Kamis, 21 Juli 2011

ISLAM KEADILAN DAN TRASFORMASI SOSIAL

Oleh: Suaib Amin Prawono

“sesungguhnya Allah memperintahkan kamu untuk menunaikan amanat kepada ahlinya. Dan apabila kamu jatuhkan hukuman diantara manusia, hendaklah kamu jatuhkan Hukum itu dengan adil”
(QS. An-Nisa: 58)

“Janganlah karena kebencianmu terhadap suatu golongan manusia menyeret kamu kepada perbuatan tidak adil. Berbaut adilah kamu. Karena berbuat adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan”
(QS. Al-Maidah:8)

Di bangsa ini, sangat nyata kita saksikan berbagai problem sosial yang terjadi ditegah-tegah kehidupan masyarakat kita, mulai dari persoalan ketidakadilan, penyelewangan kekuasaan, tindakan kekerasan, hingga perampokan dan perampasan hak-hak rakyat kecil oleh segelintir kelompok yang berkuasa, dan ini pula yang dimaksudkan oleh sebahagian pengamat sosial sebagai bentuk krisis kemanusiaan yang terjadi dalam kehidupan manusia modern. Krisis keanusiaan ini terjadi karena dipicu oleh sifat keserakahan yang tak terkendali.

Selain itu, krisis kemanusiaan tersebut telah megalahkan nurani kehidupan berbangsa kita, sehingga bangsa kitapun terperosok dalam kubangan masalah yang berlapis-lapis. Ironisnya lagi, seabrek persoalan tersebut belum menemukan titik terang akan penyelesaiannya sampai detik ini.

Disisi lain, hukum yang sejatinya diharapakan mampu memberi cahaya keadilan bagi segenap warga masyarakat, khusunya bagi mereka yang terdzalimi secara sosial nampaknya masih dinikmati oleh pemilik kekuasaan dan kaum bermodal. Atau dalam artian, Hukum telah diperjual belikan dan hanya mereka yang mempuanyai akses kekuasaan dan modal yang banyak mampu mebelinya.

Akhirnya, fenomenana inipun berbuah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penentu kebijakan (pemerintah) di Negara ini. parahnya lagi, sebahagian masyarakat tidak segan-segan melanggar hukum dengan jalan main hakim sendiri atas setiap masalah yang mereka hadapi, bahkan tidak jarang hal tersebut dianggap sebagai bentuk keadilan.

Demikian pula halnya, gaung demokrasi yang kering dari makna subtansi hampir setiap saat kita dengarkan dalam pentas kehidupan kebangsaan kita. Meskipun suara lantang Demokrasi yang digaungkan berkali-kali oleh para aktivis gerakan sosial, baik di jalanan maupun dalam forum seminar atau diskusi, tetap saja kehilangan makna subtansinya dan tidak pernah terwujud secara nyata dalam dinamika kehidupan bangsa kita.

Jika makna subtansi dari demokrasi adalah keadilan, musyawarah dan kebebasan, kenapa masih banyak kalangan mayoritas dan minoritas bangsa ini hidup dalam garis kemiskinan, kekerasan dan marjinalisasi kehidupan? dan yang lebih memiriskan lagi, malah fenomena ini menjadi tontonan menarik bagi mereka yang mempuayai akses ekonomi-politik yang kuat dan mapan, tanpa sedikitpun hatinya tergugah dalam melihat kenyataan tersebut. Tentunya hal ini semakin menabah citra buruk bangsa kita yang konon menganut paham demokrasi.

Hal yang sama juga kita saksikan dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan yang notabene menjadi hak asasi setiap ummat manusia, juga masih menjadi persoalan yang cukup memiriskan di Negara ini. Lihat saja beberapa kasus yang pernah terjadi, mulai dari paham-paham local masyarakat kita, faham Ahmadia, dan kalangan minoritas lainnya di bangsa ini yang tidak jarang mendapat stigma buruk (sesat) dari kalangan tertentu, khususnya kelompok agama yang mengaku dirinya sebagai pemegang teguh otoritas kebenaran. parahnya lagi terkadang atas nama kebenaran tersebut tidak jarang berbuah kekerasan dalam masyarakat yang berujung pada pengrusakan rumah ibadah, penjarahan dan pembakaran harta benda yang menelan kerugian yang cukup besar serta trauma pisikis dan pengusiran mereka dari tempat tinggalnya.

Hukum, Kejujuran dan Keadilan

Kita mesti mengakui, bahwasanya Krisis yang menderah kehidupan bangsa kita dewasa ini adalah bahagian dari krisis moral yang ditandai dengan redupnya nilai-nilai kejujuran dalam diri setiap manusia, sehingga hal inipun berimbas pada ketidak-adilan yang kian hari semakin redup. Kita sangat bersemangat mengkritisi gagasan sekularisme dan malah kita tidak segan-segan mengkafirkan penganut faham ini, cara pandang yang tunggal terhadap konsep sekularisme membuat kita tidak sadar bahwa ternyata kita juga adalah penganut paham sekuler tapi dalam bentuk lain.

Misalnya, meneguhkan urusan teologis yang sifatnya melangit dan melupakan kenyataan sosial yang terbentang dihadapan kita. Memisahkan keadilan dan kejujuran dalam laku kehidupan kita, tanpa kita sadari sedikitpun bahwasanya keadilan tidak akan mungkin tegak tanpa ditopan oleh nilai-nilai kejujuran. Singkatnya, kejujuran dan keadilan berkait kelingdang sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan, memisahkan keadilan dan kejujuran adalah malapetaka.

Gambaran umum fenomena kebangsaan diatas adalah bahagian dari bentuk ketidak jujuran kita dalam melihat fenomena sosial kehidupan bangsa. Keadilan dan kejujuran bukan hanya sekedar simbolisasi kehidupan, akan tetapi ia juga menjadi pondasi kehidupan manusia. Bisa dibanyangkan jika Kehidupan ini tidak di barengi dengan keadilan dan kejujuran, ibarat kita hidup dihutang belantara, siapa yang kuat dialah yang paling benar dan berhak berkuasa meskipun prilakunya sangat tiranik dan refresif.

Salah satu penyebab utama ketidak-mampaun kita belaku adil untuk semua kalangan karena kita tidak mampu belaku jujur atas diri kita, malah kita terkadang menjadi pelaku dan penyebab ketidakadilan itu sendiri dan diperparah lagi dengan hadirnya sebahagian kalangan diantara kita yang hanya bisa berdiam diri melihat kekerasan dan distribusi keadilan yang pada hakekatnya tidak adil. Keadilan dan kejujuran adalah kontruksi moral bagi setiap individu dalam sistem hukum, sedangkan hukum berbasis keadilan. Matinya hukum karena ketidakadilan demikian juga matinya keadilan karena ketidak jujuran.
Trasformasi Nilai-nilai Keadilan

Kehadiran Islam membawa pesan-pesan moral kemanusiaan sebagai cahaya bagi segenap kehidupan ummat manusia dipersada bumi ini. Islam hadir ditengah-tegah kehidupan ummat manusia yang penuhi dengan nuangsa kedzaliman dan penuh kekerasan. Masa kehidupan tersebut dikenal dengan istilah kehidupan Jahiliyah yang ditandai dengan redupnya nilai-nilai kemanusiaan diantara sesama manusia.

Meski kehidupan jahiliyah terlah berlalu dalam sejarah perjalanan kehidupan sosio-kultural manusia, namun sifat tersebut masih saja bercokol dalam diri sebahagian kalangan manusia yang hidup di bangsa ini, dibuktikan dengan maraknya tindakan kekerasan dengan jalan main hakim sendiri, dan penyerangan terhadap kelopok tertentu, khususnya kalangan minoritas bangsa ini cukup mencederai sendi-sendi moralitas keberagamaan kita.

Menurut mantan Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Islam adalah keadilan yang terbungkus dalam konsep islam rahmatan lilalamin dan ini juga yang harus menjadi sumbangan nayata dalam dinamika kehidupan manusia. (KH. Hasyim Muzadi, 2010)

Keadilan dalam peresfektif teologis adalah Allah maha adil, sifat keadilan Tuhan inilah yang tentunya wajib dibumikan manusia dalam kehidupannya, sebab pembumian nilai-nilai keadilan adalah bentuk pengabdian manusia sebagai khalifatan fil-ardhi.Manusia dalam konteks khalifatan fil-ardhi disamping diberi amanat untuk memakmurkan bumi juga dianjurkan untuk menegakkan keadilan dalam bentuk trasformasi sosial (dalam kehidupan ummat manusia), sehingga landasan utama Islam Rahmatn Lilalamin harus bermuara pada dua hal yaitu emansipasi dan keadilan, sebab tidak ada keadilan tanpa trasformasi, dan tidak ada trasformasi tanpa emasipasi. Sinerjitas antara keadilan, trasformasi dan emansipasi akan melahirkan realitas makna dari islam rahmatan lilalaamin dalam kehidupan ummat manusia.