Minggu, 05 Juni 2011

Wasiat Todilaling Tengtang Kepemimpinan


“Madondong duambongi anna matea’ mau ana’u mau appou, da muannai dai’ dipe’uluang mua’ mato’dori kedo-kedona, masu’angi pulu-pulunna, apa iyamo tu’u namarrupu-ruppu’ banua”


Artinya: besok atau lusa jika saya meninggal dunia, sekalipun anak atau cucu saya, jangan diangkat menjadi pemimpin kalau ia bertutur kasar dan berperagai tidak terpuji karena manusia seperti itulah yang bakal menghacurkan Negeri. (Local Wisdom, Muh. Idham Khalid Bodi, 2008)


Pasang (petuah) singkat di atas adalah gambaran kearifan lokal kita terkait persoalan kepemimpinan di jazirah Mandar pada masa lalu. Pasang tersebut diungkapkan oleh raja pertama Balanipa, Imanyambungi (Todilaling) sekitar abad ke 16 Masehi. Pasang yang cukup singkat namun sarat akan makna dan nilai kearifan hidup, sebuah pasang yang juga di dalamnya tersimpan karakter demokrasi lokal yang berorientasi pada upaya terciptanya tatanan kehidupan sosial yang mala’bi (bermartabat).


Demikian juga, dalam pasang tersebut, tersirat makna sikap keterbukaan yang tentunya sangat terkait dengan nilai-nilai subtansi demokrasi politik yang tidak terjebak dalam sistem feodalisme kekuasaan dan mengharuskan adanya sistem kepemimpinan secara temurun-temurun, akan tetapi lebih pada penekanan nilai dan karakter seorang pemimpin yang akan dipilih. Berdasarkan petuah tersebut, menurut hemat kami, jauh sebelum demokrasi menjadi wacana trasnasional dalam era modernisasi, makna demokrasi secara subtansi telah membumi dan menjadi kesadaran historis masyarakat Mandar Sulawesi Barat.


Meski pasang tersebut bersifat internal (hanya berlaku di internal kerajaan Balanipa), tapi secara subtansi, pasang ini mampu menginspirasi konsep kepemimpinan di jazirah Mandar pada masa itu, dan bahkan sampai saat ini. Inti dari Pasang ini mewasiatkan kepada kita agar hati-hati dalam memilih seorang pemimpin, sebab pemimpinlah yang akan menentukan arah perjalanan sebuah daerah atau bangsa, kesalahan dalam memilih seorang pemimpin akan berbuah malapetaka bagi sebuah bangsa/daerah.


Wasiat Kebangsaan

Krisis yang terjadi di bangsa kita dewasa ini, bukan hanya disebabkan oleh krisis ekonomi akan tetapi juga krisis kepemimpinan yang berbanding lurus dengan moralitas bejat (korupsi) serta kepedulian sosial yang mulai menipis dikalangan pemimpin bangsa ini, sehingga, menurut Yongki Karman, Negara ini diperhadapkan pada lahirnya sosok pemimpin yang tidak punya kepedulian sosial, yaitu pemimpin yang tidak bersedia melayani dan menderita bersama rakyat.


Pada hakekatnya kepemimpinan tidak hanya dimaknai secara teologis, dimana kepemipinan merupakan amanah Ilahiah yang diwakilkan Tuhan kepada rakyat, akan tetapi lebih dari pada itu, ia menjadi bahagian dari harga diri (siri’). Siri’ harus mampu menjadi pijakan hidup bagi seorang pemimpin, atau dalam artian seorang pemimpi harus merasa malu (masiri’) ketika ia tidak mampu memberikan apa yang terbaik untuk rakyatnya, seorang pemimpin harus merasa masiri’ ketika ia tidak bisa berbuat adil dan jujur kepada rakyatnya.

Lewat petuahnya, Todilaling telah mengingatkan kepada kita untuk tidak memilih seorang pemimpin yang berkarakter kasar (otoriter), tutur kata yang kasar, tidak punya kepedulian sosial dan rasa nasionalisme, sebab model seperti ini yang akan membawa malapetaka bagi sebuah daerah (bangsa).


Mencintai tanah air dan rakyat adalah merupakan wujud dari nilai-nilai luhur kepemimipinan yang harus dikedepankan bagi setiap pemimpin. Sebab kemajuan sebuah daerah atau bangsa tidaklah diukur dari sejaumana pembangunan gedung-gedung mewah berdiri tegak yang tidak jarang dibangun diatas tangisan dan kemelaratan hidup rakyatnya, akan tetapi diukur dari saujauh mana kesejahteraan dan kehidupan rakyat terpenuhi, dan tentunya ini juga merupakan bahagian dari wasiat kebangsaan yang di tuturkan oleh Todilaling kepada segenap pemimipin di tanah Mandar Sulbar.


Memilih Pemimpin

Dalam perkembangan sosial politik mutakhir, berpolitik adalah upaya untuk menciptakan presepsi, kesan, dan citra bagi masyarakat untuk kepentingan seorang kandidat. Melalui media dan baliho yang terpampang di sepanjang jalan, dibarengi dengan senyum khas yang penuh dengan nuangsa politik, presepsi, kesan dan citra itu diproduksi. Padahal bisa jadi motivasi mereka untuk maju menjadi pemimpin hanya sebatas mobilitas sosial demi perbaikan status sosial dan ekonomi, sehingga kepemimpinan hanya beorientasi pada kekuasaan serta bagaimana menggunakan kekekuasaan untuk memenuhi ambisi kehidupan materialnya.


Olehnya itu, dalam memilih seorang pemimpin, paling tidak kita harus mengedepangkan tiga pilar, yaitu: pertama; Kepantasan(naratan), hal ini menjadi penting, sebab banyak orang yang berambisi menjadi pemimpin, tapi pada kenyataanya ia tidak pantas, olehnya itu meminjam pendapat Mario Teguh, kepantasan menjadi tolak ukur utama untuk memilih seorang pemimpin.


Kedua; Mampu menyinari (naindo), tentunya karakter seorang pemimpin haruslah mampu memberi cahaya terang bagi kehidupan rakyat, pemimpin harus mampu menyinari atau mengayomi rakyatnya baik dari aspek ekonomi, politik, budaya, hukum dan pendidikan, sebab hal ini yang paling mendasar untuk terpenuhi bagi kepentingan rakyat secara menyeluruh.


Ketiga: Diandalkan (dipattuangan), seorang pemimpin harus mampu diandalkan dalam segala lini kehidupan yang tentunya sangat terkait dengan kelansungan hidup rakyatnya, seperti terbukanya lapangan kerja, kesejahteraan rakyat yang berdasar pada keadilan sosial, pemberantasan korupsi, pendidikan murah bagi kaum miskin, kemajuan sektor pertanian yang nota bene menjadi fondasi kehidupan rakyat, serta adanya kebebasan dan jaminan dalam menjalangkan nilai-nilai kearifan budaya dan agama yang menjadi hak setiap individu.


Ketiga pilar ini, menurut hemat kami terkait dengan pesan yang juga cukup pilosofis di tanah Mandar, sebagaimana yang tulis oleh Muh. Idham Khalid Bodi dalam karyanya Local Wisdom, ia menuliskan “Naiyya mara’dia tammatindoi dibongi, tarrarei diallo namandandang mata dimamatanna daung ayu, dimalimbongna rura, dimadinginna lita’ diayarianna banne rupa tau anna diattepuanna agama, (seorang penguasa, tidak boleh tidur nyenyak di malam hari, tidak boleh berdiam diri di waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan hijau suburnya daun kayu, dalam dangkalnya tebat, aman tentramya Negara, berkembang biaknya manusia, dan lahirnya kemantapan kehidupan beragama). Inilah salah satu bentuk sinkronisasi pasang kepemimpinan yang diwariskan secara turun temurun di daerah Mandar dan sebagai bentuk implementasi dari kepedulian sosial pemimpinnya.


Olehnya itu, Menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Barat, penting kiranya untuk merefleksikan kembali pasang diatas sebagai landasan atau cara pangdang kita dalam memilih sorang pemimpin yang bakal menahkodai pemerintahan di Sulbar lima tahun kedepan. Mudah-mudahan dengan landasan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, makna provinsima’labi’ yang merupakan visi utama perjuangan pembentukan provinsi Sulawesi Barat mampu menemukan ruangnya.


Pada akhirnya, provinsi mala’bi (bermatabat) selain ditentukan oleh pilihan rakyatnya, juga hanya bisa terwujud ketika provinsi Sulbar dipimpin oleh orang-orang yang mala’bi’, mala’bi kedzo-kedzona anna mala’bi pau-paunna. Selamat menentukan pilihan semoga mampu menemukan pemimpin yang mala’bi.