar-nalar kritis, apatahlagi ketika nalar itu mencoba atau mengancam eksistensi kekuasaan.
Terkadang antara nalar dan kekuasaan tidak berjalan beriringan, bahkan ia bermusuhan pada urusan tertentu, kebebasan menalar sebagai hak dan identitas nalar itu sendiri tidak bekerja secara maksimal dalam menemukan titik kebenaran dikarenakan kuasa hegemonik, sebagaimana yang terjadi pada Farag Fouda
Kebebasan adalah landasan utama untuk menemukan titik kebenaran, apabila kebebsan berpikir dibatasi maka sudah barangtentu kebenaran yang temukan juga akan terbatas. Sekalipun, tidak semua kebenaran itu mampu ditemukan dengan akal, tapi paling tidak kita mampu memberikan apresiasi kepada nalar itu sendiri sebagai bahagian dari identitas kesempurnaan manusia dalam menemukan kebenaran.
Islam sebagai agama rahmat akan senantiasa terbuka terhadap pemikiran apapun. Hemat kami, Islam bukanlah agama eksklusif yang senantiasa mengadalkan gerakan eksekusi untuk membumi hanguskan pemikiran-pemikiran kritis, akan tetapi Islam adalah agama diologis yang senantiasa membuka ruang diolog bagi ummat manusia untuk mencari titik temu dan mencairkan kebuntuan diantara sesama.
Tingkat peradaban yang telah dicapai oleh ummat manusia pada hakekatnya lahir dari ruang diolog itu sendiri, yang mengedepankan nilai-nilai humanitas. Sebab hanya ruang diologlah yang mampu menyelesaikan masalah, bukan dengan tindakan refresif yang mengarah pada penghancuran hak-hak ummat manusia, hak kebudayaan, hak politik, ekonomi, dan nalar itu sendiri. singkatnya kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, justru dengan kekerasan akan melahirkan masalah baru. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabilah dikatakan bahwasnya Islam adalah agama anti kekerasan serta agama yang selalu mengedapankan diolog untuk penyelesaian masalah.

0 komentar: